[go: up one dir, main page]

Lompat ke isi

Sejarah Bangka

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Sejarah Bangka, Pulau Bangka adalah suatu pulau yang terdapat di samping timur Sumatra, Indonesia dan terhitung dalam lokasi provinsi Kepulauan Bangka Belitung.[1] Pulau Bangka terletak pada posisi 1°-30°-3°-7′ Lintang Selatan dan 105°-45′-107″ Bujur Timur memanjang dari Barat Laut ke Tenggara ± 108 Km.[2] Sejarah mengungkapkan bahwa Pulau Bangka pernah dihuni oleh orang-orang Hindu pada abad ke-7.[2][3] Pada masa Kerajaan Sriwijaya pulau Bangka termasuk pulau sebagai daerah taklukan dari kerajaan yang besar itu.[2][3] Demikian pula Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Mataram tercatat pula sebagai kerajaan-kerajaan yang pernah menguasai Pulau Bangka.[2][3] Tetapi pada masa-masa itu pulau Bangka sedikit sekali mendapat perhatian orang, meskipun letaknya sangat strategis.[2] Walaupun ditemukan oleh orang-orang Eropa, namun pulau tersebut tetap hanya merupakan sebuah embel-embel pulau Sumatra yang tidak ada artinya karena pulau itu tidak menghasilkan rempah-rempah sebagiamana diperlukan.[2] Oleh karena itu diterbengkalaikan oleh orang-orang yang berkuasa saat itu, maka pulau bangka menjadi sasaran bajak laut (lanun), sehingga menimbulkan banyak malapetaka dan penderitaan bagi penduduk saat itu.[2]

Asal usul nama Bangka

[sunting | sunting sumber]

Dalam berbagai publikasi dipertengahan abad 20, pulau ini ditulis dengan ejaan "Banka".[4] Kemudian, seorang ahli tambang senior Cornelis de Groot mengusulkan untuk menulis nama dengan ejaan "Bangka".[4] Berikut adalah penamaan pulau bangka:

Mo-Ho-Hsin

[sunting | sunting sumber]

Asal-muasal nama Bangka oleh I-Tsing disebut Mo-Ho-Hsin, lokasinya di Kota Kapur, tetangga Sriwijaya.[4] Kota Kapur berada di pantai Selat Bangka, berhadapan dengan delta sungai Musi.[4] Moho berasal dari kata Sansekrta yaitu moha yang berarti "bingung" atau "lingung".[4] Berdasarkan pengertian itu Nia Kurnia (1983) menghubungkan kata bangka dengan istilah tua bangka yang berarti orang yang sudah tua dan linglung.[4]

Vanka, Wangka

[sunting | sunting sumber]

Pulau Bangka berasal dari kata wangka (vanca) yang berarti "timah" dalam bahasa Sanksekerta,[4] karena wilayah ini memang kaya barang tambang timah.[5] Nama "Wangka" muncul pertama kali bersama dengan nama "Swarnabhumi" dalam buku sastra India Milindrapantha yang ditulis abad ke 1 SM.[4] Swarnabhumi diidentifikasikan sebagai pulau Sumatra, maka kuat dugaan bahwa yang disebut "Wangka" adalah pulau Bangka.[4][6] Loius-Charles Damais, dalam bukunya Epigrafi dan Sejarah Nusantara, mempertegas bahwa Bangka berasal dari kata wangka (vanca).[7]

Pulau Bangka dalam sejarah Dinasti Ming (1368-1643) disebut Ma-Yi-dong atau Ma-yi-Tung.[4] Ma-yi-dong konon terletak disebelah barat Pulau Gao-lan atau pulau Belitung.[4] Istilah ma-yin-dong merupakan julukan para pedagang Arab untuk pulau Bangka.[4] Kata itu berasal dari kata mayit, bahasa halus dari kata bangkai.[4] Menurut pendapat umum, "bangkai" yang dimaksud adalah bangkai kapal yang banyak kendas atau pecah karena karang yang memenuhi bagian timur pulau ini.[4]

Pendapat lain mengatakan nama pulau Bangka berasal dari kata waka atau wangkang yang berarti jung kapal Tiongkok, yang banyak pecah dan tengelam disekitar pulau bangka.[4]

Prasejarah

[sunting | sunting sumber]

Bangka pada masa Pleitosen

Pleistosen adalah masa antara 1.808.000 hingga 11.600 tahun yang lalu.[4] Disebut juga zaman es ketika temperatur global 15 °C lebih dingin dari masa sekarang (zaman kauter).[4] saat itu Pulau Sumatra, Kepulauan Riau, Jawa, Kepulauan Bangka Belitung, dan Kalimantan tergabung menjadi satu dengan Asia daratan.[4] Dizaman Pleistosen terjadi dua pristiwa geologi penting yaitu zaman glasial (ditandai meluasnya lapisan es di kedua kutub bumi) dan zaman interglasial (zaman es kembali mencair).[4] Penjelasan geologi tersebut diperjelas dengan hasil pemetaan goemorfologi oleh Obdey pada tahun 1954.[4] Ia menyimpulkan bahwa pada zaman Sriwijaya, Bangka dan Belitung masih tersambung dengan Kepulauan Lingga, Riau, dan Semenanjung Malaya.[4] Penemuan geraham gajah Elephas Sumatranus oleh F. Martin dilapisan endapan timah di Bangka pada tahun 1804 memperkuat pendapat bahwa Bangka masih menjadi satu dengan pulau Sumatra, Kalimantan Barat, dan daratan Asia pada masa Pleistosen.[4] Seiring waktu, daratan ini pecah menjadi pulau-pulau kecil dan selat-selat sempit yang dangkal.[4]

Bangka pada awal sejarah

[sunting | sunting sumber]

Prasasti Kota Kapur

[sunting | sunting sumber]
Prasasti Kota Kapur

Entah sejak kapan Pulau Bangka mulai dihuni manusia.[8] Hingga saat ini, satu satunya tempat yang mempunyai bukti tertulis tertua di Pulau Bangka dan bertarikh bahwa di Bangka telah ada hunian adalah Prasasti Kota Kapur.[8] Prasasti yang ditemukan di Desa Penagan, Kecamatan Mendo Barat, Kabupaten Bangka bertanggal 28 April 686 Masehi.[8] Prasasti Kota Kapur ditulis menggunakan aksara Pallawa dalam bahasa Melayu Kuno.[9]

Prasasti Kota Kapur ini menunjukan pengaruh Kerajaan Sriwijaya atas pulau Bangka kala itu, diperkirakan antara abad ke-6 Masehi dan abad ke-7 Masehi.[9] Prasasti itu dibuat masa pemerintahan Dapunta Hyang, penguasa kerajaan Sriwijaya.[9] Artifak ini ditemukan oleh seseorang dari Belanda bernama J.K. Van Der Meulen pada tahun 1892 di daerah kabupaten Bangka, kecamatan Mendo Barat.[9] Kemudian artifak-artifak tersebut dianalisis oleh H. Kern, seorang ahli Epigrafi, dimana ia menganggap bahwa Sriwijaya adalah nama seorang raja, karena sri mengindikasikan seorang "raja". George Cœdès (1886-1969), seorang sejarawan dan arkeolog Prancis, menyatakan bahwa Sriwijaya adalah sebuah kerajaan.[9]

Prasasti Kota Kapur dipahatkan pada sebuah batu yang berbentuk tugu bersegi-segi dengan ukuran tinggi 177 cm, lebar 32 cm pada bagian dasar, dan 19 cm pada bagian puncak.[9] Isinya berupa low enforcement bagi orang-orang pulau Bangka, yakni semua orang yang melawan atau memberontak terhadap Sriwijaya akan dihukum dan dikutuk.[9] Di dalam salah satu prasasti tersebut tertulis "VANKA" dalam huruf pallawa, yang diartikan "TIMAH".[9]

Secara geografis daerah Kota Kapur merupakan dataran yang berhadapan langsung dengan Selat Bangka yang bermuara juga sungai-sungai Upang, Sungsang, dan Saleh dari daratan Sumatra.[8] Disekelilingnya, di sebelah barat, utara, dan timur masih tertutup hutan rawa pantai.[8] Disebelah selatan tanahnya agak berbukit-bukit.[8] Bagian yang tertinggi disebut Bukit Besar dengan ketinggian sekitar 125 meter di atas permukaan laut.[8] Di sebelah utara, membentang dari timur laut menuju barat mengalir Sungai Mendo yang bermuara di Selat Bangka setelah sebelumnya membelah daerah rawa-rawa.[8]

Data arkeologis yang ditemukan di situs Kota Kapur dapat memberikan interpretasi bahwa pada sekitar abad ke 5-6 Masehi di Kota Kapur terdapat sebuah kompleks bangunan suci bagi masyarakat penganut ajaran Hindu aliran Waisnawa.[8] Kompleks bangunan tersebut dikelilingi oleh tembok tanah yang panjangnya sekitar 2,5 km dengan ukuran lebar/tebal dan tinggi sekitar 4 meter.[8] Tampaknya di beberapa tempat di lingkungan tembok tanah tersebut terdapat hunian kelompok masyarakat pendukung bangunan suci tersebut yang buktinya berupa pecahan keramik dan tembikar.[8]

Arca Wisnu

[sunting | sunting sumber]

Di Kota Kapur selain batu prasasti persumpahan ditemukan juga empat buah arca Wisnu dari batu, runtuhan bangunan suci, dan benteng tanah.[8] Arca Wisnu ditemukan dalam beberapa ukuran panjang; 19,5 cm, 33 cm, dan 108 cm.[4] Salah satu patung terbuat dari batu andesit dan yang lainnya dari batu granit.[4] Penutup kepalanya (kuluk) mempunyai corak khusus berupa silinder.[4] Untuk menentukan pertanggalan arca tersebut dapat dilihat dari bentuk mahkotanya.[8] Dari penggambaran bentuk mahkota tampak dipahat dalam gaya seperti arca-arca Wisnu dari Kamboja, yaitu pada masa seni pre-Angkor.[4][8] Stutterheim berpendapat bahwa arca tersebut berasal dari abad ke-7 Masehi dengan alasan karena tempat ditemukannya sama dengan Prasasti Kota Kapur yang ber-angka tahun 686 Masehi.[10] Berdasarkan bentuk mahkota dan tempat temuannya, maka arca Wisnu Kota Kapur dapat ditempatkan pada abad ke 6-7 Masehi.[10]

Selain arca Wisnu, ditemukan juga sebuah lingga yang bentuk puncak dan badannya bulat telur, dengan garis tengahnya berukuran sekitar 30 cm.[8] Namun bagian bawah lingga sudah hilang (patah).[8] Menurut McKinnon, bentuk lingga yang bulat telur ini diduga berasal dari sekitar abad ke 5-6 Masehi.[4][8] Dugaannya itu didasarkan atas perbandingan dengan bentuk-bentuk lingga dari India.[8]

Prasasti Camundi

[sunting | sunting sumber]

Jauh setelah Śrīwijaya, pulau Bangka dan Belitung masih diperhitungkan kerajaan lain.[8] Secara tersirat, Bangka Belitung boleh jadi termasuk dalam pulau-pulau nusantara yang ditaklukkan Raja Singhasari Kĕrtanāgara, sebagaimana tertulis dalam Prasasti Camundi (1292).[8][11] Dalam sejarah kuno Indonesia, daerah Bangka, Belitung, sampai Kerajaan Malayu di daerah Batanghari sejak tahun 1380-an mungkin termasuk dalam wilayah Kerajaan Majapahit, yang merupakan penerus Kerajaan Singhasari.[8]

Bangka di bawah Majapahit

[sunting | sunting sumber]

Kehadiran Majapahit di Bangka memberi arti penting dalam sejarah Bangka.[4] Sistem Kepatihan (pemerintahan) yang teratur mulai diterapkan dan tapal batas kekuasaan ditetapkan.[4] Majapahit mengirim ekspedisi ke Bangka dua kali, yang pertama dipimpin oleh Gajah Mada dan yang kedua dipimpin Tumenggung Dinata.[4] Namun tidak ada yang dapat memastikan tarikh kedua-duanya dan nama raja Majapahit yang memerintah pengiriman.[4] Akan tetapi, kahadiran Majapahit ke Bangka dapat diketahui melalui Tulisan Haji Idris 1861 berikut:[4]

Orang pertama yang mengenal Bangka adalah seorang pedagang Arab bernama nakhoda Sulaiman.[4] Kapalnya singgah di pantai kaki gunung Menumbing.[4] Sulaiman melafaskannya menumbing yang dalam bahasa Arab berarti "tempat berulang datang".[4]

Lukisan kontemporer Patih Gajah Mada

Setelah kembali ke Pulau Jawa (dari pulau Bangka) Sulaiman menghadap penguasa Majapahit, mengabarkan perihal pulau Bangka dan masyarakatnya.[4] Tertarik dengan laporan sulaiman, raja Majapahit mengirim ekspedisi ke pulau Bangka dipimpin oleh patih Gajah Mada.[4] Sulaiman ikut mendamping kembali ke Bangka.[4] Rombongan ini mendarat didaerah kaki gunung Menumbing.[4] Untuk mengetahui situasi dan kondisi Gajah Mada menuju puncak gunung Menumbing.[4] Dari ketinggian Gajah Mada melihat adanya lapangan terbuka dari kejauhan, menandakan daerah pemukiman.[4] Di lapangan terbuka terlihat sebuah tunggul sisa pohon besar yang ditebang, yang disebut punggur oleh masyarakat setempat.[4] Tempat pemukiman tersebut kemudian dinamakan desa punggur.[4] Seseorang kemudian diangkat untuk memimpin masyarakat disana.[4]

Di samping mengangkat kepala desa, Gajah Mada juga menetapkan batas, menetapkan tata-cara pemerintahan, meninggalkan piagam daun lontar dan sepotong tembaga berbahasa Arab dan bertulis huruf Jawa sebagai simbol pengukuhan.[4] Setelah perjalanan singkat itu rombongan Gajah Mada kembali ke Jawa.[4]

Bertahun-tahun sudah ditinggal rombongan Majapahit, masyarakat Bangka berkembang lebih maju dengan mengikuti tatanan kemasyarakatan yang sudah diajarkan.[4] Tempat, gunung dan sungai sudah bernama, diambil dari nama manusia, binatang, ikan, pohon, serta warna.[4] Pulau Bangka ditinggalkan terbengkalai oleh Majapahit.[4] Tidak pernah ada utusan Majapahit yang datang dalam masa yang panjang.[4] Akhirnya Majapahit mengutuskan pangeran Tumenggung Dinata untuk meninjau kembali.[4] Rombongan pengeran datang melalui sungai Bantilan dan meneruskan jalan darat sampai kampung Mendo (Menduk) dan kampung Jeruk.[4] Di Mendo, dipilih seorang menjadi kepala kampung, dan diberi gelar Patih Tali.[4] Dikampung Jeruk diangkat kepala kampung dengan gelar Patih Panjang Jiwa.[4]

Tumenggung Dinata pun berlayar kembali ke Jawa dan menyerahkan wewenang kepada kedua patih itu.[4] Selanjutnya Bangka sepenuhnya diatur oleh orang Bangka sendiri.[4] Kepatihan Jeruk dipengang oleh Patih Raksa Kuning dibantu Hulubalang Selangor.[4] Kepatihan Mendo dipengang Patih Ngincar, dan Depak dibawah patih Kembar, dibantu Layang Sedap, Mengandu, Mangirat, dan Sekapucik.[4]

Bangka melawan perompak (bajak laut) Lanon

[sunting | sunting sumber]

Setelah kesultanan bangka sudah di kuasai belanda,pulau bangka mengalami kekacauwan penduduk bangka mengalami penderitaan akibat penindasaan belanda. Di perairan pulau bangka ada sekelompok bajak laut yang mengganggu penduduk kampung pesisir mereka merampok harta penduduk serta menculik anak gadis mereka untuk di jadikan gundik pemuas nafsu mereka dan anak yang pria di jadikan calon anggota lanon, penduduk kampung pesisir di hantui rasa takut yang luar biasa dan para pedagang dari arab dan china jadi sasaran para bajak laut lanon sehingga para pedagang menjadi takut untuk berlayar melalui perairan bangka dan selat bangka hingga ke selat malaka. Atas saran dari pedagang dari arab kepada salah seorang anak dari Sultan Muhammad Ali yaitu Raden Muhammad Akil yang selamat dari peperangan di laut Mentok yang terluka di selamatkan oleh pedagang dari arab hingga sampai di arab dan menetap di arab berapa tahun agar supaya menumpas para bajak laut atau Lanon. Atas saran itu maka Raden Muhamad Akil pulang ke bangka setelah menunaikan ibadah haji. Setelah sampai di bangaka menetap di kota Waringin dan kembali menghidupkan kembali KESULTANAN bangka secara diam-diam dari pemerintahan belanda (1856-1916) dan kembali mensyusun kekuatan dari Para pejuang bangka yang tersisa yang Masih ada hubungan saudara dengan Raden Muhammad Akil dari Sultan Muhammad Ali yang di kenal rakyat bangka dengan nama BATIN TIKALdi kumpulkan yaitu datuk Waringin,datuk Jakfar Sidiq.Datuk terang datuk Paga,,datuk berembun dll. mereka adalah pejuang yang sudah berpengalaman dan terlatih di medan pertempuran darat maupun air sejak perang melawan belanda yang di pimpin oleh Fatih Krio Panting yaitu Sultan Muhammad Ali atau di kenal dengan julukan BATIN TIKAL.Mereka orang-orang yang sholeh, ilmu bela diri silat mereka gerakannya seperti bayangan dan kemampuan tenaga tubuh mereka seperti baja. mengadakan perlawanan menumpas para bajak laut yang di dukung oleh para pedagang dari arab dan China. Datuk Waringin di angkat atau di daulat menjadi Panglima Angin yang di bantu oleh Datuk Alam Harimau Garang Al Minangkabau utusan dari kesultanan minangkabau atas permintaan pedagang dari arab yang tugasnya mengamankan perairan selat bangka sampai selat Malaka dan mebentuk satu armada perang. peperangan panglima angin ini masih di apresiasikan dalam bentuk perayaan penduduk desa tempilang kabupaten Bangka Barat dengan nama perang ketupat sampai sekarang. peperangan armada Panglima angin sangat dasyat pertumpahan darah membanjiri perairan laut bangka sampai selat malaka sehinga suku melayu darat dan suku melayu laut (Seka) yang tinggal di pulau-pulau yang masih memegang kepercayan anismisme dinamisme mengadakan ritual TABER LAUT (mandi laut atau membersihkan laut) atau BUANG JONG (buang sial) sebutan untuk suku seka menurut kepercayaan laut sudah sasa"a (kotor) dengan darah. Hingga setiap tahunnya ritual ini masih di pertahankan sampai sekarang.

. Sedangkan Datuk jafar Sidiq di daulat menjaga penduduk tanjung tedung dan pulau nangka serta kampung selan yang sering menjadi sasaran para lanon . Datuk Jafar Sidik menyamar menjadi petani di pulau Namgka. Datuk Terang di daulat menjaga kampung kurau juga sering menjadi sasaran lanon menyamar menjadi petani dan tukang pandai besi di kampung kurau. Datuk Paga di daulat menjaga kampung Penyak yang juga menjadi sasaran lanon dan menyamar menjadi petani di kampung Penyak, Datuk Berembun di daulat menjaga kampung Tanjung berikat dan perairan sampai pulau kelasa menyamar menjadi nelayan di kampung tanjung berikat Datok Jamila di gaulat menjaga kampung penutuk pulau lempar menyamar menjadi petani dan nelayan, Datuk Hulung (Sulung) di daulat menjadi penjaga kampung tanjung Labu pulay lempar menyamar menjadi nelayan dan petani dll.

Sultan Muhammad Akil juga mengadakan hubungan dagang kepada pedagang dari arab dan china secara diam-diam dari pemerintah belanda sehingga Sultan Muhammad Akil menjadi boronan hindia belanda.

Menurut suatu sumber Lanon adalah sisa-sisa pasukan Hulu Balang Nilam yang bersekutu dengan belanda di karnakan waktu mau melawan pasukan pejuang bangka yang di pimpin oleh Fatih krio panting Hulu Balang Nilam merekrut pendekar golongan hitam yang di datangkan dari luar pulau bangka, Lanon propaganda belanda untuk mengacaukan para pedagang dari arab dan china agar para pedagang menjadi takut untuk berdagang melalui perairan selat bangka sampai selat malaka sehingga belanda bisa menopoli perdagangan Timah dan rempah-rempah dari sunda kelapa pulau jawa sampai sumatra juga bangkaa karena jalur perdagangan ini sangat strategis yang ramai di lalui para pedagang pada waktu itu.

Asal Usul Nama Tubuh Ali Ibu Kota Kabupaten Bangka Selatan Menjadi TOBOALI

[sunting | sunting sumber]

Pada zaman Sultan Muhammad Akil perairan bangka sampai selat malaka di penuhi para perompak atau bajak laut. yang dipimpin oleh Lanon. para pedagang yang ingin melalui perairan bangka sampai selat malaka menjadi waspada karena kapal dan barang dagangan mereka akan menjadi sasaran para bajak laut. Para pedagang dari sunda kelapa bila sudah sampai pulau Dapur daerah perairan bangka selatan sudah waspada mereka menujuk ke arah bangka selatan dengan berkata:"ITU SUDAH SAMPAI TUBUH ALI" sedangkan masyarakat melayu bangka daratan menamai nama tubuh ali dengan SABANG sedangkan masyarakat Tubuh Ali menamai dengan HABANG di karenakan masyrakat TUBUH ALI susah untuk menyebut huruf S maka di ganti huruf H menjadi HABANG. Para pedagang tidak asing lagi cerita tentang Sultan Muhammad Ali atau yang di juluki BATIN TIKAL dan Fatih KRIO Panting yang sudah kesohor sejak Kesultanan Bangka Tubuhnya di makamkan di daerah bangka selatan yang kepalanya ada di palembang yang masih berbicara bahasa sastra pantun kepada residen belanda. Setelah bertahun- tahun bangka selatan lebih di kenal dengan TUBUH ALI atau TOBOALI dan sekarang menjadi ibu kota propensi bangka selatan. masyarakat di daerah kepulauan seperti Penutuk (Lempar) dan Pongo juga selat nasik dari dulu sampai sekarang menamai dengan TUBUH ALI di sederhanakan menjadi TOBOALI.

Bangka di bawah Kesultanan Palembang Darussalam

[sunting | sunting sumber]

Setelah Bupati Nusantara wafat, kekuasaan jatuh ke tangan putri tunggalnya dan oleh karena putrinya telah dikawinkan dengan sultan Palembang yaitu Sultan Ratu Abdurrahman Khalifahtul Saydul Iman atau di kenal dengan Sunan Cinde Walang (1659-1706), maka dengan sendirinya pulau Bangka dan sekitarnya menjadi bagian dari kesultanan Palembang Darrussalam. Setelah meninggal Sultan Ratu Abdurrahman di gantikan anaknya yaitu Sultan Muhammad Manyur Jayo ing Lago (1706-1714) Semenjak kesultanan Palembang Darrussalam di perintahkan oleh Sultan Muhammad Mansyur Ing Lago daerah Jambi melepaskan diri di karenakan Sultan Manyur banyak menggunakan tangan besi dalam memerintah maka wilayah kesultanan palembang darussalam yaitu palembang dan bangka belitung, Setelah beliau Wafat tahun 1714 kemudian mau diangkat anaknya yaitu Pangeran Purbaya. Karena Pangeran Purbaya meninggal di racun sebelum mau di angkat menjadi sultan maka Kesultanan palembang Darussalam di angkat menjadi sultan adalah adik sultan Mansyur Ing Lago yaitu Sultan Agung Kamaruddin Sri Teruno (1714-1724) Setelah meninggal, Pangeran Purbaya keluarga dan adik-adiknya di ungsikan ke kesultanan Banten yang masih hubungan saudara, di karenakan dalam keluarga kesultanan tidak harmonis lagi untuk menyelamatkan keselamatan anak dari almarhum Sultan Mansyur Ing Lago. Pada tahun 1724 anak dari Sultan Muhammad Mansyur yaitu Pangeran Tumenggung Muhammad ali dan adiknya Raden Jayo Wikramo meminta kepada pamannya yaitu Sultan Agung Kamarudin mengembalikan kesultanan palembang Darussalam kepada mereka yang dari ayahnya yang di dukung oleh sultan banten Untuk menghindari pertumpahan darah dalam perselisihan dengan keponakannya itu, kemudian atas kebijaksanan pamannya maka Kesultanan Palembang di bagi 2 Yaitu Pulau Bangka di angkat Pangeran Tumenggung Muhammad ali menjadi Sultan di Bangka dengan nama Sultan Muhammad Ali !724-1851) dan Raden Jayo Wikramo menjadi Sultan di Palembang dengan nama Sultan Mahmud Badarudin (1724-1758) dengan syarat berpasangan dengan menantu beliau yang sudah janda.

KESULTANAN BANGKA (1724-1851)

Setelah di angkatnya Sultan Muhamad Ali di Bangka Belitung pusat pemerintahan berada di bangka kota (kute) dengan kepandaiannya dalam menata pemerintahan kesultanan, pulau bangka belitung menjadi maju pesat dalam pertanian seperti lada,karet,cengkih dan hasil tambangnya yaitu timah. Kesultanan di bagi dalam raja kecil yaitu Bernama Depati; Seperti Depati Barin yang membawahi Bangka Kota dan sekitarnya, Depati Hamzah yang membawahi daerah yang sekarang disebut Bukit Intan, Depati Syamsuddin yang membawahi Muntok dan sekitarnya. Dibawah Depati adalah daerah yang seperti kecamatan yang di pimpin oleh sorang Demang. Setiap Depati di dampingi seorang penasehat seorang ulama yang di panggil syeh. Syeh inilah sangat memegang peranan penting dalam sistim pemerintahan depati, dakwah islam di setiap daerah. Dalam bidang keamanan depati dipimpin seorang Hulu Balang (komandan) setiap Hulu balang di setiap Depati di bekali Kebatinan (ilmu keahlian). Di setiap kampung di kepalai seorang yang bernama KEGADING. Setiap kegading di bantu beberapa orang Dukun sebagai sarana pengobatan rakyat serta keamanan.untuk urusan perkawinan di sebut PENGHULU untuk menikahkan perkawinan, Dalam penerimaan pajak di sebut PUNGUT sebagai zakat untuk di bayar kepada Kesultanan besarnya sudah di tentukan menurut syareat Isalam. Untuk pengaturan pengarapan lahan pertanian sudah di buat peraturan dengan nama Hukum Haminte.

Dalam penyebaran islam di bangka. Kesultanan Bangka ini cukup berhasil yang di bantu oleh para ulama dari luar bangka seperti dari kalimantan palembang juga pulau Jawa. Di semua daerah karena bangka sebelumnya masih banyak yang belum masuk islam., Kepercayaan masyarakatnya masih di pengaruhi kerajaan kota kapur dan sriwijaya yaitu kepercayaan anismisme dinamisme.

Sultan Muhammad Ali juga seorang panglima perang yaitu Fatih Krio panting (Panglima pantun) beliau di kenal dengan karomahnya ilmu bela diri yaitu Silat sambut dan dalam hal ilmu kebatinan beliau mempunyai ilmu atau batin yang tubuhnya di potong bisa nyambung lagi di kenal oleh masyarakat bangka batin tikal.rakyat bangka lebih mengenal beliau dengan julukan BATIN TIKA Mulai menjadi Fatih Krio Panting (Panglima pantun) tahun 1776 sejak merebut kembali kesultanan Mahmud Badarudin yaitu adiknya yang di ambil alih oleh sultan Ahmad Najamudin Adi kusumo (1758-1776) yang berkerja sama dengan Belanda, Kemudian di di angkat sultan menjadi Muhamad Badarrudin (1776-1804) menggantikan nashab Ahmad menjadi nashab Muhammad di depan nama sultan setelah menguasai wilayah palembang. Dalam percakapan beliau selalu mengunakan sastra PANTUN sebagai komunikasi kepada bawahannya,boleh di katakan sastra PANTUN mulai terkenal pada zaman SULTAN MUHAMMAD ALI. Dalam urusan perdagangan kesultanan bangka menjalin hubungan erat dengan pedagang dari arab dan Tiongkok yang sudah lama terbentuk dari kerajaan palembang lama yang terkenal dengan jalur sutra. Sultan Muhammad Ali dan Sultan Mahmud Badarrudin tidak mau kerjasama dengan VOC atau belanda untuk melnjutkan perjanjian Sultan Agung Kamarrudin pamannya karena perjanjian itu sangat merugikan pihak kesultanan

.Di zaman sultan Muhammad Ali dan Sultan Mahmud Badarudin inilah masa keemasan pulau bangka dan palembang Darussallam berlangsung sehingga banyak sastra-sastra berkembang di bangsa melayu terutama pantun.

Penemuan dan Ekspolitasi Timah

[sunting | sunting sumber]

Orang-orang Johor dan Siantan-lah yang pertama mengali timah di pulau Bangka, karena pangalaman mereka yang sudah didapatkan di Semenanjung Malaka.[2] Dengan ditemukannya timah (sekitar tahun 1710) mulailah Bangka disinggahi oleh segala macam perahu dari seluruh Asia dan Eropa.[2] Perusahaan-perusahaan pengali timah pun sangat maju, sehingga sultan Palembang mengirim orang-orang ke Semenanjung dan negeri Tiongkok untuk mencari tenaga-tenaga ahli.[2] Pada tahun 1722 VOC mengadakan perjanjian yang mengikat dengan Sultan Agung Kamaruddin dari Palembang untuk membeli timah secara monopoli.[2] Dimana menurut laporan Van Haak perjanjian antara pemerintah Belanda dan Sultan Palembang berisi:[3]

  • Sultan hanya menjual timahnya kepada kompeni.[3]
  • Kompeni dapat membeli timah sejumlah yang diperlukan.[3]
Logo Kamar Dagang VOC

V.O.C mulai melakukan kecurangan dan pelangaran janji yang menyebabkan ketegangan dan sikap permusuhan.[2] Pada tahun 1811 dalam masa pertukaran kekuasaan dari Belanda ke tangan Inggris Sultan Mahmud Badarudin dan Sultan Muhammad Ali di bangka tidak mau melanjutkan perjanjian pamannya Sultan Agung Kamarudin dengan VOC di karenakan perjanjian itu sangat merugikan pihak kesultanan sehingga VOC mengadakan kerjasama dengan anak pamannya Sultan Agung Kamarudin yaitu Sutan Ahmad Najamudin Adi kusumo mengadakan penyerangan kepada Sultan Mahmud Badarudin maka Sultan Ahmad Najamudin berhasil mengalahkan Sultatan Ahmad Najamudin Adi kusomo 1758. Kemudian pada tahun 1776 Sultan Mahmud dan Sultan Muhammad Ali di kenal dengan julukan Batin Tikal mengadakan serangan terhadap Kesultanan Ahmad Najamudin Adi Kusomo dan kantor V.O.C yang berdada di Palembang dan semua orang V.O.C mati terbunuh.[2] kemudian kesultanan di ambil alih oleh Sultan Mahmud Badarudin kemudian nama kesultanan di rubah oleh Sultan Muhammad Ali kakaknya yang di bangka menjadi SULTAN MUHAMAD BADARUDIN menghilangkan nashab ahmad di depan nama Badarudin menjadi MUHAMAD (1776-1804) Pada tahun 1804 VOC mengadakan penyerangan terhadap Sultan Muhamad Badarudin namun tidak berhasil namun Sultan Muhamad Badarudin terbunuh kemudian di gantikan anaknya menjadi sultan menjadi SULTAN MAHMUD BADARUDIN !! (1804-1821). pada tahun 1813 VOC kerjasama dengan Sultan Najamudin 11 mengadakan penyerangan terhadap Sultan Mahmud Badarudin 11 kemudian Sultan Mahmud Badarudin berhasil di tangkap dan di buang ke manado Pada tahun 1813 Sultan Najamudin 11 (Husin Dhiaudin) di angkat oleh VOC menjadi Sultan. Semenjak di angkatnya Sultan oleh VOC Kesultanan palembang Darussalam menjadi perebutan kekuasaan oleh kerabatnaya.

Dari tahun 1813 kesultanan Muhamad Ali di Bangka kota menjadi target penyerangan Belanda selanjutnya namun tidak berhasil karena rakyat bangka dari semua DEPATI bersatu melawan Belanda yang di pimpin oleh Sultannya sendiri sebagai panglima perang dengan nama FATIH KRIO PANTING (Pangliam pantun) yang menjadi komandannya yaitu HULU BALANG NILAM.mereka adalah saudara seperguruan ahli dalam bela diri silat sambut dan punya ajian atau BATIN TIKAL (ilmu tubuh terpotong bisa nyambung kembali) Maka masyarakat bangka menjulukinya dengan BATIN TIKAL. Pada tahun 1851Belanda dengan segala upaya ingin menguasai bangka maka Belanda mengadakan Politik DE VEDE ET EMPERA (pecah belah) menghasut HULU BALANG NILAM dengan menjanjikan Hulu Balang Nilam menjadi Sultan Bangka menggantikan Sultan Muhamad Ali kakak seperguruannya.sehinga Hulubalang Nilam termakan hasutan belanda itu. semenjak itulah perlawanan rakyat bangka menjadi menurun lalu Sultan Muhamad Ali terpenggal kepalanya di tangan adik seperguruannya sendiri.Semenjak Tahun 1851 Belanda baru bisa masuk ke bangka.

Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Ali (1724-1851) di Bangka dan Sultan Muhamad Badarudin (1776-1804), Bangka merupakan pemasok timah terbesar di Asia.[8] Teknologi penambangan timah yang dibawa oleh orang-orang Tionghoa, membuat produksi timah bertambah tinggi.[8] Penjualan kepada VOC rata-rata 20.000 pikul/tahun (1 pikul = 62,5 Kg.).[8] Sejalan dengan majunya teknologi penambangan dan bertambahnya permintaan pasar, bertambah banyak pula produksi timah dari Bangka.[8] Beberapa kota yang dibangun oleh koloni penambang timah, misalnya Mentok, SungaiLiat, dan Toboali.[8] Kota-kota ini dapat dikatakan merupakan kota tua yang dibangun oleh penambang-penambang Tionghoa.[8] Setelah timah ditemukan pada abad ke-17, membuat Bangka mendapatkan kekayaan dan terkenal sebagai penghasil Timah terbesar di Indonesia.[5] Sekarang meski masih ditambang namun tidak sebanyak seperti dahulu.[5]

Sebelum Indonesia Merdeka

[sunting | sunting sumber]

Perlawanan Sultan Muhammad Ali

sejak tahun 1804 Kesultanan Mahmud Badarudin 11 di tangkap belanda dan di buang ke manado kemudian Kesultanan di gantikan oleh Sultan Najamudin 11 (Husin Dhiauddin) 1813 di angkat Sultan oleh Belanda. Kemudian Belanda membuka residennya di Palembang semenjak itu Bangka menjadi sasaran target penyerangan.Namun perlawanan rakyat bangka di pimpin lansung oleh Sultannya sendiri sebagai panglima perang dengan nama Fatih Krio Panting (panglima pantun) dan Hulu Balang Nilam sebagai komandan pasukan kesultanan mereka jberdua adalah saudara seperguruan mereka mempunyai keahlian ilmu bela diri ketangkasan silat bernama silat Sambut dan ilmu kebatinan bernama BATIN TIKAL ( ilmu tubuh terpotong bisa nyambung) di kenal dengan BATIN TIKAL .

Benteng pertahanan di tanjung Tedung dan pulau Nangka karena secara strategi perang Belanda tidak bisa langsung masuk ke sungai Bangka Kota di karena dangkal sedangkan Belanda mengunakan kapal yang besar maka Belanda dapat masuk melalui sungai Selan yang lebih dalam dan lebar maka di lakukan pertahanan di Tanjung Tedung dan pulau Nangka karena dekat dengan muara sungai selan. Hingga akhirnya belanda menggunakan politik DE VEDE ET EMPERA (pecah belah). Pada tahun 1823 Belanda berhasil menghasut Hulu balang Nilam untuk berkerja sama dengan belanda untuk melawan Fatih Krio Panting dengan di janjikan di angkat menjadi Sultan di Bangka dan Hulu balang Nilam mesetujui perjanjian tersebut. kemudian Belanda mulus mendarat di sungai selan dan kemudian menyerang ke bangka kota melalui jalur darat dengan diam-diam dengan pasukan penuh yang bergabung dengan pasukan Hulu Balang Nilam yang setia pada Hulu Balang Nilam.Pada tahun 1851 Hulu Balang Nilam berhasil membunuh Fatih Kro Panting dengan cara memenggal kepalanya dan kepala Fatih krio Panting di bawa ke Resident belanda di palembang di hadapan keresident belanda Kepala kepala Fatih krioin Panting masih bisa berbicara dengan pantun minta kepalanya di kembalikan ke bangka. Pantunnya yang berbunyi " Krio panting secupat jada....pisah badan la biasa....Krio panting pulang ke bangka....kalo dak gempur negri belanda...mendengar ancaman itu terdengarlah sampai ke keluarga kerajaan belanda sehingga atas perintah ratu belanda memerintahkan kapten bacing untuk mengembalikan kepala Fatih kro panting kebangka.Sesampai di bangka yaitu di sungai selan kapten Bacing penasaran ingin memotong rambut Fatih krio panting tapi tiba-tiba petir menyambar tubuh kapten Bacing hingga gosong dan tewas melihat kapten tewas Hulu Balang Nilam marah dan memegang kepala Fatih Krio panting tapi tangannya tak bisa di lepas seperti lengket hingga badanya mengering lalu tewas.Kemudian Kapten Bacing di makam kan di sungai selan sedangkan Hulu Balang Nilam di makamkan di desa gudang. Sebelum di makamkan Fatih Krio panting menyampaikan pesan kepada anak dan cucu keturunannya melalui pantun yang berbunyai ' Krio Panting Putus berdenting....cupak jantang dak beruba...Harta dan tahta dak penting....saudara, iman dan harga diri nak di jaga....lalu beliau meminta di makamkan kepalanya di atas makam Hulu Balang Nilam adiknya sebagai nisan Hulu Balang Nilam. Dari makam di desa Gudang inilah termakna pesan" KAMU TEGA MEMBUNUH SAUDARAMU MAKA SEBAGAI NISAN KEPALA SAUDARA MU INILAH"

Perlawanan Depati Bahrin

[sunting | sunting sumber]

Pada awal Oktober 1819, pasukan Belanda dibawah pimpinan Kapten Laemlin menyerang pasukan pertahanan Depati Bahrin di Bangka Kota.[4] Tetapi Belanda tidak mampu menghadapi perlawanan hebat Depati Bahrindan pasukannya.[4] Pasukan Kapten Laemlin pun mundur kearah Mentok.[4] Selama perjalanan mundur menuju Mentok dan melewati perkambungan, pasukan Leamlin tidak putus-putusnya diserang pengikut Bahrin.[4] Setalah peristiwa Bangka Kota, Depati Bahrin memindahkan pusat kekuatannya ke Kota Waringin dan Kampung Nyireh.[4] Kemudian terjadi hal yang sangat memalukan Belanda dalam catatan sejarahnya, yaitu Residen Smissaert tewas dalam satu sergapan yang merupakan gabungan pengikut Depati Bahrin dari Kampung Jeruk.[4] Belanda menaruh dendam pada Depati Bahrin atas kematian Smissaert dan kekalahan di tempat lain.[4] Oleh karena itu, Belanda menjanjikan hadia sebesar 500 ringgit bagi mereka yang dapat membunuh Bahrin.[4]

Perlawanan Depati Amir

[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 1830 setelah Depati Bahrin Menyerah, Belanda mengangkat anak sulung Bahrin yang bernama Depati Amir sebagai pengganti.[4] Upaya ini adalah strategi Belanda untuk memikat hati rakyat Bangka.[4] Depati Amir membawahi daerah Mendara dan Mentadai (Merawang).[4] Perselisihan antara Depati Amir dan Belanda adalah masalah pembagian hasil tambang yang tidak sesuai dengan perjanjian awal antara Depati Amir dan Belanda sehingga Depati Amir merasa di khianati oleh Belanda sehingga Depati Amir mengadakan perlawanan .[4] Hal lain yang menambah kerisauan Belanda adalah Depati Amir ternyata mahir menghimpun pengikut untuk membangun kekuatan.[4] Dalam laporan Belanda, dikatakan Amir menyusun kekuatan dengan menghimpun bajak laut, para pelarian penjahat dari pulau-pulau lain, dan preman-preman.[4] Sikap perlawanan yang ditunjukan Amir terhadap Belanda, diartikan rakyat sebagai sinyal untuk memberontak melawan Belanda.[4] Karena kekuatan Depati Amir tidak sesuai dengan kekuatan Belanda sehingga Depati Amir masuk hutan dengan melakukan perang grilya kemudian akhirnya Depati Amir tertangkap oleh belanda lalu di buang belanda ke NTT ( Nusa Tenggara Timur ).[4]

Indonesia Merdeka

[sunting | sunting sumber]

API dibentuk

[sunting | sunting sumber]

Sejak terdengarnya siaran berita Indonesia merdeka putra-putra Bangka segera membenah diri menyadiakan tenaga yuntuk menghadapi segala kemungkinan.[2] Menurut surat dari Gubernur Sumatra Mr. Teuku Mohd. Hasan dari Bukit Tinggi, pulau Bangka dan Belitung masuk dibawah kekuasaan Gubernur Militer Sumatera Selatan.[2] Semua berkas anggota Syu Sangikai (DPR ala Jepang) dijadikan anggota Komite Nasional Indonesia (KNI).[2] Pimpinana pemerintah Bangka dipercaya kepada Masyarif Datuk Bendaharo Lelo, bekas ketua Syu Sangikai dengan jabatan Residen dan wakilnya adalah Saleh Amad sebagai Asisten Residen.[2] Para pemuka masyarakat dan bekas pemimpin Gyugun serta Heiho dengan semangat yang berapi-api pada awal bulan September 1945 membentuk suatu badan yang diberi nama "Angkatan Pemuda Indonesia" disingkat (API).[2] Mula-mula hanya beranggotan 50 orang.[2] Badan tersebut dicetus disuatu gedung yang terletak dijalan Jendral Sudirman (sekarang tempat kediaman Kuasa Unit Penambangan Timah Bangka)[2]

TKR dibentuk

[sunting | sunting sumber]

Tanggal 29 Oktober 1945 datanglah utusan dari Palembang yang dipimpin oleh Mayor F. Manusama untuk membentuk "Tentara Keamanan Rakyat" (TKR) di Bangka.[2] Mayor F. Manusama, A. Kamil dan Munzir Talib membentuk satu Resimen TKR di Bangka dibagi dalam tiga Batalyon, yakni:[2]

  • Batalyon I Pangkalpinang dibawah pimpinan Mayor H. Muhiddin dengan 3 kompi: Kompi Ismail Hasan, Kompi Darmomulyo dan Kompi Sukmadi.[2]
  • Batalyon II Mentok dibawah pimpinan Mayor Saparudin dengan 3 kompi: Kompi Saman Idris, Kompi Tumbuan dan Kompi Admi Husin.[2]
  • Batalyon III, persiapan untuk Belitung dibawah pimpinan Komandan Munzir.[2]

Bung Karno dan Hatta diasing

[sunting | sunting sumber]

Tanggal 6 Februari 1949 Presiden Soekarno dan Mentri Luar Negeri Haji Agus Salim atas desakan BFO diangkut oleh Belanda dari Prapat (Sumatera Utara) ke Bangka dan disatukan dengan Moh Hatta dalam kamp Menumbing.[2]

Daerah yang Kaya

[sunting | sunting sumber]

Nama Bangka disebut-sebut juga dalam berbagai catatan asing, seperti misalnya catatan Tionghoa, Portugis, Belanda, Inggris, serta dokumen-dokumen Kesultanan Palembang-Darussalam dan Kesultanan Banten.[8] Dari catatan-catatan sejarah itu, diperoleh suatu gambaran bahwa Pulau Bangka merupakan sebuah pulau yang cukup kaya.[8] Dengan hasil bumi (lada) dan hasil tambang (timah).[8] Kedua hasil ini merupakan komoditas penting pada masa Kesultanan.[8] Selain itu letaknya cukup strategis di lintas pelayaran antara Jawa, India, Asia Tenggara daratan, dan Tiongkok.[8] Sebagai sebuah tempat yang memiliki sejarah yang cukup panjang, tentu banyak ditemukan peninggalan budayanya, baik yang berupa bangunan, maupun benda-benda hasil budaya.[8]

Lihat juga

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ (Indonesia) "Wisata Pulau Bangka". Pulau Bangka. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-05-12. Diakses tanggal 12 Mei 2014. 
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z (Indonesia) Husnial Husin Abdullah. Sejarah Perjuangan Kemerdekaan R.I. Di Bangka Belitung. (Jakarta: Karya Unipress, 1983)
  3. ^ a b c d e f (Indonesia) "Asal Mula Bangka". Sejarah Bangka. Diakses tanggal 10 Mei 2014. [pranala nonaktif permanen]
  4. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah ai aj ak al am an ao ap aq ar as at au av aw ax ay az ba bb bc bd be bf bg bh bi bj bk bl bm bn bo bp bq br bs bt bu bv bw (Indonesia) SUTEDJO SUJITNO. Lagenda Dalam Sejarah Bangka (Jakarta: Cempaka Publishing, 2011) ISBN 979166960-1.
  5. ^ a b c (Indonesia) "Indonesia Trevel". Trevel Indonesia. Diakses tanggal 10 Mei 2014. 
  6. ^ (Indonesia) Raden Panji Soejono. Jaman Prasejarah Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1984)
  7. ^ Loius Charles Darmis & George Coedes, Kedaulatan Sriwijaya: Penelitian tentang Sriwijaya (Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan École Française d'Extrême-Orient EFEO, 1995) hal.85
  8. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag (Indonesia) "Kementrian Pendidikan dan Budaya" (PDF). Bangka Belitung dalam Lintas Niaga. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2014-05-13. Diakses tanggal 12 Mei 2014. 
  9. ^ a b c d e f g h (Indonesia) "Nama Pulau Bangka" (PDF). Asul-usul nama Pulau Bangka. Diakses tanggal 12 Mei 2014. 
  10. ^ a b (Inggris) Stutterheim, W.F., 1937, Note on a Newly Found Fragment of a Four Armed Figure from Kota Kapur (Bangka), dalam Indian Art and Letters Vol. XI No.2:105-111
  11. ^ Suhadi, Machdi; Kartakusuma, Richardiana (1996/1997). "Laporan Penelitian Epigrafi Di Wilayah Jawa Timur" (PDF). Berita Penelitian Arkeologi. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (47): 19. Diakses tanggal 2020-07-14.