[go: up one dir, main page]

Lompat ke isi

Pemerintahan Darurat Republik Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia

1948–1949
Bendera PDRI
Bendera
StatusPemerintahan dalam pengasingan
Ibu kotaBukittinggi
Bahasa yang umum digunakanIndonesia
PemerintahanPemerintahan sementara
Pemimpin 
• 1948-1949
Syafruddin Prawiranegara
Era SejarahRevolusi Nasional Indonesia
19 Desember 1948
• Didirikan
22 Desember 1948
17 April 1949
• Dibubarkan
13 Juli 1949
Didahului oleh
Digantikan oleh
Republik Indonesia
Republik Indonesia Serikat (1949–1950)
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini
Rumah ketua PDRI Sjafroedin Prawiranegara di Bidar Alam Solok Selatan, Sumatera Barat yang dipergunakan juga untuk kantor pemerintahan

Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) adalah penyelenggara pemerintahan Republik Indonesia sejak 22 Desember 1948 hingga 13 Juli 1949, dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara[1] yang disebut juga dengan Kabinet Darurat.[2] Sesaat sebelum pemimpin Indonesia saat itu, Soekarno dan Hatta ditangkap Belanda pada tanggal 19 Desember 1948, mereka sempat mengadakan rapat dan memberikan mandat kepada Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk pemerintahan sementara.[3]

Setelah Belanda pergi dan sejak kekalahan Jepang di Sumatra pada tahun 1948 Banteng MarIborough di wilayah penguasa Bunian Matu, MarIborough peninggalan Inggris di jadikan markas Polri[4], Sehingga pada tahun 1950 pulau Sumatra menjadi bagian dari Republik Indonesia di tandai dengan Presiden pertama Indonesia Sukarno dan Hatta memberlakukan kembali UUD 1945 pada tahun 1959, dibuktikan dengan terbentuknya banyak Kementrian di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)[5][6].

Latar belakang

[sunting | sunting sumber]
foto Rusli Rahim

Tidak lama setelah ibu kota RI di Yogyakarta dikuasai Belanda dalam Agresi Militer Belanda II, mereka berulangkali menyiarkan berita bahwa RI sudah bubar. Karena para pemimpinnya, seperti Soekarno, Hatta dan Syahrir sudah menyerah dan ditahan.

Mendengar berita bahwa tentara Belanda telah menduduki ibu kota Yogyakarta dan menangkap sebagian besar pimpinan Pemerintahan Republik Indonesia, tanggal 19 Desember sore hari, Mr. Syafruddin Prawiranegara bersama Kol. Hidayat, Panglima Tentara dan Teritorium Sumatra, mengunjungi Mr. Teuku Mohammad Hasan, Gubernur Sumatra/Ketua Komisaris Pemerintah Pusat di kediamannya, untuk mengadakan perundingan. Malam itu juga mereka meninggalkan Bukittinggi menuju Halaban[7], daerah perkebunan teh, 15 Km di selatan kota Payakumbuh.

Sejumlah tokoh pimpinan republik yang berada di Sumatera Barat dapat berkumpul di Halaban, dan pada 22 Desember 1948 mereka mengadakan rapat yang dihadiri antara lain oleh Mr. Syafruddin Prawiranegara, Mr. T. M. Hassan, Mr. Sutan Mohammad Rasjid, Kolonel Hidayat, Mr. Lukman Hakim, Ir. Indratjahja, Ir. Mananti Sitompul, Maryono Danubroto, Direktur BNI Mr. A. Karim, Rusli Rahim dan Mr. Latif. Walaupun secara resmi kawat Presiden Soekarno belum diterima, tanggal 22 Desember 1948, sesuai dengan konsep yang telah disiapkan, maka dalam rapat tersebut diputuskan untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), dengan susunan sebagai berikut:

Keesokan harinya, 23 Desember 1948, Sjafruddin berpidato:

"... Belanda menyerang pada hari Minggu, hari yang biasa dipergunakan oleh kaum Nasrani untuk memuja Tuhan. Mereka menyerang pada saat tidak lama lagi akan merayakan hari Natal Isa AS, hari suci dan perdamaian bagi umat Nasrani. Justru karena itu semuanya, maka lebih-lebih perbuatan Belanda yang mengakui dirinya beragama Kristen, menunjukkan lebih jelas dan nyata sifat dan tabiat bangsa Belanda: Liciknya, curangnya, dan kejamnya.
Karena serangan tiba-tiba itu mereka telah berhasil menawan Presiden, Wakil Presiden, Perdana Menteri, dan beberapa pembesar lain. Dengan demikian, mereka menduga menghadapi suatu keadaan negara republik Indonesia yang dapat disamakan dengan Belanda sendiri pada suatu saat negaranya diduduki Jerman dalam Perang Dunia II, ketika rakyatnya kehilangan akal, pemimpinnya putus asa dan negaranya tidak dapat ditolong lagi.
Tetapi kita membuktikan bahwa perhitungan Belanda itu sama sekali meleset. Belanda mengira bahwa dengan ditawannya pemimpin-pemimpin kita yang tertinggi, pemimpin-pemimpin lain akan putus asa. Negara RI tidak tergantung kepada Sukarno-Hatta, sekalipun kedua pemimpin itu sangat berharga bagi kita. Patah tumbuh hilang berganti.
Kepada seluruh Angkatan Perang Negara RI kami serukan: Bertempurlah, gempurlah Belanda di mana saja dan dengan apa saja mereka dapat dibasmi. Jangan letakkan senjata, menghentikan tembak-menembak kalau belum ada perintah dari pemerintah yang kami pimpin. Camkanlah hal ini untuk menghindarkan tipuan-tipuan musuh."

Sesungguhnya, sebelum Soekarno dan Hatta menyerah, mereka sempat mengetik dua buah kawat. Pertama, memberi mandat kepada Menteri Kemakmuran Mr. Sjafruddin Prawiranegara untuk membentuk pemerintahan darurat di Sumatra. Kedua, jika ikhtiar Sjafruddin gagal, maka mandat diberikan kepada Mr. A.A.Maramis untuk mendirikan pemerintah dalam pengasingan di New Delhi, India. Tetapi Sjafruddin sendiri tidak pernah menerima kawat itu. Berbulan-bulan kemudian barulah ia mengetahui tentang adanya mandat tersebut.

Perlawanan

[sunting | sunting sumber]

Sejak itu PDRI menjadi musuh nomor satu Belanda. Tokoh-tokoh PDRI harus bergerak terus sambil menyamar untuk menghindari kejaran dan serangan Belanda.

Mr. T.M Hasan yang menjabat sebagai Wakil Ketua PDRI, merangkap Menteri Dalam Negeri, Agama, Pendidikan dan Kebudayaan, menuturkannya bahwa rombongan mereka kerap tidur di hutan belukar, di pinggir sungai Batanghari, dan sangat kekurangan bahan makanan. Mereka pun harus menggotong radio dan berbagai perlengkapan lain. Kondisi PDRI yang selalu bergerilya keluar masuk hutan itu diejek radio Belanda sebagai Pemerintah Dalam Rimba Indonesia.

Sjafruddin membalas,

Kami meskipun dalam rimba, masih tetap di wilayah RI, karena itu kami pemerintah yang sah. Tapi, Belanda waktu negerinya diduduki Jerman, pemerintahnya mengungsi ke Inggris. Padahal menurut UUD-nya sendiri menyatakan bahwa kedudukan pemerintah haruslah di wilayah kekuasaannya. Apakah Inggris jadi wilayah kekuasaan Belanda? Yang jelas pemerintah Belanda tidak sah.
Tugu PDRI di Koto Tinggi, Gunuang Omeh, Kabupaten Lima Puluh Kota

Perlawanan bersenjata dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia serta berbagai laskar di Jawa, Sumatra serta beberapa daerah lain. PDRI menyusun perlawanan di Sumatra. Tanggal 1 Januari 1949, PDRI membentuk 5 wilayah pemerintahan militer di Sumatra:

Konsolidasi

[sunting | sunting sumber]
Kantor PDRI di Koto Tinggi, Gunuang Omeh, Kabupaten Lima Puluh Kota

Sekitar satu bulan setelah agresi militer Belanda, dapat terjalin komunikasi antara pimpinan PDRI dengan keempat Menteri yang berada di Jawa. Mereka saling bertukar usulan untuk menghilangkan dualisme kepemimpinan di Sumatra dan Jawa.

Setelah berbicara jarak jauh dengan pimpinan Republik di Jawa, maka pada 31 Maret 1949 Prawiranegara mengumumkan penyempurnaan susunan pimpinan Pemerintah Darurat Republik Indonesia sebagai berikut:

Pejabat di bidang militer:

Kemudian tanggal 16 Mei 1949, dibentuk Komisariat PDRI untuk Jawa yang dikoordinasikan oleh Mr. Susanto Tirtoprojo, dengan susunan sbb.:

Selain dr. Sudarsono, Wakil RI di India, Mr. Alexander Andries Maramis, Menteri Luar Negeri PDRI yang berkedudukan di New Delhi, India, dan Lambertus N. Palar, Ketua delegasi Republik Indonesia di PBB, adalah tokoh-tokoh yang sangat berperan dalam menyuarakan Republik Indonesia di dunia internasional sejak Belanda melakukan Agresi Militer Belanda II. Dalam situasi ini, secara de facto, Mr. Syafruddin Prawiranegara adalah Kepala Pemerintah Republik Indonesia.

Pemulihan pemerintahan dan pengembalian mandat

[sunting | sunting sumber]

Menjelang pertengahan 1949, posisi Belanda makin terjepit. Dunia internasional mengecam agresi militer Belanda. Sedang di Indonesia,pasukannya tidak pernah berhasil berkuasa penuh. Ini memaksa Belanda menghadapi RI di meja perundingan.

Belanda memilih berunding dengan utusan Soekarno-Hatta yang ketika itu statusnya tawanan. Perundingan itu menghasilkan Perjanjian Roem-Royen. Hal ini membuat para tokoh PDRI tidak senang, Jendral Sudirman mengirimkan kawat kepada Sjafruddin, mempertanyakan kelayakan para tahanan maju ke meja perundingan. Tetapi Sjafruddin berpikiran untuk mendukung dilaksanakannya perjanjian Roem-Royen.

Setelah Perjanjian Roem-Royen, Mohammad Natsir meyakinkan Syafruddin Prawiranegara untuk datang ke Jakarta, menyelesaikan dualisme pemerintahan RI, yaitu PDRI yang dipimpinnya, dan Kabinet Hatta, yang secara resmi tidak dibubarkan.

Setelah Persetujuan Roem-Royen ditandatangani, pada 13 Juli 1949, diadakan sidang antara PDRI dengan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta serta sejumlah menteri kedua kabinet. Pada sidang tersebut, Pemerintah Hatta mempertanggungjawabkan peristiwa 19 Desember 1948. Wakil Presiden Hatta menjelaskan 3 soal, yakni hal tidak menggabungkan diri kepada kaum gerilya, hal hubungan Bangka dengan luar negeri dan terjadinya Persetujuan Roem-Royen.

Sebab utama Soekarno-Hatta tidak ke luar kota pada tanggal 19 Desember sesuai dengan rencana perang gerilya, adalah berdasarkan pertimbangan militer, karena tidak terjamin cukup pengawalan, sedangkan sepanjang yang diketahui dewasa itu, seluruh kota telah dikepung oleh pasukan payung Belanda. Lagi pula pada saat yang genting itu tidak jelas tempat-tempat yang telah diduduki dan arah-arah yang diikuti oleh musuh. Dalam rapat di istana tanggal 19 Desember 1948 antara lain KSAU Soerjadi Soerjadarma mengajukan peringatan pada pemerintah, bahwa pasukan payung biasanya membunuh semua orang yang dijumpai di jalan-jalan, sehingga jika mereka ke luar maka haruslah dengan pengawalan senjata yang kuat.

Pada sidang tersebut, secara formal Syafruddin Prawiranegara menyerahkan kembali mandatnya, sehingga dengan demikian, M. Hatta, selain sebagai Wakil Presiden, kembali menjadi Perdana Menteri. Setelah serah terima secara resmi pengembalian Mandat dari PDRI, tanggal 14 Juli, Pemerintah RI menyetujui hasil Persetujuan Roem-Royen, sedangkan KNIP baru mengesahkan persetujuan tersebut tanggal 25 Juli 1949.

Peringatan

[sunting | sunting sumber]

Sejak 2006, pemerintah Indonesia memperingati tanggal 19 Desember sebagai Hari Bela Negara. Peringatan tersebut mengacu pada peristiwa PDRI yang telah menyelematkan eksistensi kepemimpinan Republik Indonesia akibat Agresi Militer Belanda II.[8]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Efendi, Feni (2019). Jejak yang terlupakan: menyusuri jejak Mr. Syafruddin Prawiranegara dalam menjalankan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dalam masa Agresi Militer kedua Belanda di Sumatera Tengah. Yogyakarta: Penerbit JBS. ISBN 9786239067281. 
  2. ^ Presiden Pemerintah Darurat Republik Indonesia Diarsipkan 2015-07-03 di Wayback Machine. Tokohindonesia.com. Diakses 8 September 2013.
  3. ^ Menyelamatkan NKRI: Berkaca pada Peran Syafroeddin Prawiranegara dan Mohammad Natsir Website Resmi Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia, 9 Februari 2007. Diakses 8 September 2013.abcdyaa
  4. ^ https://museumnusantara.com/benteng-marlborough/
  5. ^ https://www.britannica.com/place/Sumatra
  6. ^ https://www.britannica.com/place/Indonesia/Justice
  7. ^ Efendi, Feni (2024). Kumpulan peristiwa PDRI di Sekitar Payakumbuh dan Lima Puluh Kota. Payakumbuh: Penerbit Fahmi Karya. ISBN 978-623-89016-6-1. 
  8. ^ "Hari Bela Negara 19 Desember, Sejarah Penting yang Sepi Peringatan". Padangkita.com. 2020-12-20. Diakses tanggal 2020-12-20. 

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]

Bacaan lanjutan

[sunting | sunting sumber]
  • J.R. Chaniago. Amrin Imran, Saleh D. Djamhari, 2003, Pemerintan Darurat Repoublik Indonesia (PDRI) dalam Perang Kemerdekasan, Perhimpunan Kekerabatan Nusantara, Jakarta.