Pengguna:Mikhailov Kusserow/Kotak Pasir
Stat A: 710.374 | H: 3.923.321 | S: 26.504.011 | D: 138,19 | 1.512.018 | 47 | 57.936 | Voting P | P | PP | WK • WKK • WKU • WKT • WKB • WKL | DK | FAQ
Galeri
[sunting | sunting sumber]
Arsip : |
Puisi
[sunting | sunting sumber]Menggali Jiwa, Mencari Cinta
Larutan garam kehidupan dalam diriku semakin terasa lekat-pekat. Usiaku yang meningkat tak terbendung, merupakan salah satu ciri bahwa selimut masa –yang sekaligus sebagai jalan satu-satunya-- tidak pernah lalai menyediakan bubuk garam dalam keberadaanku. Aku berdiri_pasrah. Namun janji dalam diriku, aku tidak akan pernah menyerah:
“Nada-nada detak jantungku akan selalu aku perhitungkan Hembusan nafasku, sebagai bukti tekadku Melalui raga-rangka ini, aku melangkah-laju Laju-maju dan hanya berhenti di terminal ayat-ayat Pencipta”
Tentu bukanlah pelayaran yang mudah, hanya dengan menaiki sebilah janji kemudian samudera terlewati. Maka aku pun mencoba mengorek-korek gundukan potensi lain yang mungkin bisa melengkapi sarana yang sudah tersedia. Kumulai dari pinggir, dan kugeser menjauh dari gundukan sebelumnya supaya tidak membuat timbunan baru. Setelah pencarian ini berlangsung cukup lama, tampak warna kekuningan diantara selangkangan harapan, yang serpertinya sudah cukup lama berkarat. Kemudian akupun membersihkanya, dengan cukup hati-hati mulailah menampak pelan.
Secercah asa, merupakan bukti adanya tempat tujuan Tempat yang menyimpan semua rahasia Dengan masa sebagai jalan utamanya Jalan yang hanya bisa dilalui oleh kendaraan ‘usaha’ Namun tiada pernah sampai, kecuali dengan bahan bakar jiwa
Kuamati sekelilingnya. Semoga benar, inilah yang aku cari. Kilapan kecil semakin meyakinkanku, bahwa modalku mulai tergapai. Jari-jemari tanganku mulai melemas, tatkala secarik noda terkelupas. Aku pun mencoba sedikit merebah, sambil menunggu kedatangan daya yang tak pasti. Namun belum ada sekejap mata, angin lebat yang membawa banyak debu hitam pekat telah menghampiri. Aku menangis sesal, belum bersih benar modalku, kini telah ternodai lagi. Bahkan semakin tebal.
Penyesalan adalah sesal itu sendiri Dimana jiwa harus berhenti Tatkala jiwa-jiwa lain melaju cepat pada jalur masa Karena masa tidak mengenal transit Karena masa adalah jalan satu-satunya Yang tak mampu menampung kelengahan
Histeris sanubari tak terbendung. Gema terdengar keras dari langit-langit jiwa. Sebuah fenomena langka tanpa disadari terjadi. Beberapa butiran debu terjatuh. Meskipun noda masih begitu tebal, namun usaha tanpa kesengajaan ini tetap sedikit membantu. Tentu aku tidak akan menyia-siakannya, dengan mempelajari langkah-cara terjatuhnya. Sayap-sayap ‘usaha’ mulai tumbuh kembali. Kini, kesalahan tidak boleh terulang lagi. Tanpa harus menunggu berbulu, aku tetap mencoba meskipun harus merangkak_pelan. Beberapa tahap mulai terlewati, namun belum juga sampai pada tempat histeris tadi. Gejolak pun mulai terasa, maka aku harus semakin waspada. Agar tidak terlena, pandanganku pada ‘histeris’ tidak aku putus. Begitu pula genggamanku semakin dieratkan, agar tidak goyang oleh denyut godaan. Dengan tanpa menghiraukan cucuran keringat, sampai juga pada ‘histeris’. ‘Histeris’ aku pegang erat-erat, agar tidak terjatuh. Setelah terasa cukup aman, aku mulai mempelajarinya. Dari bentuk sampai warnanya aku amati. Belum selesai meneliti, bulu sayapku mulai tumbuh. Pada saat antusias mulai hadir, ‘nilai-nilai histeris’ menampakan. Disitu terdapat pilihan, memilih meninggalkan atau memisahkan antara ‘semangat’ dengan ‘emosi’. Apabila memilih memisahkan keduanya, maka harus memerlukan energi yang cukup besar, atau paling tidak cucuran keringat yang lebih deras dari perjalanan sebelumnya. Berbeda dengan meninggalkan, tertawa lepas bisa bebas. Namun setelah melewati pertimbangan yang matang, aku pun memutuskan untuk memisahkan. Sambil menjaga dari pengaruh kejenuhan, langkah cermat dan teliti dalam mengisolasi ‘nilai-nilai histeris’ akhirnya berhasil.
Kerak-kerak jiwa akan terus mendiami dan bertambah Tiada eksepsi apalagi kelongsong Ketika kerak menimbun pekat, tiada sekat yang mampu menghalangi Mara bahaya pun bukan lagi mengancam, melainkan sudah menyerang
Bunga-bunga jiwa semakin layu, karena tertutupnya jalur aliran nirma Kumbang-kumbang jiwa pun turut memelas Masa hanya mampu menangis, tanpa bisa berhenti Arti peduli semakin buram
Detak-denyut kehidupan jiwa semakin tipis Aneka macam warna seolah mulai kembali pada satu warna sumbernya Kini bukan lagi menunggu baiknya momentum Secuil kemauanlah yang mampu menjadi pusaka
Diantara beratnya memikul godaan, Potensi semakin merunduk takluk Kemauan semakin terasa sepi Namun itulah fakta, akibat kesalahan cara
Tidak gerak, adalah respon lain dari menunggu kematian Dimana kehidupan sudah diberikan Bergerak, justru seolah langkah cepat menuju kematian Dimana mata jiwa mulai berat membaca bentuk peta
Pilihan pun hampir tidak memiliki beda Maka nada jiwa harus berani berkarya, guna menemani sakitnya Meskipun berat, sedikit suara pun sudah cukup membantu Bahwa jiwa tidak sendiri
Tanpa disadari semangat mulai kembali, Ketika berani sedikit mencakar masa Dimana kerak muda mulai berjatuhan Dan bintik jiwa yang tampak mulai mengeluarkan cahaya
Setahap masalah yang datang menghadang telah aku loncati. Dengan sambaran tadi, aku justru semakin percaya diri, yang seolah terasa ada kehadiran bekal untuk langkahku lagi. Sekembalinya style rangkakku menjadi langkah, juga semakin mempermudah, karena tidak lagi berkisut. Khawatir kepulihanku terganjal kembali, langkah cepat menjadi pilihan. Aku juga semakin meningkatkan kewaspadaan, agar tidak melaju secara srampangan, sehingga bisa berhasil dengan memuaskan. Letih mulai terasa, setelah melewati beberapa rel. Namun masa masih juga belum tampak ujungnya. Aku tidak lagi putus asa, lagi-lagi dengan alasan yang sama, yaitu agar tidak kembali pada kondisi semula. Dengan gerak terpaksa, aku masih tetap meneruskan, meskipun harus sedikit pelan. Semakin lama, semakin ada sesuatu yang nyeri dibawahku. Panjangnya perjalananku, menjadikan aku semakin tidak perduli. Aku melaju pasrah, antara mati disini atau disana. Roman diriku pun semakin nampak memerah, karena aku harus menahan perih yang semakin teramat. Ketika luka pada langkahku membesar, sayapku telah mampu mengepak. Secepat hembusan nafas aku mengganti cara, dari langkah menjadi sayap. Sambil melanjutkan kearah tujuan, kutatap masa, dan ia tampak merunduk. Aku tersenyum lepas, dan mataku aku usap supaya bisa menatap semakin jelas. Kepakan demi kepakan semakin terbiasa. Aku semakin cepat.
Galau, sedih dan memelas merupakan wajah tanpa arah pasti Yang tampak karena ketidakmampuan menerima hadirnya tamu-tamu duri Galau, sedih dan memelas adalah sekawanan prajurit yang mengajak pada kesunyian, dan bahkan menyeret pada mati Yang berakhir tanpa bisa berdiri, apalagi membawa arti
Perih dan pedih adalah warna tersendiri dari kehidupan Yang hadir untuk meyakinkan akan adanya kepastian Perih dan pedih adalah nafas perjuangan Yang harus dialami demi keberhasilan
Piramida Jiwa
Berdiri dan merunduk dengan sisi yang tidak sama, sekaligus sujud pada sisi lainya merupakan transformasi nilai-nilai dalam kehidupanku yang hingga kini belum selesai. Meskipun aku tak ragu untuk me-gol-kan, namun aku merasa butuh masa yang memihak. Tentunya, hal tersebut tidak akan pernah aku ketahui. Selain memaksimalkan langkah, sebagai wujud rabaan. Aku meyakini itu, karena selama ini telah menemukan banyak hal baru, yang sebelumnya belum terpikirkan. Bahkan, dilain kesempatan aku justru terpaksa memetik buah kehidupan yang jauh-jauh hari kuanggap benalu, tetapi hasilnya sangat membantu. Roda kehidupan tidak akan pernah berhenti Selama ujung waktu belum ditemui Dengan tumbuhnya widadari adalah suatu bukti Akan generasi yang hanya mampu meratapi
Ejaan demi ejaan guna membongkar esensi wacana hidup terus berkelanjutan. Arah yang hadir dari posisi berbeda seolah memahami. Mereka menyapaku dengan senyuman. Dari raut wajahnya, tampak gambaran Jalur Pasti. Kemudian salahsatu dari mereka aku ikuti. Sambil berharap menemukan apa yang kucari. Setelah cukup lama, masih juga belum terlihat tanda-tandanya. Kali ini aku semakin dekat dengan dia, namun ia justru menolehkan wajahnya. Seolah ada yang salah dalam diriku. Aku pun berhenti. Kali ini aku mengamati diriku sendiri. Ada apa?, tanyaku sendiri. Setelah aku jauh dari dia, aku mulai memberanikan diri menyentuh sesuatu yang selama ini tak terhirau, yaitu jiwaku sendiri. Jiwaku dengan penuh semangat menerangkan seraya menunjuk-tunjuk dirinya, “bahwa apa yang telah aku lakukan sudah benar. Namun cara itu belum akan berhasil, karena apa yang dicari kuncinya disimpan di sini.”