Tradisi mengikat kaki
Tradisi mengikat kaki (Hanzi: 缠足; Hanzi tradisional: 纏足; Hanzi: chánzú, berarti "kaki terbalut") adalah tradisi yang dipraktikkan kepada wanita sebelum awal abad-20.
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Asal usul praktik ini tak diketahui secara jelas, tetapi diperkirakan tradisi ini telah mulai ada sejak zaman Dinasti Xia. Catatan sejarah mengenai tradisi ini mulai ditemukan sejak zaman Dinasti Song.
Tradisi ini dibangun atas dasar pandangan masyarakat bahwa berkaki kecil adalah lambang kecantikan seorang wanita. Di zaman Dinasti Song, tradisi ini hanya dipraktikkan oleh wanita dari kelas menengah dan atas. Sampai pada zaman Dinasti Ming baru dipraktikkan secara luas oleh wanita dari suku Han. Tentunya ada beberapa pengecualian di beberapa etnis tertentu semisal etnis Hakka di mana kaum wanitanya harus turun membantu di ladang.
Di zaman Dinasti Qing, kekaisaran mengeluarkan beberapa kali larangan untuk mengikat kaki, tetapi karena pengaruh tradisi ini sangat dalam sehingga larangan ini tidak begitu diindahkan di kalangan suku Han. Sedangkan tradisi ini tidak begitu populer di kalangan suku Manchu.
Metode
[sunting | sunting sumber]Pengikatan kaki biasanya telah mulai diterapkan pada anak perempuan yang telah mencapai umur 5-8 tahun. Pengikatan kaki ini dilakukan ibu sang anak atau para dayang-dayang yang berpengalaman.
Kecuali jari jempol, keempat jari lainnya diikat ke bawah telapak kaki dengan kain panjang. Kain panjang tadi kemudian dijahit untuk mencegah pertumbuhan keempat jari tadi yang selanjutnya memengaruhi pertumbuhan telapak kaki.
Latar belakang tradisi mengikat kaki
[sunting | sunting sumber]Tradisi mengikat kaki berdasar kepada beberapa latar belakang budaya pada zaman kuno di Cina. Ini yang menyebabkan walaupun praktik ini sangat tidak manusiawi terhadap wanita, tetapi tetap dapat bertahan selama ribuan tahun dalam sejarah kebudayaan Cina.
Beberapa unsur budaya yang melatar-belakangi tradisi ini adalah:
Penolakan terhadap tradisi mengikat kaki
[sunting | sunting sumber]Dinasti Qing merupakan dinasti pertama yang mengeluarkan peraturan larangan terhadap tradisi ini. Namun karena kuatnya akar tradisi ini di kalangan suku Han, maka larangan ini tidak menunjukkan pengaruh yang berarti. Wanita dari beberapa kalangan seperti etnis Hakka yang diharuskan turun ke ladang untuk bercocok tanam tidak melaksanakan tradisi ini. Wanita dari suku Manchu juga tidak menerapkan tradisi ini secara luas.
Di Cina bagian selatan, wanita suku Hui yang beragama Islam dilarang melakukan tradisi mengikat kaki oleh imam setempat karena dianggap menyalahi ciptaan Tuhan.[1]
Sebelumnya, pada zaman Dinasti Song dan Ming, ada beberapa sastrawan dan cendekiawan menyatakan keberatan mereka atas tradisi ini dalam beberapa tulisan sastra.
Pemberontakan Taiping juga melarang dengan tegas tradisi mengikat kaki ini dikarenakan pemberontakan ini berasaskan ajaran Kristiani yang menolak banyak tradisi Cina yang dianggap kuno. Di samping itu, pemberontakan Taiping juga didominasi oleh etnis Hakka.
Di penghujung Dinasti Qing, banyak cendekiawan dan negarawan yang menganggap bahwa tradisi ini merupakan penghambat bagi kemajuan bangsa Cina karena melemahkan kedudukan dan kontribusi wanita dalam masyarakat.
Setelah jatuhnya Dinasti Qing dan berdirinya Republik Tiongkok pada tahun 1911, tradisi ini mulai ditinggalkan oleh wanita di kota besar di pesisir. Ini kemudian pelan-pelan menjalar ke pedalaman. Sampai pada tahun 1950-an, hanya tinggal beberapa dusun di Yunnan di mana kaum wanitanya masih menerapkan tradisi ini.
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ James Legge (1880). The religions of China: Confucianism and Tâoism described and compared with Christianity. LONDON: Hodder and Stoughton. hlm. 111. Diakses tanggal June 28, 2010.(Original from Harvard University)
Di Taiwan sendiri, sewaktu zaman pendudukan Jepang, tradisi ini bersama dengan tradisi toucang dan mengisap candu dianggap sebagai 3 tradisi tidak sehat yang dilarang secara ketat.