[go: up one dir, main page]

Lompat ke isi

Pendidikan Pastoral Klinis

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Pendidikan pastoral klinis bermula dari keyakinan bahwa pelayanan pastoral adalah pelayanan gereja yang dibutuhkan di tengah krisis yang bersifat multi-dimensional di Indonesia, baik yang bersifat sosial, seperti konflik antar-kelompok, maupun individual, seperti tekanan jiwa atau stress mental yang dialami banyak orang.[1] Situasi ini mendorong gereja untuk lebih meningkatkan pelayanan pastoralnya dalam upaya menolong orang agar mendapatkan kesembuhan, topangan, bimbingan, dan pendamaian.[1] Sampai saat ini, pelayanan pastoral yang dilakukan gereja-gereja di Indonesia masih belum optimal karena jumlah tenaga yang terbatas dan persiapan secara akademis-teoretis dengan pemahaman refleksi teologis yang tidak berangkat dari realitas kehidupan sehari-hari.[2] Akibatnya, banyak tenaga pelayanan pastoral yang hanya menguasai teori namun tidak terampil dalam melayani, dan banyak rumusan teologi pastoral yang kurang relevan dengan kebutuhan orang-orang yang dilayani.[2]

Latar Belakang

[sunting | sunting sumber]

Untuk mengatasi kelemahan pendidikan pastoral yang sangat bersifat akademis-teoretis ini, seorang pendeta dan dua orang dokter di Amerika Serikat memulai suatu model pendidikan pastoral baru, yang kemudian disebut dengan Clinical Pastoral Education (disingkat CPE).[2] Pendidikan ini bersifat klinis, artinya langsung melibatkan diri dalam kehidupan orang-orang yang dilayani, jadi dalam pendekatan ini seseorang belajar pastoral pertama-tama dari living human documents (manusia), dan bukan dari buku atau kuliah-kuliah tertentu.[2] Beberapa tokoh yang pada akhirnya disebut sebagai perintis CPE, antara lain: William S. Keller, Anton Boisen, dan Richard C. Cabot.[3] Sebenarnya ketiga tokoh tersebut merintis CPE sebagai reaksi atas pendidikan teologi tradisional di Amerika Serikat pada waktu itu yang masih bersifat intelektualistis.[3] Mereka menyadari bahwa mahasiswa-mahasiswa teologi sebenarnya perlu belajar pastoral secara klinis, dan mahasiswa-mahasiswa teologi ini perlu mempelajari pelayanan pastoral dari living human documents dan tidak hanya dari buku atau kuliah-kuliah saja.[3]

Tujuan CPE

[sunting | sunting sumber]

Tujuan umum CPE sama dengan tujuan pendidikan pastoral pada umumnya, yaitu menyiapkan orang untuk dapat melakukan pelayanan pastoral.[3] CPE ini juga memiliki beberapa tujuan khusus, yaitu:[4]

  1. Menolong orang menyadari identitas pastoralnya
  2. Menolong orang mengembangkan keterampilan pastoralnya
  3. Menolong orang memahami dirinya sendiri
  4. Menolong orang meningkatkan pertumbuhan pribadinya
  5. Menolong orang meningkatkan hubungannya dengan orang lain
  6. Menolong orang meningkatkan hubungannya dengan Tuhan
  7. Menolong orang bekerja bersama dengan orang-orang dari kelompok profesi yang berbeda
  8. Menolong orang mendapatkan pengetahuan tentang pelayanan pastoral, khususnya pendampingan pastoral
  9. Menolong orang untuk melakukan refleksi teologi pastoral

Program CPE

[sunting | sunting sumber]

Elemen-elemen dasar program CPE, antara lain::[5]

  1. Pengenalan terhadap program CPE dan orientasi terhadap rumah sakit atau tempat, di mana para pelayan pastoral akan melayani
  2. Perkunjungan dan percakapan atau konseling pastoral yang dilakukan oleh para pelayan pastoral
  3. Penulisan verbatim yang dilakukan oleh para pelayan pastoral
  4. Pertemuan kelompok kecil untuk membicarakan verbatim yang telah dibuat
  5. Pertemuan individual dengan supervisor
  6. Seminar tentang pokok-pokok yang berkaitan dengan teologi dan pelayanan pastoral
  7. Bacaan buku atau artikel-artikel tertentu

Situasi si Sakit

[sunting | sunting sumber]

Ada dua situasi dalam menghadapi orang yang sakit, yaitu situasi lahiriah dan situasi batiniah.[6]

Situasi Lahiriah

[sunting | sunting sumber]

Mengunjungi dan melayani orang sakit yang dirawat di rumah biasanya akan lebih banyak keuntungannya daripada mengunjungi dan melayani orang sakit di rumah sakit, karena pelayan pastoral bertemu dan dapat mengadakan kontak dengan anggota-anggota lain dari keluarga orang yang sakit itu.[6] Akan tetapi mengunjungi dan melayani orang sakit yang dirawat di rumah juga memiliki kesulitan tersendiri, karena kehadiran seorang pendeta atau pelayan pastoral bisa disalahtafsirkan dan disalahgunakan oleh keluarga.[7] Kunjungan dan pelayanan yang dilakukan di rumah sakit juga memiliki kesulitannya tersendiri, bukan karena adanya peraturan dari rumah sakit, tetapi karena situasi di rumah sakit itu sendiri yang memiliki temponya tersendiri, sehingga pelayan pastoral tidak boleh mengganggu tempo tersebut.[7]

Situasi Batiniah

[sunting | sunting sumber]

Yang dimaksudkan dengan situasi batiniah adalah situasi orang yang sedang sakit itu sendiri.[8] Orang yang sakit adalah orang yang merasa dirinya dibuat menjadi pasif, sehingga memiliki harapan untuk sembuh, dan orang sakit ini memiliki kesulitan fisik serta ketidakstabilan psikis.[8] Orang yang sedang sakit ini bisa saja diibaratkan bahwa orang tersebut sedang mengalami kedukaan, meskipun kedukaan yang dirasakan tidak seperti orang yang mengalami kedukaan saat ditinggal oleh orang yang dikasihinya, karena kedukaan itu sering kali diartikan sebagai penderitaan, dan kata kedukaan ini dapat dikaitkan deengan sesuatu yang kita atau seseorang alami sebagai suatu kerugian.[6]

Fungsi Pastoral

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b Daniel Susanto.2009.Clinical Pastoral Education:Sebuah Model Pendidikan Pastoral di Indonesia.Jakarta:Sekolah Tinggi Teologi Jakarta.Hlm.53.
  2. ^ a b c d Susanto, 2009. Hlm.54.
  3. ^ a b c d Susanto, 2009. Hlm.55.
  4. ^ Susanto, 2009. Hlm.56.
  5. ^ Susanto, 2009. Hlm.57.
  6. ^ a b c J.L.Ch.Abineno.2003.Pelayanan Pastoral Kepada Orang-Orang Sakit.Jakarta:BPK Gunung Mulia.Hlm.1.
  7. ^ a b J.L.Ch.Abineno.1999.Pelayanan Pastoral Kepada Orang Berduka.Jakarta:BPK Gunung Mulia. Hlm.2.
  8. ^ a b J.L.Ch.Abineno.1999.Pelayanan Pastoral Kepada Orang Berduka.Jakarta:BPK Gunung Mulia. Hlm.4.

Ketika hendak melakukan pelayanan kepada orang sakit, baik yang dirawat di rumah maupun di rumah sakit, maka pelayan pastoral harus memperhatikan dan mengenal terlebih dahulu klien atau pasien yang hendak dikunjungi, karena setiap orang itu unik dan memiliki khas masing-masing, jadi dibutuhkan cara dan metode yang berbeda juga ketika hendak melakukan pastoral.[1] William A. Clebsch dan Charles R. Jaekle mengatakan bahwa ada empat fungsi dasar pastoral yang telah dilakukan disepanjang sejarah gereja, yaitu: menyembuhkan (healing), menopang (sustaining), membimbing (guiding), dan mendamaikan (reconciling).[2] Kemudian Howard Clinebell menambahkan fungsi yang kelima, yaitu memelihara (nurturing).[2]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey.1993.Psikologi Kepribadian 1;Teori-Teori Psikodinamik (Klinis).Yogyakarta:Kanisius.Hlm.5.
  2. ^ a b Daniel Susanto.2008.Pelayanan Pastoral Holistik.Jakarta:Majelis Jemaat GKI Menteng.Hlm.31.