[go: up one dir, main page]

Sistem bilangan biner

(Dialihkan dari Biner)

'


Sistem bilangan biner atau sistem bilangan basis dua adalah sistem penulisan angka untuk dengan menggunakan dua simbol, umumnya "0" (nol) dan "1" (satu). Bilangan yang dituliskan dengan cara ini disebut dengan bilangan biner. Bilangan biner juga dapat merujuk pada bilangan rasional yang memiliki representasi terbatas dalam sistem bilangan biner.

Sistem bilangan biner adalah suatu notasi posisional dengan nilai basis 2. Setiap digit pada sistem ini disebut bit (binary digit). Karena penerapannya yang mudah sebagai gerbang logika dalam rangkaian-rangkaian elektronik, sistem biner digunakan oleh hampir semua perangkat komputer dan berbasis-komputer karena kesederhanaan bahasa dan kekebalannya terhadap derau (noise) dalam penerapan dunia nyata.[1]

Sejarah

sunting

Sistem bilangan binear modern dipelajari di Eropa pada abad ke-16 dan 17, oleh para matematikawan meliputi Thomas Harriot, Juan Caramuel y Lobkowitz, dan Gottfried Leibniz. Akan tetapi, sistem-sistem yang berkaitan dengan bilangan biner sudah muncul di banyak budaya kuno, seperti Mesir, China, dan India.

 
Nilai-nilai aritmetika diduga dilambangkan sebagai bagian-bagian dari Mata Horus.

Para ahli tulis Mesir kuno menggunakan dua sistem kepenulisan yang berbeda untuk bilangan pecahan, yakni pecahan Mesir (tidak ada kaitan dengan sistem bilangan biner) dan pecahan Mata Horus (disebut demikian karena banyak sejarawan matematika percaya bahwa simbol-simbol yang digunakan dalam sistem ini dapat disusun untuk membentuk mata Horus, meskipun hal ini masih diperdebatkan).[2] Pecahan Mata Horus adalah sistem bilangan biner untuk besaran-besaran pecahan dari biji-bijian, cairan, dan ukuran lainnya; dalam sistem ini satu hekat dinyatakan sebagai jumlah dari pecahan biner 1/2, 1/4, 1/8, 1/16, 1/32, dan 1/64. Bentuk awal dari sistem ini dapat ditemukan dalam dokumen-dokumen dari Dinasti kelima Mesir, sekitar 2400 SM, dan bentuk hieroglif modernnya berasal dari Dinasti kesembilan belas Mesir, sekitar 1200 SM.[3]

Masa klasik

sunting

Afrika

sunting

Kebudayaan lain

sunting

Eropa pra-Leibniz

sunting

Leibniz

sunting

Perkembangan selanjutnya

sunting

Kepenulisan

sunting

Mencacah dalam biner

sunting

Mencacah dalam sistem desimal

sunting

pendahuluan

Mencacah dalam sistem biner

sunting

Pecahan

sunting

Aritmetika biner

sunting

Penambahan

sunting

Pengurangan

sunting

Perkalian

sunting

Pembagian

sunting

Akar kuadrat

sunting

Operasi bitwise

sunting

Konversi dari dan ke sistem bilangan lainnya

sunting
Desimal Biner (8 bit)
0000 0000
1 0000 0001
2 0000 0010
3 0000 0011
4 0000 0100
5 0000 0101
6 0000 0110
7 0000 0111
8 0000 1000
9 0000 1001
10 0000 1010
11 0000 1011
12 0000 1100
13 0000 1101
14 0000 1110
15 0000 1111
16 0001 0000
17 0001 0001
18 0001 0010
19 0001 0011
20 0001 0100
21 0001 0101
22 0001 0110
23 0001 0111
24 0001 1000
25 0001 1001
26 0001 1010
27 0001 1011
28 0001 1100
29 0001 1101
30 0001 1110

Dari Biner ke Desimal

sunting
 

Untuk setiap bilangan biner dengan   digit: dn-1, ... d3, d2, d1, d0

Bilangan desimalnya adalah hasil penjumlahan dari digit biner ( ) dikalikan dengan pangkat 2 nya ( ): decimal = d0 × 20 + d1 × 21 + d2 × 22 + ...

Contoh: Tabel dibawah ini menunjukkan konversi bilangan biner 01010101 menjadi desimal.

Biner (d) 0 1 0 1 0 1 0 1
n 7 6 5 4 3 2 1 0
2n 128 64 32 16 8 4 2 1
dn x 2n 0 x 128 1 x 64 0 x 32 1 x 16 0 x 8 1 x 4 0 x 2 1 x 1
64 + 16 + 4 + 1 = 85

Diperoleh hasil akhir bahwa 010101012 = 8510.

Dari Desimal ke Biner

sunting

Desimal = 10

Bilangan yang mendekati 10 adalah 8 (23), selanjutnya hasil pengurangan 10-8 = 2 (21), sehingga dapat dijabarkan seperti berikut:

10 = (1 x 23) + (0 x 22) + (1 x 21) + (0 x 20)

Dari perhitungan di atas bilangan biner dari 10 adalah 1010.

Dapat juga dengan cara lain yaitu 10: 2 = 5 sisa 0 (0 akan menjadi angka terakhir dalam bilangan biner),

5 (hasil pembagian pertama): 2 = 2 sisa 1 (1 akan menjadi angka kedua terakhir dalam bilangan biner),

2 (hasil pembagian kedua): 2 = 1 sisa 0 (0 akan menjadi angka ketiga terakhir dalam bilangan biner),

1(hasil pembagian ketiga): 2 = 0 sisa 1 (1 akan menjadi angka pertama dalam bilangan biner) karena hasil bagi sudah 0 atau habis, sehingga bilangan biner dari 10 = 1010.

Atau dengan cara yang singkat:

10:2=5(0),

5:2=2(1),

2:2=1(0),

1:2=0(1) sisa hasil bagi dibaca dari belakang menjadi 1010.

Desimal ke biner

sunting

Biner ke desimal

sunting

Heksadesimal

sunting

Merepresentasikan bilangan riil

sunting

Contoh penerapan

sunting

Pengenalan Warna Citra Biner

sunting

Citra biner (binary image) adalah citra yang hanya mempunyai dua nilai derajat: Meskipun saat ini citra berwarna lebih disukai karena memberi kesan yang lebih kaya daripada citra biner, namun tidak membuat citra biner mati. Pada beberapa aplikasi citra biner masih tetap dibutuhkan, misalnya citra logo instansi (yang hanya terdiri atas warna hitam dan putih), citra kode batang (bar code) yang tertera pada label barang, citra hasil pemindahan dokumen teks, dan sebagainya.

objek di dalam citra biner adalah segmentasi objek. Proses segmentasi bertujuan mengelompokkan pixel-pixel objek menjadi wilayah (region) yang merepresentasikan objek. Ada dua pendekatan yang digunakan dalam segmentasi objek:

  1. Segmentasi berdasarkan batas wilayah (tepidariobjek). Pixel-pixel tepi ditelusuri sehingga rangkaian piksel yang menjadi batas (boundary) antara objek dengan latar belakang dapat diketahui secara keseluruhan (algoritme boundary following).
  2. Segmentasi kebentuk-bentuk dasar (misalnya segmentasi huruf menjadi garis-garis vertikal dan horizontal, segmentasi objek menjadi bentuk lingkaran, elips, dan sebagainya).

Pranala luar

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ "3.3. Binary and Its Advantages — CS160 Reader". computerscience.chemeketa.edu. Diakses tanggal 22 May 2024. 
  2. ^ Robson, Eleanor; Stedall, Jacqueline, ed. (2009), "Myth No. 2: the Horus eye fractions", The Oxford Handbook of the History of Mathematics, Oxford University Press, hlm. 790, ISBN 9780199213122 
  3. ^ Chrisomalis, Stephen (2010), Numerical Notation: A Comparative History, Cambridge University Press, hlm. 42–43, ISBN 9780521878180 .