Theravada
Theravāda ialah aliran tertua agama Buddha[1][2] Aliran ini terbentuk hasil pemeliharaan ajaran-ajaran disebarkan Gautama Buddha sejak lebih seabad[1][2][web 1] dalam gerakan Mahāvihāra cabang Vibhajjavāda yang mula bertapak di Sri Lanka moden pada abad ke-3 SM sebelum tersebar luas ke Asia Tenggara.[3] Aliran ini diamalkan utama di negara-negara Kemboja, Laos, Myanmar, Sri Lanka dan Thailand, secara kecilan di India, Bangladesh, China, Nepal, dan Vietnam dan diaspora dari dua-dua kelompok ini serata dunia; ia lazim diamalkan dalam rantau Nusantara khususnya di Thailand Selatan dan Kelantan di Pantai Timur Semenanjung Malaysia.[4] Bahasa Pali merupakan bahasa utama yang digunakan dalam upacara agama dan urusan pendidikan para penganut aliran ini.[2][5]
Aliran ini bercirikan pendekatan yang konservatif terhadap pelaksanaan aspek-aspek anutan tertentu termasuk asas kepercayaan (pariyatti) serta amalan pengabdian dan pengasingan diri dari harta kebendaan (vinaya).[6]
Doktrin
Aliran Theravada mempromosikan konsep Vibhajjavada (maksud dari bahasa Pali: “Pengajaran Analisis”) yang mengatakan bahawa wawasan harus datang dari pengalaman, penerapan pengetahuan, dan penalaran kritis pengikut. Namun, kitab suci dari tradisi Theravada juga menekankan perhatian terhadap nasihat orang bijak, mengingat nasihat tersebut dan penilaian terhadap pengalaman yang dimiliki seseorang menjadi dua uji yang dengannya amalan-amalan harus dinilai.
Ortodoksi Theravāda mengambil tujuh tahap pemurnian sebagai garis dasar dari jalan yang harus diikuti.
Jalan Theravāda dimulai dengan belajar, diikuti dengan pengamalan, yang berpuncak pada pencapaian Nirwana.[7]
Prinsip dasar theravada
Empat kebenaran mulia
Garis besar empat kebenaran mulia adalah sebagai berikut:
- Dukkha; Duka atau Penderitaan. Dukkha boleh dikelaskan secara lebih luas menjadi tiga kategori: penderitaan yang melekat, atau penderitaan yang dialami seseorang dalam semua kegiatan duniawi, apa yang diderita seseorang dalam kehidupan sehari-hari: kelahiran, penuaan, penyakit, kematian, kesedihan dan sebagainya. Singkatnya, semua yang seseorang rasakan, mulai dari pemisahan pada kelengkapan “kasih-sayang”, dan/atau berhubungan dengan “kebencian”, dimasukkan ke dalam istilah ini. Kelas kedua dari penderitaan, disebut sebagai Penderitaan kerana Perubahan, menyiratkan bahawa banyak hal menjadikan seseorang menderita kerana ia melekatkan dirinya ke keadaan sesaat yang dianggap “baik”; ketika keadaan itu berubah, maka hal itu menjadi penyebab timbulnya penderitaan. Kelas yang ketiga, disebut Sankhara Dukkha, merupakan dukkha yang paling halus. Makhluk menderita hanya kerana tidak menyedari bahawa mereka hanya merupakan himpunan pengenalan yang tak pasti dan tak ajeg.
- Dukkha Samudaya; Sebab Penderitaan. Pengidaman, yang membawa pada Kelekatan dan Keterikatan, merupakan penyebab penderitaan. Secara formal, ini disebut sebagai Tanha. Tanha ini dapat diklasifikasikan menjadi tiga dorongan naluriah. Kama Tanha merupakan Pengidaman terhadap setiap objek keinderaan yang menyenangkan (yang melibatkan penglihatan, suara, sentuhan, rasa, bau dan perseptif-perseptif mental). Bhava Tanha merupakan Pengidaman terhadap kelekatan pada proses-proses berkelanjutan, yang muncul dalam berbagai bentuk, termasuk kerinduan terhadap eksistensi. Vibhava Tanha merupakan Pengidaman untuk lepas dari suatu proses, yang mencakup ketidakberadaan dan yang menyebabkan kerinduan terhadap pemusnahan-diri.
- Dukkha Nirodha; Berakhirnya Penderitaan. Seseorang tidak mungkin mengatur seluruh dunia menurut seleranya guna menghilangkan penderitaan dan berharap bahawa hal itu akan tetap demikian selamanya. Ini akan melanggar prinsip utama Perubahan. Sebaliknya, seseorang menyesuaikan fikiran yang dimilikinya melalui keterlepasan sehingga Perubahan tersebut, dalam bentuk apapun, tidak berpengaruh pada ketenangan pikirannya. Secara singkat dikatakan, Kebenaran Mulia ketiga menyiratkan bahawa penghapusan terhadap penyebab (pengidaman) menghilangkan hasil (penderitaan). Hal ini disiratkan dalam kutipan kitab suci oleh Sang Buddha, ‘Apa pun yang bisa berasal dari suatu sebab, harus dihilangkan dengan penghapusan penyebab tersebut’.
- Dukkha Nirodha Gamini Patipada; Cara Menghentikan Penderitaan. Dukkha Nirodha Gamini Patipada (jalan untuk bebas dari penderitaan): Ini merupakan Jalan Mulia Beruas Lapan menuju kebebasan atau Nirwana.
Tiga corak umum
Dalam seluruh kanon Pali dua ciri dari semua fenomena yang berkeadaan dan salah satu ciri dari semua dharma sedang disebutkan. Tradisi Theravada telah merangkumkan ia bersama. Wawasan di dalam tiga ciri ini merupakan jalan masuk ke jalan Buddha:
- Ketidakkekalan adalah satu dari Tiga Corak Kehidupan. Istilah ini menggambarkan pendapat Agama Buddha bahawa segala hal atau gejala yang berkondisi (materi atau pengalaman) adalah tidak tetap, senantiasa berubah dan tidak kekal. Segala sesuatu yang kita alami melalui deria kita terbentuk dari bahagian-bahagian yang terbentuk dari kondisi-kondisi luar. Segala sesuatu sentiasa berubah, demikian juga dengan kondisi dan hal itu sendiri berubah tanpa henti. Segala hal berubah menjadi sesuatu, dan berhenti. Tidak ada yang abadi.
- Derita, walaupun dukkha sering kali diterjemahkan sebagai "penderitaan", takrifan falsafahnya lebih menyerupai "kegelisahan", selayaknya berada dalam keadaan terganggu. Dengan demikian, "penderitaan" merupakan artian yang terlalu sempit untuk "konotasi emosional yang negatif" (Jeffrey Po),[8] yang dapat memberikan kesan akan pandangan Buddhis yang kurang yakin, tetapi Agama Buddha bukanlah mengenai keyakinan atau ketidak-yakinan, tetapi kenyataan. Dengan demikian, banyak dari naskah atau tulisan-tulisan Agama Buddha, kata Dukkha dibiarkan demikian adanya, tanpa pemberian erti, guna memberikan erti yang lebih luas.
- Tanpa Inti; dalam filosofi India, pengertian akan diri disebut ātman (yang lebih mengarah kepada, "Jiwa" atau diri-metafisik), yang merujuk pada keadaan yang tidak berubah, bersifat tetap lewat pemahaman akan keberadaan. Agama Buddha tidak menerima pemahaman akan ātman, pada penekanan ketidak kekalan, tetapi kemampuan untuk berubah. Oleh kerana itu, seluruh pemahaman diri secara keseluruhan adalah tidak benar dan terbentuk di alam ketidaktahuan.
Sebab dan Akibat
Konsep Sebab Akibat, atau Kausalitas, merupakan konsep kunci dalam Theravada, dan demikian juga, dalam Buddhisme secara keseluruhan. Konsep ini diungkapkan dalam beberapa cara, termasuk di dalamnya Empat Kebenaran Mulia, dan yang paling penting, Paticcasamuppada (tergantung pada apa yang menyertai ketika timbul).
Abhidharma dalam kanon Theravāda membezakan antara akar penyebab (Hetu) dan penyebab pendukung (Pacca). Oleh interaksi gabungan dari kedua-dua aspek ini, kesannya pun timbul. Di atas pandangan ini, logika dibangun dan diuraikan yang bentuk paling lenturnya dapat dilihat pada Paticcasamuppada.
Konsep ini kemudian digunakan untuk mempertanyakan sifat penderitaan dan untuk menjelaskan jalan keluar dari penderitaan itu, seperti yang diungkapkan dalam Empat Kebenaran Mulia. Hal ini juga digunakan dalam beberapa sutta guna membantah beberapa filosofi, atau sistem kepercayaan manapun yang membutuhkan fikiran mantap, atau keyakinan mutlak mengenai hakikat kenyataan.
Dengan menjauhi penyebab, akibat juga akan hilang. Dari sini jalan Buddha diikuti untuk mengakhiri penderitaan dan keberadaan dalam samsara.
Amalan
Ortodoksi Theravāda mengambil tujuh tahap pemurnian sebagai garis dasar jalan yang harus diikuti. Garis dasar ini didasarkan pada disiplin Sila beruas tiga (etika atau disiplin), Samadhi (tumpuan meditatif), Pañña (pemahaman atau kebijaksanaan). Penekanannya adalah pada pemahaman terhadap tiga tanda eksistensi, yang menghilangkan vijnana, ketidaktahuan. Pemahaman menghancurkan Sepuluh Belenggu dan membawa pada Nirwana.
Theravadin percaya bahawa setiap individu secara peribadi bertanggungjawab atas kebangkitan dan pembebasan diri mereka sendiri, kerana mereka adalah orang-orang yang bertanggungjawab atas perbuatan dan akibat perbuatannya (Sansekerta: karma; Pali: kamma). Penekanan besar ditempatkan pada penerapan pengetahuan melalui pengalaman langsung dan penyedaran peribadi, daripada mempercayai informasi yang diketahui tentang sifat hakiki seperti dikatakan oleh Buddha.
Jalan utama berunsur lapan
Dalam Sutta Pitaka jalan menuju pembebasan digambarkan oleh Jalan Mulia Berunsur Delapan:
- Sang Begawan Berkata, “Sekarang apakah, para bhikkhu, Jalan Mulia Berunsur Delapan itu? Pandangan benar, ketetapan hati benar, ucapan benar, perbuatan benar, mata pencaharian benar, usaha benar, perhatian benar, tumpuan benar.[9]
Jalan Utama Berunsur Delapan sering kali dibagi menjadi tiga bagian:
- Pengertian Benar (sammä-ditthi)
- Pikiran Benar (sammä-sankappa)
- Ucapan Benar (sammä-väcä)
- Perbuatan Benar (sammä-kammanta)
- Pencaharian Benar (sammä-ajiva)
- Konsentrasi (Pali: Samädhi)
- Daya-upaya Benar (sammä-väyäma)
- Perhatian Benar (sammä-sati)
- Konsentrasi Benar (sammä-samädhi)
Meditasi
Amalan meditasi atau tafakur dalam aliran Theravada jatuh ke dalam dua kategori besar: samatha dan vipassanā.[10] Perbezaan ini tidak dibuat dalam sutta, tetapi dalam Visuddhimagga. Beberapa istilah umum yang dihadapi dalam amalan ini termasuk:
- Anapanasati
- Metta
- Kammatthana
- Samatha
- Vipassana
Meditasi (Pali: bhavana) bererti penguatan positif terhadap fikiran seseorang. Secara luas dikategorikan ke dalam samatha dan vipassana, Meditasi merupakan alat kunci yang diimplementasikan dalam mencapai jhana (dhyana). Samatha secara harfiah bererti “untuk membuat terampil,” dan memiliki erti lain juga, di antaranya adalah “meredakan, menenangkan,” “memvisualisasikan,” dan “mencapai”. Vipassana bererti “wawasan” atau “pemahaman abstrak.” Dalam konteks ini, Meditasi samatha membuat seseorang terampil dalam tumpuan fikiran. Setelah fikiran cukup tertumpu, vipassana memungkinkan seseorang untuk melihat melalui selubung ketidaktahuan.
Para pengikut aliran mempunyai rangka langkah membebaskan diri dari penderitaan dan tekanan di mana ada kepercayaan bahawa kekotoran batin harus dicabut secara permanen. Awalnya kekotoran batin dikendalikan melalui perhatian untuk mencegahnya dari mengambil-alih tindakan mental dan fizikal. Kekotoran batin ini kemudian tumbang melalui penyelidikan, analisis, pengalaman dan pemahaman dalaman tentang sifat sejati yang dimilikinya dengan menggunakan jhana. Proses ini perlu diulang untuk setiap kekotoran yang ada. Praktik ini kemudian akan membawa perantara mencapai Nibbana (Nirwana).
Meditasi Samatha
Meditasi samatha dalam Theravada biasanya terlibat dengan konsep Kammatthana yang secara harfiah bererti “tempat kerja”; dalam konteks ini, meditasi merupakan “tempat” atau objek tumpuan (Pali: Ārammana) di mana fikiran sedang bekerja. Dalam meditasi samatha, fikiran diatur di tempat kerja dengan tertumpu pada satu entitas tertentu. Ada empat puluh (40) objek (entitas) klasik seperti itu yang digunakan dalam meditasi samatha, yang disebut Kammatthana. Dengan memperoleh Kammatthana dan berlatih meditasi samatha, seseorang akan mampu untuk mencapai keadaan peningkatan kesedaran dan keterampilan fikiran tertentu yang disebut Dhyana. Mempraktikkan samatha memiliki samadhi (tumpuan) sebagai tujuan utamanya.
Perlu dicatat bahawa samatha bukanlah kaedah yang unik bagi Buddhisme. Di dalam sutta dikatakan kaedah ini diterapkan pada agama-agama kontemporer lainnya di India pada masa Buddha. Bahkan, guru pertama dari Siddhartha, sebelum mereka mencapai keadaan kesedaran (Pali: Bodhi), dikatakan telah cukup terampil dalam samatha (meskipun istilah tersebut belum diciptakan pada masa itu). Dalam wacana Hukum Pali, sang Buddha sering memerintahkan murid-muridnya untuk berlatih samadhi (tumpuan) dalam rangka membangun dan mengembangkan Dhyana (tumpuan penuh). Dhyana merupakan instrumen yang digunakan oleh Sang Buddha sendiri untuk menembus hakikat fenomena (melalui penyelidikan dan pengalaman langsung) dan untuk mencapai Pencerahan.[11] Penumpuan Benar (samma-samadhi) adalah salah satu unsur dalam Jalan Mulia Beruas Lapan. Samadhi dapat dikembangkan dari kesadaran dikembangkan dengan kammatthana seperti tumpuan pada pernafasan (anapanasati), dari benda-benda visual (kasina), dan pengulangan ungkapan. Daftar tradisional mengandung 40 objek meditasi (kammatthana) yang akan digunakan untuk meditasi samatha. Setiap benda memiliki tujuan tertentu; misalnya, meditasi pada bagian tubuh (kayanupassana atau kayagathasathi) akan menghasilkan berkurangnya keterikatan pada tubuh kita sendiri dan orang lain, menghasilkan penurunan terhadap hasrat sensual. Metta (mencintai kebaikan) menghasilkan perasaan keinginan-baik dan kebahagiaan terhadap diri kita sendiri dan makhluk lain; praktik metta berfungsi sebagai penangkal keinginan-buruk, angkara murka dan ketakutan.
Meditasi Vipassana
Vipassana adalah kemampuan untuk melihat segala sesuatu sebagaimana adanya. “Vi” dalam bahasa Pali bererti “untuk menembus seperti sebilah pedang” atau “untuk melepaskan helaian”, sementara “passanā” bererti “untuk melihat”. Vipassanā ini selanjutnya berkonsentrasi dengan melihat melalui selubung ketidaktahuan (Pali: Avijja). Sementara semua agama besar memiliki tradisi mistik yang berkaitan dengan proses ini, sentralitas praktik-praktik dalam agama adalah unik bagi Buddhisme. Terutama, vipassanā terlibat dalam memecahkan sepuluh belenggu yang mengikat seseorang kepada kitaran kelahiran dan kematian yang terus-menerus, iaitu samsara. Beberapa guru tidak membedakan antara dua kaedah ini, tetapi meresepkan kaedah-kaedah meditasi yang mengembangkan baik itu tumpuan dan juga wawasan.
Pencapaian
Jalan dan buah
Praktik membawa pada kebijaksanaan duniawi dan adi-duniawi, yang membawa ke Nirwana:
- Istilah “adi-duniawi” [lokuttara] berlaku khusus bagi hal-hal yang melampaui dunia, iaitu sembilan keadaan adi-duniawi: Nibbana, empat jalan mulia (magga) menuju Nibbana, dan buah-buahan yang berhubungan dengannya (phala) yang mengalami kebahagiaan Nibbana.[12]
Kebijaksanaan duniawi adalah wawasan dalam tiga tanda eksistensi. Pengembangan terhadap wawasan ini membawa pada empat jalan dan buah adi-duniawi:
- Setiap jalan merupakan pengalaman puncak sesaat yang secara langsung menahan Nibbana dan secara permanen memotong kekotoran batin tertentu.
Masing-masing jalan diikuti oleh buah adi-duniawinya:
- Sementara jalan tersebut melakukan fungsi aktif memotong kekotoran batin, buah yang dipanen hanya menghasilkan kebahagiaan dan kedamaian yang terjadi ketika jalan tersebut telah menyelesaikan tugasnya. Juga, di mana jalan itu terbatas pada momen kesadaran tunggal, buah yang dipanen dari jalan tersebut bertahan selama dua atau tiga momen. Dan ketika masing-masing dari keempat jalan itu hanya terjadi sekali dan tidak pernah dapat diulang, buah yang dipanen tetap dapat diakses oleh siswa yang mulia.
Empat tingkat pencerahan
Melalui pelatihan dan pembelajaran, pengikut mazhab Theravada dapat mencapai salah satu dari empat tingkat pencerahan:
- Pemasuk Arus - Mereka yang telah mematahkan ketiga belenggu (Pandangan salah tentang Aku, keraguan, kemelekatan terhadap peraturan dan ritual) tidak akan terlahirkan kembali ke dalam keadaan atau kelahiran (sebagai binatang, preta, atau di neraka). Ia hanya dapat dilahirkan sebagai manusia atau di surga. Mereka paling tidak akan dilahirkan sebanyak tujuh kali sebelum mencapai pencerahan.
- Kembali Sekali - Mereka yang telah melenyapkan ketiga belenggu utama dan melemahkan belenggu akan nafsu deria dan dendam atau dengki, akan kembali ke alam manusia satu kali lagi sebelum mencapai Nirwana dalam kehidupan tersebut.
- Tidak Kembali - Mereka yang telah melenyapkan kelima belenggu, yang mengikat mahluk hidup pada alam perasaan. Seorang "Tidak-Kembali" (Anagami) tidak akan kembali ke dalam alam manusia setelah meninggal dunia, mereka akan dilahirkan kembali di alam yang lebih tinggi guna mencapai Nirwana.
- Arahat - Mereka yang telah mencapai Pencerahan, mengalami Nirwana, dan telah mencapai keadaaan akan tanpa kematian, terbebas dari segala bentuk kekotoran batin yang tersisa. Kebodohan, kegemaran dan keterikatan mereka tidak ada lagi. Mencapai tingkat Arahat digambarkan pada naskah terdahulu sebagai tujuan kehidupan biara.
Nirwana
Nirwana (Sansekerta: निर्वाण, Nirvāṇa, Pali: निब्बान, Nibbāna; Thai: นิพพาน, Nípphaan) adalah tujuan akhir seseorang pengikut Theravada yang berkeadaan di mana api hawa nafsu telah ‘ditiup hingga padam,’ dan orang tersebut dibebaskan dari kitaran hayat - yakni kelahiran, penyakit, penuaan dan kematian - yang berulang. Dalam Sutta Saṃyojanapuggala dari Aṅgutarra Nikaya, Sang Buddha menjelaskan empat jenis orang dan mengatakan bahawa orang terakhir—Arahat—telah mencapai Nirwana dengan menghapuskan seluruh 10 belenggu yang mengikat makhluk kepada samsara:
- “Dalam Arahat tersebut. Pada orang ini, para biku, semua belenggu [saṃyojanāni] disingkirkan dari keberhubungannya dengan dunia ini, menimbulkan kelahiran kembali, dan menimbulkan kepantasan.[13]
Menurut kitab suci awal, Nirwana yang dicapai oleh para Arahat mirip apa yang dicapai Buddha sendiri, kerana hanya ada satu jenis Nirwana.[14] Theravadin percaya Sang Buddha lebih unggul dari Arahat kerana Sang Buddha menemukan sendiri semua jalan itu dan mengajarkannya kepada orang lain (iaitu secara metaforis dengan memutar roda Dharma). Arahat, di sisi lain, mencapai Nirwana sebagiannya kerana ajaran Buddha. Theravadin menghormati Buddha sebagai orang yang sangat berbakat tetapi juga mengakui keberadaan orang lain seperti pada Buddha pada masa lalu dan masa depan. Maitreya (Pali: Metteyya), misalnya, disebutkan dengan sangat singkat dalam Kanon Pali sebagai Buddha yang akan muncul pada masa depan.
Amalan
Bahagian ini kosong. Anda boleh bantu dengan menambah isi bahagian ini. |
Nota
- ^ Ralat petik: Tag
<ref>
tidak sah; tiada teks disediakan bagi rujukan yang bernamaBraun2014
Rujukan
- ^ a b Gyatso, Tenzin (2005). Bodhi, Bhikkhu (penyunting). In the Buddha's Words: An Anthology of Discourses from the Pali Canon. Somerville, Massachusetts: Wisdom Publications. m/s. ix. ISBN 978-0-86171-491-9.
- ^ a b c Reynolds, Frank E.; Kitagawa, Joseph M.; Nakamura, Hajime; Lopez, Donald S.; Tucci, Giuseppe (2018). "Theravada". britannica.com. Encyclopaedia Britannica.
Theravada (Pali: “Way of the Elders”; Sanskrit, Sthaviravada) emerged as one of the Hinayana (Sanskrit: “Lesser Vehicle”) schools, traditionally numbered at 18, of early Buddhism. The Theravadins trace their lineage to the Sthaviravada school, one of the two major schools (the Mahasanghika was the other) that supposedly formed in the wake of the Council of Vaishali (now in Bihar state) held some 100 years after the Buddha's death. Employing Pali as their sacred language, the Theravadins preserved their version of the Buddha's teaching in the Tipitaka (“Three Baskets”).
- ^ Prebish, Charles S. (1975). Buddhism – a modern perspective. University Park: Pennsylvania State University Press. ISBN 0271011858. OCLC 1103133.
- ^ Mohamed Yusoff Ismail (2006). "Buddhism in a Muslim State: Theravada Practices and Religious Life in Kelantan" (PDF). Jurnal e-Bangi. Universiti Kebangsaan Malaysia. 1 (1): 2, 4.
- ^ Crosby, Kate (2013), Theravada Buddhism: Continuity, Diversity, and Identity, p. 2.
- ^ Gombrich, Richard (2006), Theravada Buddhism: A Social History from Ancient Benares to Modern Colombo, Routledge; 2nd edition, p. 37.
- ^ Gombrich 1996, halaman 150.
- ^ Jeffrey Po, “Is Buddhism a Pessimistic Way of Life?” Diarkibkan 2009-04-18 di Wayback Machine
- ^ Magga-vibhanga Sutta: An Analysis of the Path
- ^ "The Pali Text Society's Pali-English dictionary". Diarkibkan 24 Julai 2014 di Wayback Machine Dsal.uchicago.edu
- ^ "A Sketch of the Buddha's Life". Access to Insight
- ^ Henepola Gunaratana, The Jhanas in Theravāda Buddhist Meditation.
- ^ Woodward, F.L. (2008). The Book of Gradual Sayings (Aṇguttara Nikāya). Pali Text Society - Oxford. halaman 137.
- ^ Bodhi. "A Treatise on the Paramis: From the Commentary to the Cariyapitaka"