[go: up one dir, main page]

Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI

salah satu film Indonesia

Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI atau hanya Pengkhianatan G 30 S PKI [a] adalah judul film dokudrama propaganda Indonesia tahun 1984. Film ini disutradarai dan ditulis oleh Arifin C. Noer, diproduseri oleh G. Dwipayana, dan dibintangi Amoroso Katamsi, Umar Kayam, dan Syubah Asa. Diproduksi selama dua tahun dengan anggaran sebesar 800 juta Rupiah kala itu, film ini disponsori oleh pemerintahan Orde Baru Soeharto. Film ini dibuat berdasarkan pada versi resmi menurut pemerintah kala itu dari peristiwa "Gerakan 30 September" atau "G30S" (peristiwa percobaan kudeta pada tahun 1965) yang ditulis oleh Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh, yang menggambarkan peristiwa kudeta ini didalangi oleh Partai Komunis Indonesia atau PKI.

Simbol artikel pilihan
Artikel ini telah dinilai sebagai artikel pilihan pada 4 September 2013 (Pembicaraan artikel)
Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI
Poster rilis, menampilkan lima tokoh utama, montase adegan, dan judul "Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI"
Poster rilis oleh PPFN (1984)
SutradaraArifin C. Noer
Produser
Skenario
Pemeran
Penata musikEmbie C. Noer
SinematograferHasan Basari
PenyuntingSupandi
Perusahaan
produksi
DistributorPusat Produksi Film Negara Departemen Penerangan
Tanggal rilis
15 September 1984
Durasi271 menit
NegaraIndonesia Indonesia
BahasaBahasa Indonesia
AnggaranRp 800 juta
Penghargaan
Festival Film Indonesia 1984

Film ini menggambarkan masa menjelang kudeta dan beberapa hari setelah peristiwa tersebut. Dalam kala kekacauan ekonomi, enam jenderal diculik dan dibunuh oleh PKI dan TNI Angkatan Udara, konon untuk memulai kudeta terhadap Presiden Soekarno. Jenderal Soeharto muncul sebagai tokoh yang menghancurkan gerakan kudeta tersebut, setelah itu mendesak rakyat Indonesia untuk memperingati mereka yang tewas dan melawan segala bentuk komunisme. Film ini juga menampilkan pergantian rezim pemerintahan Indonesia dari Presiden Soekarno ke Soeharto menurut versi pemerintahan Orde Baru. Film ini menggambarkan gerakan G30S sebagai gerakan kejam yang telah merencanakan "setiap langkah dengan terperinci",[1] menggambarkan sukacita dalam penggunaan kekerasan yang berlebihan dan penyiksaan terhadap para jenderal, penggambaran yang telah dianggap menggambarkan bahwa "musuh negara adalah bukanlah manusia".[2]

Film ini adalah film dalam negeri pertama yang dirilis secara komersial dan menampilkan peristiwa 1965 tersebut.[3] Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI meraih sukses secara komersial maupun kritis. Film ini dinominasikan untuk tujuh penghargaan di Festival Film Indonesia 1984, memenangkan satu, dan mencapai angka rekor penonton - meskipun dalam banyak kasus penonton diminta untuk melihat film ini, alih-alih secara sukarela.

Film ini terus digunakan sebagai kendaraan propaganda oleh pemerintah Orde Baru selama tiga belas tahun, di mana pemerintahan Soeharto kala itu memerintahkan satu-satunya stasiun televisi di Indonesia saat itu, TVRI, untuk menayangkan film ini setiap tahun pada tanggal 30 September malam. Film ini juga diperintahkan menjadi tontonan wajib bagi siswa sekolah di Indonesia, walaupun memperlihatkan adegan-adegan yang penuh kekerasan berlebihan. Pada saat stasiun-stasiun televisi swasta bermunculan, mereka juga dikenai kewajiban yang sama. Peraturan ini kemudian dihapuskan sejak jatuhnya Soeharto tahun 1998. Sejak itu film ini telah menjadi kurang diminati lagi dan baru diputar lagi oleh tvOne pada tahun 2017. Meskipun aspek artistik film ini tetap diterima dengan baik, kekeliruan sejarahnya telah menuai banyak kritik.

Latar belakang

Film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI dibuat berdasarkan pada versi peristiwa kudeta yang diakui oleh pemerintah Orde Baru Soeharto, di mana kudeta Gerakan 30 September didalangi oleh Partai Komunis Indonesia atau PKI.[b][4] Pada awal 1960-an, PKI dan partai-partai sayap kiri lainnya mendapat dukungan dari Presiden Soekarno, memberi mereka kekuatan politik yang besar. Pada tahun 1965 PKI telah mempunyai jutaan anggota, jumlah semakin besar ini dipengaruhi oleh adanya hiperinflasi dan kemiskinan yang meluas.[5] TNI Angkatan Darat, bagaimanapun, telah saling tidak sejalan dengan PKI, sebuah situasi yang berbalas dengan PKI.[6]

 
"Sumur Maut", tempat pembuangan mayat para jenderal oleh Gerakan 30 September

Pada malam 30 September - 1 Oktober 1965 sekelompok personel Tentara Nasional Indonesia yang menyebut diri mereka "Gerakan 30 September" menangkap dan membunuh enam jenderal Angkatan Darat yang diduga anggota gerakan anti-revolusioner "Dewan Jenderal", termasuk Panglima Angkatan Darat Ahmad Yani; target lain, Abdul Haris Nasution, lolos.[7] Tubuh mereka, bersama dengan target lain yang ditangkap oleh G30S, dibuang ke dalam sumur di Lubang Buaya, Jakarta.[8] Paginya, angkatan bersenjata menduduki Lapangan Merdeka di Jakarta Pusat. Dari Kantor Radio Republik Indonesia (RRI) di sana, Letnan Kolonel Untung Syamsuri dari Resimen Pengawal Presiden mengumumkan bahwa gerakan itu telah mengamankan beberapa tempat penting di kota dalam upaya untuk mencegah kudeta oleh Dewan Jenderal. Mereka juga mengumumkan bahwa Presiden Soekarno berada di bawah kekuasaan mereka.[9] Inti kepemimpinan gerakan ini, kemudian juga termasuk Presiden Soekarno, tinggal di pangkalan AURI di Bandara Halim Perdanakusuma.[10]

Mayor Jenderal Soeharto, menyadari gerakan ini pada pagi hari 1 Oktober. Menjelang sore ia telah meyakinkan sebuah batalyon G30S di Lapangan Merdeka dan yang menduduki gedung RRI untuk menyerah, tanpa pertumpahan darah. Tentara loyalis di bawah Soeharto merebut kembali pangkalan AURI Halim pagi berikutnya. Pada saat itu pimpinan G30S telah melarikan diri, sementara Soekarno telah dibawa kembali ke istananya di Bogor.[11] Dalam tahun-tahun berikutnya, Angkatan Darat Indonesia dan masyarakat umum melakukan sebuah kampanye pembalasan berdarah, membunuh atau menangkap orang-orang yang terdaftar maupun hanya diduga sebagai simpatisan PKI - termasuk sebagian besar pimpinan G30S.[c][12]

Alur

Indonesia berada dalam kekacauan. Rakyat hidup dalam kemiskinan, sementara yang kaya memamerkan kekayaan mereka. Presiden Soekarno (Umar Kayam) sedang sakit dan hampir mati. Sementara itu, konsep politiknya, Nasakom (nasionalisme, agama, dan komunisme) telah menyebabkan pertumbuhan besar anggota PKI. Partai yang mencoba melakukan kudeta pada tahun 1948 ini telah menyerang dan membunuh orang di seluruh negeri. Presiden yang telah melemah juga dimanipulasi oleh partai ini. PKI telah merekayasa cerita, berdasarkan Dokumen Gilchrist yang palsu, bahwa Dewan Jenderal sedang mempersiapkan kudeta bila Soekarno mati. Aidit (Syubah Asa), Syam, dan kepemimpinan Partai Komunis diam-diam berencana untuk menggunakan ini sebagai alasan untuk kudeta mereka sendiri. Pangkat dan barisan anggota Partai ini menerima penjelasan dari pimpinan, dan dengan bantuan para prajurit dan perwira yang "berpikiran-maju" (sebagian besar dari Angkatan Udara), bekerja untuk mengumpulkan kekuatan Partai. Mereka berencana untuk menculik tujuh jenderal (yang dikatakan sebagai anggota Dewan Jenderal), merebut kota, dan mengamankan Soekarno. G30S yang baru diberi nama kemudian memulai pelatihan. Para anggota sayap kanan dalam Angkatan Darat yang tidak menyadari kudeta yang akan terjadi ini, hidup bahagia dengan keluarga mereka. Pada saat mereka menyadari bahwa ada sesuatu yang salah, mereka sudah terlambat.

 
Abdul Haris Nasution digambarkan melarikan diri dari upaya kudeta tersebut dengan melompati tembok.

Pada malam 30 September-1 Oktober, tujuh unit dikirim untuk menculik para jenderal yang terkait dengan Dewan Jenderal tersebut. Jenderal Abdul Harris Nasution (Rudy Sukma) berhasil melarikan diri melompati tembok, namun putrinya Ade Irma Suryani Nasution (Keke Tumbuan) justru tertembak, sementara atase militer Pierre Tendean (Wawan Wanisar) datang berlari keluar, memegang pistol; Tendean dengan cepat ditangkap, dan ketika ditanya di mana Nasution, mengaku dirinya adalah jenderal tersebut. Yani, yang melawan, tewas di rumahnya; Mayor Jenderal MT Haryono mendapat nasib yang sama. Kepala Jaksa Militer Sutoyo Siswomiharjo, Mayjen Siswondo Parman, dan Letnan Jenderal Soeprapto ditangkap. Brigadir Jenderal DI Pandjaitan ikut dengan rela, tetapi ketika dia berdoa terlalu lama sebelum memasuki truk dia dibunuh. Mayat dan tahanan yang dibawa ke kamp G30S/PKI di Lubang Buaya, di mana para korban yang tersisa disiksa dan dibunuh. Tubuh mereka kemudian dilemparkan ke dalam sumur. Pagi berikutnya, anak buah Letnan Kolonel Untung mengambil alih kantor RRI dan memaksa staf di sana untuk membaca pidato Untung (Bram Adrianto) yang menyatakan bahwa G30S telah bergerak untuk mencegah kudeta oleh Dewan Jenderal dan mengumumkan pembentukan "Dewan Revolusi". Anak buah G30S/PKI lain pergi ke istana untuk mengamankan presiden tetapi menemukan bahwa ia telah pergi meninggalkan istana. Di pangkalan Halim, Presiden berbicara dengan para pemimpin G30S dan menyatakan bahwa ia akan mengambil kontrol penuh dari Angkatan Darat. Pidato radio lain kemudian segera dibacakan, menguraikan komposisi Dewan Revolusi yang baru dan mengumumkan perubahan hierarki Angkatan Darat. Para pemimpin G30S mulai merencanakan pelarian mereka dari Halim, yang harus dilakukan sebelum tengah malam.

Soeharto (Amoroso Katamsi), yang dibangunkan pagi buta, membantah pengumuman Untung, menyatakan dengan tegas bahwa tidak ada Dewan Jenderal dan membuat catatan-catatan tambahan tentang hakikat G30S. Karena ada kekosongan kekuasaan dengan meninggalnya Yani, Soeharto mengambil kendali sementara Angkatan Darat dan mulai merencanakan serangan-balik dengan anak buahnya; namun bagaimanapun dia tidak mau memaksakan pertempuran. Dia malah menyatakan bahwa ia akan memberikan pengumuman lewat radio, yang disampaikan setelah pasukan yang setia kepadanya merebut kantor RRI. Pengumuman ini menguraikan situasi kala itu, menggambarkan G30S sebagai kontra-revolusioner, dan menyatakan bahwa Angkatan Darat akan berurusan dengan kudeta ini. Tak lama kemudian para pemimpin kudeta melarikan diri dari Halim, dan pasukan Soeharto merebut kembali pangkalan udara tersebut. Beberapa waktu kemudian, pasukan di bawah kepemimpinan Soeharto menyerang sebuah markas G30S/PKI. Sementara tentara yang berafiliasi dengan PKI melawan, pimpinan Partai lolos dan melarikan diri, berencana untuk melanjutkan perjuangan mereka di bawah tanah.

Soeharto kemudian segera dipanggil ke istana kedua di Bogor untuk berbicara dengan Soekarno. Di sana, presiden mengatakan bahwa ia telah menerima jaminan dari Marsekal Udara Omar Dani bahwa Angkatan Udara tidak terlibat dalam kudeta ini. Soeharto membantah pernyataan tersebut, mencatat bahwa persenjataan gerakan ini adalah seperti orang-orang dari Angkatan Udara. Pertemuan ini akhirnya menghasilkan konfirmasi pengangkatan Soeharto sebagai pemimpin Angkatan Darat, bekerja sama dengan Pranoto Reksosamodra. Dalam investigasi mereka terhadap peristiwa kudeta ini, Angkatan Darat menemukan kamp di Lubang Buaya - termasuk tubuh para jenderal, yang dikeluarkan sembari Soeharto menyampaikan pidato menggambarkan kudeta ini dan peran PKI di dalamnya. Jenazah para jenderal kemudian dimakamkan di tempat lain dan Soeharto memberikan pidato hagiografi, di mana ia mengutuk G30S PKI dan mendesak masyarakat Indonesia untuk melanjutkan perjuangan jenderal-jenderal yang telah meninggal tersebut.

Produksi

Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI disutradarai oleh Arifin C. Noer, sutradara pemenang Piala Citra dengan latar belakang teater. Dia memiliki pengalaman sebelumnya dalam genre ini, setelah membuat film perang Serangan Fajar (1981), yang menekankan peran Soeharto dalam Revolusi Nasional Indonesia.[13] Noer ditugaskan untuk mengerjakan film ini oleh Pusat Produksi Film Negara (PPFN) milik negara, yang mempunyai kontrol atas proses produksi film ini. Profesor budaya Indonesia Krishna Sen dan David T. Hill berpendapat bahwa masukan kreatif Noer sangat minim dalam film ini. Sebaliknya, "untuk segala maksud dan tujuan", film ini adalah karya produsernya, Brigadir Jenderal Gufran Dwipayana, yang kala itu menjabat sebagai kepala PPFN sekaligus anggota staf kepresidenan.[14] Namun, istri Noer, Jajang C. Noer bersikeras bahwa suaminya tetap bersikap independen saat pembuatan film ini.[15]

 
Film tersebut berdasarkan pada sebuah laporan yang ditulis oleh Nugroho Notosusanto (gambar) dan Ismail Saleh.

Skenario Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI didasarkan pada sebuah buku tahun 1968 yang ditulis oleh sejarawan militer Nugroho Notosusanto dan penyidik Ismail Saleh yang berjudul Tragedi Nasional Percobaan Kup G 30 S/PKI di Indonesia. Buku yang dimaksudkan untuk melawan teori asing tentang kudeta tersebut, menjelaskan secara rinci Gerakan September 30 ini sebagaimana pemerintah melihatnya.[16] Hanya Notosusanto, yang berpangkat lebih tinggi dari dua penulis tersebut, dihargai untuk kontribusinya.[17] Dalam mengadaptasi buku tersebut, Noer membaca banyak literatur yang tersedia (termasuk dokumen pengadilan) dan mewawancarai sejumlah saksi mata;[18] Jajang, dalam sebuah wawancara tahun 1998, mengatakan bahwa suaminya tidak hanya membaca versi resmi pemerintah, tetapi juga dokumen Cornell Paper yang kontroversial, yang menggambarkan bahwa peristiwa kudeta ini sepenuhnya merupakan urusan intern Angkatan Darat.[15] Selama syuting, kru menekankan realisme, "memberikan perhatian besar terhadap detail" dan menggunakan rumah sebenarnya dari para jenderal yang diculik dalam peristiwa tersebut.[19]

Karena besarnya jumlah peran - termasuk beberapa bagian 100 peran kecil dan lebih dari 10.000 pemeran tambahan[20] - casting atau pencarian pemeran untuk Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI adalah sulit.[21] Noer mencoba untuk menempatkan aktor yang mirip dengan tokoh-tokoh sejarah yang digambarkan; Rano Karno kemudian mengingat bahwa ia ditolak untuk peran Pierre Tendean karena Tendean tidak memiliki tahi lalat di wajahnya.[22] Pada akhirnya film ini dibintangi Bram Adrianto sebagai Untung Sjamsuri, Amoroso Katamsi sebagai Soeharto, Umar Kayam sebagai Soekarno, dan Syubah Asa sebagai DN Aidit; aktor lainnya antara lain Ade Irawan, Sofia WD, Dani Marsuni, dan Charlie Sahetapy.[23] Kayam, kala itu seorang dosen di Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, tidak punya waktu untuk meriset perilaku Soekarno dari buku-buku dan pidatonya; sebagai gantinya, ia menggambarkan presiden tersebut berdasarkan testimonial dari staf di Istana Bogor. Katamsi, di sisi lain, mempelajari peran Soeharto dari buku, dan pada saat syuting telah dimulai, merasa seolah-olah dia "sebagai Pak Harto, bukan imitasi Pak Harto."[24] Sementara itu, Syubah Asa menganggap kurang menguasai penampilannya sendiri.[24]

Produksi Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI, awalnya berjudul Sejarah Orde Baru, memakan waktu hampir dua tahun, menghabiskan empat bulan dalam pra-produksi dan satu setengah tahun dalam pembuatan film.[15] Biaya film ini Rp. 800 juta,[d][25] mendapat pendanaan dari pemerintah kala itu.[3] Sinematografi film ini ditangani oleh Hasan Basri, dengan penataan musik oleh saudara Arifin, Embie C. Noer. Penyuntingan film dilakukan oleh Supandi.[26] Bagian dari film, khususnya sepuluh menit akhir, menggunakan kembali rekaman arsip dan kliping koran kontemporer kala itu yang sehubungan peristiwa tersebut.[27]

Tema

Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI menggambarkan PKI dan komunisme sebagai jahat pada dasarnya, dengan pengikutnya "tidak bisa diselamatkan",[28] di mana pimpinan G30S dipandang sebagai licik dan kejam, dan merencanakan "setiap langkah dengan terperinci".[1] Sejarawan Katherine McGregor menemukan hal ini ditekankan dalam film ini yang menggambarkan pimpinan G30S sebagai gangster, duduk dalam pertemuan rahasia di tengah-tengah kepulan asap rokok. Dia juga menganggap sebuah adegan pembuka film, di mana PKI menyerang sebuah sekolah Islam, juga dengan sengaja dimaksudkan untuk menunjukkan sifat "jahat" komunis.[19]

PKI digambarkan menikmati kekerasan, dengan film ini sangat menampilkan adegan "perempuan yang mencungkil mata dan tubuh yang membusuk dan disiksa".[29] Para jenderal diculik, dan dalam beberapa kasus tewas dibunuh di depan keluarga mereka; kemudian jenderal yang ditangkap disiksa saat komunis menari di sekitar api unggun.[30] Sosiolog Adrian Vickers berpendapat bahwa kekerasan film ini dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa "musuh-musuh negara ada di luar alam manusia", mirip dengan monster dalam sebuah film horor.[e][2] Yoseph Yapi Taum dari Universitas Sanata Dharma mencatat bahwa anggota gerakan perempuan sayap kiri Gerwani disajikan film ini sebagai bagian dari Partai Komunis yang "gila", menari telanjang dan memotong penis jenderal yang diculik.[31] Namun, Vickers menganggap penggambaran ini sebagai ambigu, menunjukkan bahwa pemerintahan Orde Baru diizinkan memonopoli kekerasan.[2] McGregor menunjukkan bahwa kekerasan yang terjadi di rumah yang sebelumnya tenang menunjukkan "'penghancuran' keluarga".[30] Sen mencatat bahwa kekerasan dalam film ini memungkiri "representasi kekacauan sebelum keteraturan" yang umum dalam film-film era Orde Baru.[30]

Penayangan

Sebelum penayangan komersialnya, Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI disajikan pra-tayang untuk para perwira militer Indonesia berpangkat tinggi yang telah terlibat dalam operasi menghentikan kudeta G30S, termasuk Soeharto dan Sarwo Edhie Wibowo.[19] Film ini dirilis secara komersial pada tahun 1984, sebagai film domestik pertama yang dirilis secara komersial tentang peristiwa 1965 tersebut.[f][32] Film ini ditonton oleh 699.282 orang di Jakarta pada akhir tahun 1984, sebuah rekor nasional yang tetap tak terlampaui selama lebih dari satu dekade.[g][4] Namun, tidak semua pemirsanya hadir atas kemauan mereka sendiri. Sosiolog Ariel Heryanto mencatat bahwa murid sekolah Indonesia "diminta untuk membayar" untuk melihat film ini selama jam sekolah, sebuah fakta yang tidak ditulis dalam catatan kontemporer kala itu.[33] Sebuah novelisasi oleh penulis fiksi populer Arswendo Atmowiloto juga telah membantu mempromosikan film ini.[34]

Pengaruh produser Dwipayana memastikan bahwa ulasan dan tinjauan kontemporer kala itu, terutama sinopsis, mengulangi posisi pemerintah tentang kudeta G30S.[3] Hal ini bukan untuk mengatakan bahwa semua ulasan kritis tentang film ini haruslah positif. Marselli dari harian KOMPAS misalnya, menemukan bahwa film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI adalah sangat rinci, dengan pengerjaan yang luas dan kualitas akting akan mewakili peristiwa secara akurat. Namun dia merasa, bahwa film ini terasa terlalu panjang, dan karena pemirsa langsung tahu siapa karakter yang baik dan buruk, film ini menjadi "...hanyalah lukisan hitam-putih tanpa persoalan kompleks.", yang mengabaikan masalah mendasar yang telah memicu gerakan G30S.[27]

Setelah melihat penayangan awal film ini, Soeharto menyatakan bahwa cerita film ini belum selesai dan menyarankan bahwa sebuah sekuel diperlukan.[35] Dua sekuel oleh PPFN, Operasi Trisula (1987) dan Djakarta 1966 (1988) kemudian mengikuti.[36] Operasi Trisula disutradarai oleh BZ Kadaryono, menceritakan tentang pemberantasan G30S dan anggota PKI di Blitar, Jawa Timur.[37] Sementara Djakarta 1966 disutradarai kembali oleh Noer dan menunjukkan peristiwa menjelang penandatanganan Supersemar pada 11 Maret 1966, di mana Soekarno memberikan wewenang pada Soeharto untuk mengambil tindakan apapun yang "dianggap perlu"; Kayam dan Katamsi kembali mengambil peran mereka dalam film sekuel ini, yang memenangkan tujuh penghargaan di Festival Film Bandung 1989.[38]

Penggunaan sebagai propaganda

Foto Soeharto, 1998 
Pada September 1998, Menteri Penerangan Yunus Yosfiah menggambarkan film ini sebagai upaya untuk menciptakan pengkultusan Soeharto (gambar).

Dimulai pada tahun 1984 pemerintah Orde Baru menggunakan Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI sebagai kendaraan propaganda, menayangkan film ini setiap tanggal 30 September. Film ini disiarkan oleh TVRI (yang saat itu di bawah Departemen Penerangan), dan kemudian juga stasiun televisi swasta setelah mereka didirikan.[39] Film ini juga ditayangkan di sekolah-sekolah dan lembaga pemerintah;[40] para siswa akan dibawa ke lapangan terbuka untuk melihat film ini dalam kelompok.[41] Karena penggunaan ini, Sen dan Hill berpendapat bahwa Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI adalah film Indonesia yang paling-disiarkan dan paling banyak ditonton sepanjang masa.[40] Sebuah survei tahun 2000 yang dilakukan oleh majalah TEMPO Indonesia menemukan bahwa 97 persen dari 1.101 siswa yang disurvei telah menyaksikan film ini; bahkan 87 persen dari mereka telah menyaksikan lebih dari sekali.[42]

Selama sisa era 1980-an dan awal 1990-an, akurasi sejarah Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI hanya sedikit diperdebatkan,[43] dan film ini menjadi wakil kanun sejarah;[44] versi kejadian tahun 1965 dalam film ini adalah satu-satunya yang diperbolehkan dalam wacana terbuka kala itu.[16] Namun pada pertengahan 1990-an, komunitas internet anonim dan publikasi-publikasi kecil mulai mempertanyakan isi film tersebut; satu pesan yang dikirim melalui milis bertanya "Jika hanya sebagian kecil dari kepemimpinan PKI dan agen militer mengetahui [kudeta, seperti di film ini], bagaimana bisa lebih dari satu juta orang tewas dan ribuan orang yang tidak tahu harus dipenjarakan, diasingkan, dan kehilangan hak-hak sipil mereka?"[43] Heryanto berpendapat bahwa hal ini dihasilkan dari polifoni yang tidak disengaja dalam film ini,[45] sementara Sen dan Hill berpendapat bahwa Noer mungkin telah menyadari maksud pemerintah untuk berpropaganda dan dengan demikian membuat pesan politik dalam film ini "jelas-jelas bertentangan".[46]

Pada bulan September 1998, empat bulan setelah jatuhnya Soeharto, Menteri Penerangan Yunus Yosfiah menyatakan bahwa film ini tidak akan lagi menjadi bahan tontonan wajib, dengan alasan bahwa film ini adalah usaha untuk memanipulasi sejarah dan menciptakan kultus dengan Soeharto di tengahnya. TEMPO melaporkan pada 2012 bahwa Saleh Basarah dari Angkatan Udara telah mempengaruhi dikeluarkannya keputusan ini. Majalah ini menyatakan bahwa Basarah telah menghubungi Menteri Pendidikan Juwono Sudarsono dan memintanya untuk tidak menayangkan Pengkhianatan G 30 S PKI, karena film ini telah merusak citra Angkatan Udara Republik Indonesia. Dua film lainnya, Janur Kuning (1979) dan Serangan Fajar, kemudian juga dipengaruhi oleh keputusan tersebut;[47] Janur Kuning menggambarkan Soeharto sebagai pahlawan di balik Serangan Umum 1 Maret 1949, sementara Serangan Fajar menunjukkan dia sebagai pahlawan utama Revolusi Indonesia.[48] Pada saat itu TVRI tampaknya berusaha untuk menjauhkan diri dari mantan presiden Soeharto.[15] Hal ini terjadi semasa periode penurunan status simbol-simbol yang berkaitan dengan peristiwa G30S, dan pada dekade 2000-an awal, versi non-pemerintah dari peristiwa kudeta G30S mudah didapatkan di Indonesia.[49]

Peninggalan

 
Foto pengambilan mayat para jenderal di Lubang Buaya, diambil wartawan Hendro Subroto, 3 Oktober 1965.

Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI telah terbukti menjadi film Noer yang paling kontroversial,[50] meskipun sampai kematiannya pada tahun 1995 sutradara ini tetap ambivalen secara publik tentang film ini.[51] Meskipun aspek visual film ini umumnya menerima ulasan positif, penggunaannya untuk tujuan propaganda dan aspek akurasi-sejarahnya telah menuai banyak kecaman.[52] Sutradara Indonesia Hanung Bramantyo memuji gaya film ini, menyatakan bahwa gambar close-up (gambar dekat) dari pria yang merokok adalah "brilian", dan bahwa dalam beberapa kala, dia merasa bahwa "itu bukan film. Tapi real!".[53] Sutradara Monty Tiwa juga memuji gambar film ini, mengutip sebuah adegan di mana putri Pandjaitan itu menangis histeris saat ayahnya ditembak sebagai "efek dramatis yang tinggi dan shot yang belum pernah saya lihat dalam film Indonesia".[53] Namun Sen dan Hill menemukan "tidak ada keunggulan estetika" dari karya-karya lain sutradara ini.[46]

Hilmar Farid, seorang sejarawan Indonesia, menyebut film ini sebagai sebuah propaganda yang dicampur dengan "sejumlah fantasi [dari Orde Baru]".[54] Wartawan Hendro Subroto, yang meliput pengambilan mayat para jenderal dari Lubang Buaya, mengkritik akurasi film ini pada tahun 2001; ia menyatakan bahwa mayat-mayat tersebut tidak menunjukkan bukti adanya penyiksaan.[52] Sementara itu, mantan penulis Lekra Putu Oka Sukanta menggambarkan film ini sebagai sebuah pengecilan penderitaan para anggota PKI dan kaum kiri lainnya dalam peristiwa yang mengikuti peristiwa G30S, sehingga menjadi "pembohongan pada masyarakat".[55] Sejarawan John Roosa berpendapat bahwa penggambaran peristiwa G30S dalam film ini seperti telah mengalahkan diri film ini sendiri, karena menurut dokumen yang ditulis Brigadir Jenderal Soepardjo (salah satu tokoh kunci G30S), operasi kudeta ini dipimpin oleh orang-orang yang "keheranan, ragu-ragu, dan tidak terorganisir".[1]

Dalam sebuah wawancara 2012, Katamsi mengakui bahwa film ini sebagian dimainkan dengan berlebih-lebihan, dan bahwa film ini telah menjadi cara yang ampuh untuk menyebarkan dan mengindoktrinasi pemirsa ke dalam ideologi Orde Baru.[56] Survei TEMPO berpendapat bahwa film ini adalah propaganda yang efektif, mengarahkan pengulas untuk "menolak semua yang berbau PKI dan komunis."[54] Meskipun tidak lagi disiarkan setiap 30 September, film ini tetap tersedia di pasaran. Sebuah edisi video CD dirilis oleh Virgo pada tahun 2001[36] dan museum G30S/PKI di Lubang Buaya tetap menawarkan pemutaran rutin film di bioskop setempat.[57] Kedua salinan 35 mm dan VHS film ini disimpan di Sinematek Indonesia di Jakarta.[4]

Dua puluh tahun sejak film tersebut terakhir menjadi siaran wajib di televisi nasional, pada tahun 2017, beberapa kelompok mulai mengadakan sesi nonton bareng film pada akhir September untuk mengingat peristiwa tersebut.[58] SCTV menyiarkan film tersebut pada tahun 2018, dan tvOne serta TVRI juga mulai menyiarkannya pada tahun berikutnya.[59][60] TVRI tidak menyiarkan film tersebut pada tahun 2021, merujuk kepada keputusan Menteri Penerangan tahun 1998 yang mencabut status tontonan wajib film tersebut.[61]

Penghargaan

Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI menerima tujuh nominasi dalam Festival Film Indonesia 1984, memenangkan satu penghargaan Citra untuk Skenario Terbaik.[62] Film ini kalah dalam empat kategori, sebagai Sutradara Terbaik, Sinematografi Terbaik, Pemeran Utama Pria Terbaik, dan Penataan Musik Terbaik, oleh film Budak Nafsu karya Sjumandjaja,[63] sementara Ponirah terpidana karya Slamet Rahardjo memenangi Penataan Artistik Terbaik.[64] pada Festival Film Indonesia 1985 Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI menerima Piala Antemas (Penghargaan Khusus) sebagai Film Unggulan Terlaris periode 1984-1985.[62] Pengamat film Thomas Barker berpendapat bahwa penghargaan film tersebut, sebagian merupakan gabungan dari kepentingan negara dan FFI: keduanya berfokus pada mempromosikan budaya nasional yang bersatu.[65]

Penghargaan Tahun Kategori Penerima Hasil
Festival Film Indonesia 1984 Film Terbaik Nominasi
Penyutradaraan Terbaik Arifin C. Noer Nominasi
Skenario Terbaik Arifin C. Noer Menang
Sinematografi Terbaik Hasan Basri Nominasi
Penataan Artistik Terbaik Farraz Effendy Nominasi
Penataan Musik Terbaik Embie C. Noer Nominasi
Pemeran Utama Pria Terbaik Amoroso Katamsi Nominasi
1985 Film Terlaris Menang

Lihat pula

Catatan penjelas

  1. ^ Juga ditulis Penumpasan Pengkhianatan G 30 S/PKI dan Penumpasan Pengkhianatan G-30-S/PKI
  2. ^ Beberapa teori alternatif telah dikemukakan. (McGlynn & Sulistyo 2007, hlm. 6–8), contohnya, catatan tentang empat teori alternatif yang menggambarkan kudeta sebagai urusan intern Angkatan Darat, atau didalangi oleh Soekarno, Soeharto, atau Badan Intelijen Negara.
  3. ^ Sebagian perkiraan menyebutkan total korban meninggal 500.000, meskipun jumlah ini bervariasi dan jumlah total sebenarnya mungkin tidak akan pernah diketahui (Ricklefs 1993, hlm. 288–290).
  4. ^ Kira-kira setara dengan AS$ 1.000.000 pada Maret 1984. Ketika Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI diproduksi, rupiah berada di nilai mengambang tetapi sedang mengalami depresiasi; pada Maret 1983 nilainya sebesar Rp. 970 terhadap AS$, namun pada bulan September 1986 sebesar Rp. 1.664 terhadap AS$(CUHK 2000, Historial Exchange Rate).
  5. ^ Hal ini, (Vickers 2012, hlm. 63–64) menunjukkan, menghubungkan "horor individu" dalam film-film horor terhadap masalah sosial yang lebih luas seperti komunisme.
  6. ^ (Sen 1994, hlm. 81) mencatat sebuah film produksi dalam negeri sebelumnya mengenai kudeta G30S berjudul Operasi (1968), namun film ini tidak pernah ditayangkan secara komersil.
  7. ^ Kala itu, film apapun yang ditonton oleh lebih dari 200.000 orang dianggap sebagai film yang "sangat laris"; tujuh film yang diproduksi pada tahun 1984 mencapai patokan ini (Kompas 1984, 'Pengkhianatan G30S/PKI').

Referensi

  1. ^ a b c Roosa 2006, hlm. 98.
  2. ^ a b c Vickers 2012, hlm. 63–64.
  3. ^ a b c Sen & Hill 2006, hlm. 147.
  4. ^ a b c Filmindonesia.or.id, Pengkhianatan G-30-S PKI.
  5. ^ Ricklefs 1993, hlm. 230–260.
  6. ^ Dahm 1971, hlm. 225.
  7. ^ Roosa 2006, hlm. 36; Dahm 1971, hlm. 230.
  8. ^ Roosa 2006, hlm. 40.
  9. ^ Dahm 1971, hlm. 232.
  10. ^ Roosa 2006, hlm. 37.
  11. ^ Dahm 1971, hlm. 234–238.
  12. ^ Ricklefs 1993, hlm. 288–290.
  13. ^ Filmindonesia.or.id, Pengkhianatan G-30-S PKI; Tempo 2012, Sosok 'Dalang'; Heider 1991, hlm. 101.
  14. ^ Sen & Hill 2006, hlm. 147; Filmindonesia.or.id, Pengkhianatan G-30-S PKI; McGregor 2007, hlm. 96–97
  15. ^ a b c d Merdeka 1998, Menyoal Pencabutan.
  16. ^ a b Heryanto 2006, hlm. 13.
  17. ^ Heryanto 2006, hlm. 13; Filmindonesia.or.id, Kredit.
  18. ^ Tempo 2012, Sosok 'Dalang'; Kompas 1993, Film-film Sejarah Kontemporer
  19. ^ a b c McGregor 2007, hlm. 96–97.
  20. ^ Tempo 2012, Sosok 'Dalang'.
  21. ^ Tempo 2012, Proses Arifin C. Noer.
  22. ^ Kompas 1993, Rano Karno.
  23. ^ Filmindonesia.or.id, Kredit.
  24. ^ a b Tempo 2012, 3 Pemeran Sentral.
  25. ^ Filmindonesia.or.id, Pengkhianatan G-30-S PKI; Fathiyah 2012, Film Pengkhianatan G30S/PKI.
  26. ^ Filmindonesia.or.id, Kredit; Republika 1997, Satu Perempuan.
  27. ^ a b Marselli 1984, Film Pengkhianatan G30S/PKI.
  28. ^ Mulligan 2005, hlm. 135.
  29. ^ Paramadhita 2011, Questions.
  30. ^ a b c McGregor 2007, hlm. 98–100.
  31. ^ Taum 2008, hlm. 29.
  32. ^ Sen & Hill 2006, hlm. 147; Tempo 2012, Komentar Soeharto.
  33. ^ Heryanto 2006, hlm. 7.
  34. ^ Heryanto 2006, hlm. 6.
  35. ^ Tempo 2012, Komentar Soeharto.
  36. ^ a b Heryanto 2006, hlm. 198–199.
  37. ^ Filmindonesia.or.id, Penumpasan.
  38. ^ Filmindonesia.or.id, Djakarta 1966; Filmindonesia.or.id, Penghargaan Djakarta 1966
  39. ^ Indrietta 2012, Film Pengkhianatan G30S/PKI 2; Sen & Hill 2006, hlm. 148
  40. ^ a b Sen & Hill 2006, hlm. 148.
  41. ^ Prijosusilo 2007, G30S.
  42. ^ Heryanto 2006, hlm. 50–51.
  43. ^ a b Sen & Hill 2006, hlm. 149.
  44. ^ Heryanto 2006, hlm. 8.
  45. ^ Heryanto 2006, hlm. 14.
  46. ^ a b Sen & Hill 2006, hlm. 162.
  47. ^ Filmindonesia.or.id, Pengkhianatan G-30-S PKI; Rini and Evan 2012, Tokoh di Balik Penghentian
  48. ^ Filmindonesia.or.id, Janur Kuning; Filmindonesia.or.id, Serangan Fajar.
  49. ^ Sijabat 2003, Indonesia.
  50. ^ Fathiyah 2012, Film Pengkhianatan G30S/PKI.
  51. ^ Tempo 2012, Sosok 'Dalang'; Sen & Hill 2006, hlm. 148.
  52. ^ a b Indrietta 2012, Film Pengkhianatan G30S/PKI 2.
  53. ^ a b Indrietta 2012, Film Pengkhianatan G30S/PKI 1.
  54. ^ a b Sari 2012, Film Pengkhianatan G30S/PKI.
  55. ^ Revianur 2012, Korban 65.
  56. ^ Fathiyah 2012, Film Pengkhianatan G30S/PKI; Sari 2012, Film Pengkhianatan G30S/PKI.
  57. ^ Dwiharti & Mulyani 2011, hlm. 241.
  58. ^ Prastiwi, Devira; Kiansantang, Jennar (2017-09-24). Rinaldo; Saputra, Reza Deni; Kiansantang, Jennar, ed. "Menkopolhukam: Hentikan Polemik Pemutaran Film G30S/PKI". Liputan6.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-11. Diakses tanggal 2021-08-11. 
  59. ^ Purmasari, Niken (2018-09-28). "Jadi Perbincangan, PFN Jelaskan Hak Siar Film G30/SPKI". detikcom. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-11. Diakses tanggal 2021-08-11. 
  60. ^ Irfani, Faisal (2018-09-28). "Kok Bisa Film G30S/PKI Ditayangkan Lagi oleh SCTV dan TV One?". Tirto.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-11. Diakses tanggal 2021-08-11. 
  61. ^ Suryanto (2021-09-30). Nurcahyani, Ida, ed. "TVRI tidak akan tayangkan film "Pengkhianatan G 30 S PKI"". ANTARA News. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-10-01. Diakses tanggal 2021-10-01. 
  62. ^ a b Filmindonesia.or.id, Penghargaan.
  63. ^ Filmindonesia.or.id, Penghargaan Budak Nafsu.
  64. ^ Filmindonesia.or.id, Penghargaan Ponirah Terpidana.
  65. ^ Barker 2011, hlm. 18–19.

Bacaan lanjutan

Pranala luar