[go: up one dir, main page]

Penumpangan tangan

Penumpangan tangan adalah sebuah bagian dari upacara pengangkatan seseorang ke dalam jabatan keagamaan, khususnya Yudaisme dan Kristen. Tindakan ini dilakukan dalam sebuah upacara peneguhan atau pengangkatan.

Penumpangan tangan di dalam Gereja Roma Katolik ketika penahbisan imam

Upacara ini berkaitan dengan Suksesi Apostolik. Karena itu dalam liturgi penahbisan, hal ini dilakukan oleh seorang uskup sebagai akta penerusan suksesi apostolik dari Petrus.

Dalam gereja-gereja yang tidak menganut sistem episkopal, hal ini dilakkukan oleh para pendeta senior yang akan menumpangkan tangan saat menahbiskan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “penumpangan” berarti proses atau cara menumpangkan. Sedangkan “menumpangkan” berarti memberikan sesuatu supaya dibawa, menyerahkan sesuatu supaya dijaga, menitipkan, mengamanatkan. Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan secara sederhana bahwa penumpangan tangan adalah suatu cara untuk memberikan amanat kepada seseorang dengan menggunakan tangan. Pengertian lain dari penumpangan tangan adalah apabila seseorang meletakkan tangannya atas tubuh orang lain untuk keperluan rohani tertentu .[1]

Penumpangan tangan dalam Alkitab

sunting

Alkitab juga menunjukkan beberapa peristiwa penumpangan tangan. Di dalam Perjanjian Lama dapat kita lihat saat Musa menumpangkan tangannya kepada Yosua untuk memberikan kuasa dan hikmat kepadanya sebagai pemimpin baru atas umat Allah. Tuhan memerintahkan agar Musa meletakkan tangannya di atas kepala Yosua. Hal ini berarti Yosua diberikan amanat baru untuk menggantikan Musa dan dengan penumpangan tangan yang dilakukan oleh Musa kuasa Tuhan tercurah atas diri Yosua (Bilangan 27: 15-23). Sama halnya dengan penahbisan pendeta, penumpangan juga melambangkan pencurahan Roh Kudus atas orang yang hendak ditahbiskan menjadi pendeta atau pemimpin jemaat melalui perantaraan para pendeta-pendeta lainnya.

Dalam Perjanjian Baru juga disinggung mengenai praktik penumpangan tangan. Penahbisan dan peneguhan diyakini sebagai pencurahan karunia dan kuasa Roh Kudus. Pemahaman ini tercatat dalam Perjanjian Baru Apokrif abad kedua.[2] Kisah Para Rasul 6: 1-7 menceritakan bagaimana tujuh orang dipilih untuk membantu rasul-rasul melayankan meja. Mereka didoakan kemudian rasul-rasul itu meletakkan tangan di atas ketujuh orang itu. Penumpangan tangan juga dilakukan oleh Petrus dan Yohanes. Mereka diutus oleh rasul-rasul untuk mencurahkan Roh Kudus kepada orang-orang Samaria ( Kis 8:17).

Sudut pandang Liturgi

sunting

Di dalam liturgi kita mengenal simbol-simbol liturgi. Simbol-simbol liturgi dapat berupa benda dan dapat juga berupa gerakan atau kegiatan indrawi. Jika kita melihat dari sudut pandang liturgi, penumpangan tangan merupakan salah satu simbol liturgi. Martasudjita dalam bukunya Memahami Simbol-simbol Dalam Liturgi mengatakan bahwa penumpangan tangan termasuk dalam simbol liturgi sentuhan.[3] Menurutnya, manusia juga merupakan simbol liturgi. Dengan menggunakan tubuhnya manusia dapat menyimbolkan sesuatu. Salah satunya tangan dalam penumpangan tangan.

Selain mencurahkan roh kudus, penumpangan tangan juga dapat dimaknai penyerahan tugas dan tanggung jawab. Saat ditahbiskan menjadi pendeta, orang yang ditahbiskan itu secara otomatis menerima tugas dan tanggung jawab yang baru sebagai pendeta. Kemudian, untuk menjalankan tugas kependetaannya itu ia membutuhkan berkat dari Tuhan. Berkat itu diberikan melalui perantaraan penumpangan tangan yang dilakukan oleh para pendeta yang hadir. Dengan demikian penumpangan tangan juga berarti pemberian berkat atau penganugerahan berkat kepada pendeta yang baru ditahbiskan.

Referensi

sunting
  1. ^ Derek Prince, Penumpangan Tangan. Jakarta: Yayasan Pekabaran Injil Immanuel, 1993.
  2. ^ Rasid Rachman, Hari Raya Liturgi. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005.
  3. ^ E. Martasudjita, Memahami Simbol-simbol dalam Liturgi. Yogyakarta: Kanisius, 1998.

Pranala luar

sunting