Istinggar
Istinggar adalah jenis senjata api matchlock (kancing sumbu) yang dibuat oleh berbagai kelompok etnik dari kepulauan Nusantara. Senjata api ini adalah hasil dari pengaruh Portugis terhadap persenjataan lokal setelah penaklukkan kesultanan Melaka (1511).[1] Sebelum jenis senjata ini, di Nusantara sudah ada senapan awal berlaras panjang yang disebut bedil, atau Arquebus Jawa sebagaimana disebut orang China. Sebagian besar spesimen di semenanjung Melayu sebenarnya berasal dari Indonesia, diproduksi di tanah Minangkabau di Sumatera Barat. Orang-orang di negara bagian Semenanjung Malaya mengimpor senjata api ini karena digunakan dalam perang mereka secara luas.[2][3]
Etimologi
[sunting | sunting sumber]Nama istinggar berasal dari kata bahasa Portugis espingarda yang berarti arquebus atau senjata api. Istilah ini kemudian berubah menjadi estingarda, akhirnya ke setinggar atau istinggar.[4][2][5] Kata ini memiliki banyak variasi di nusantara, seperti satinggar, satenggar, istenggara, astengger, altanggar, astinggal, ispinggar, dan tinggar.[6][7][8][9][10][11][12]
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Pendahulu senjata api, meriam galah (bedil tombak), dicatat digunakan oleh Jawa pada tahun 1413.[13][14] Akan tetapi pengetahuan membuat senjata api sejati di kepulauan nusantara muncul setelah pertengahan abad ke-15. Ia dibawa oleh negara-negara Islam di Asia Barat, kemungkinan besar oleh orang Arab. Tahun pengenalan yang tepat tidak diketahui, tetapi dapat dengan aman disimpulkan tidak lebih awal dari tahun 1460.[15] Sebelum kedatangan bangsa Portugis di Asia Tenggara, orang-orang Melayu sudah memiliki senjata api awal, yaitu arquebus Jawa.[16] Senjata api ini memiliki laras yang sangat panjang (hingga 2,2 m), dan selama penaklukan Portugis atas Melaka (1511), terbukti mampu menembus lambung kapal ke sisi lain.[17] Namun mekanisme pemicu dan larasnya masih sangat kasar.[16][18]
Wan Mohd Dasuki Wan Hasbullah menjelaskan beberapa fakta akan keadaan persenjataan bubuk mesiu di Melaka sebelum kejatuhannya pada 1511:[19]
- Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa bedil, meriam, dan bubuk mesiu dibuat di negara-negara Melayu.
- Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa bedil pernah digunakan oleh Kesultanan Melaka sebelum penjarahan Portugis, bahkan dari sumber-sumber Melayu sendiri.
- Berdasarkan laporan banyaknya meriam yang ditemukan dan ditangkap oleh Portugis, mereka masuk dalam kategori artileri kecil (meriam kecil), jenis inilah yang lebih banyak digunakan oleh orang Melayu.
Orang-orang Portugis di Goa secara mandiri menghasilkan senjata api sendiri. Mulai tahun 1513, tradisi pembuatan senjata Jerman-Bohemia digabungkan dengan tradisi pembuatan senjata Turki.[20] Ini menghasilkan tradisi matchlock Indo-Portugis. Pengrajin India memodifikasi desain dengan memperkenalkan popor yang sangat pendek, hampir seperti pistol, yang menempel di pipi, bukan bahu, ketika membidik. Mereka juga mengurangi kaliber dan membuat senjata ini lebih ringan dan lebih seimbang. Ini sangat disukai orang Portugis yang melakukan banyak pertempuran di atas kapal dan di perahu sungai, dan menghargai senjata yang lebih ringkas.[20][21]
Afonso de Albuquerque menganggap pembuat senjata api dan meriam di Melaka berada di level yang sama dengan Jerman. Namun, dia tidak menyebutkan etnis apa yang membuat senjata api dan meriam Melaka.[22][23][24] Duarte Barbosa menyatakan bahwa pembuat arquebus di Melaka adalah orang Jawa.[25] Orang Jawa juga membuat meriam secara mandiri di Melaka.[26] Anthony Reid berpendapat bahwa orang Jawa menangani banyak pekerjaan produktif di Melaka sebelum tahun 1511 dan di Pattani pada abad ke-17.[25]
Ada 2 mekanisme pemicu berbeda yang digunakan dalam senapan Indo-Portugis. Satu memiliki pegas utama berdaun tunggal dari prototipe senjata Lusitania, yang dapat ditemukan di Sri Lanka, Semenanjung Malaya, Sumatra, dan Vietnam, dan yang lainnya memiliki pegas utama berbentuk V, dapat ditemukan di Jawa, Bali, Cina, Jepang, dan Korea.[20][27] Mekanisme pemicu istinggar biasanya terbuat dari kuningan.[28] Orang Melayu menggunakan penutup bambu di laras arquebus matchlock mereka dan mengikatnya dengan rotan, agar tetap kering dalam cuaca basah.[28][29] Istinggar biasanya lebih panjang dari senapan Jepang. Tidak adanya saluran untuk pelantak (ramrod) menunjukkan bahwa mereka digunakan untuk bertumpu pada dinding atau digunakan dari pagar kapal seperti lela atau rentaka. Dalam hal ini, pelantak tidak membutuhkan kompartemen.[30] Orang Melayu juga membuat palu kecil untuk mendorong peluru senapan mereka ke dalam laras.[28]
Orang Minangkabau di pedalaman Sumatra terkenal karena pembuatan senjata berbasis bubuk mesiunya. Catatan sezaman oleh João de Barros (1496–1570) mengindikasikan bahwa sebelum kedatangan orang Eropa, orang Sumatra belum menggunakan senjata api.[24] Besi dan baja diproduksi di bengkel pandai besi mereka, tetapi pada abad ke-19 mereka menjadi lebih bergantung pada orang Eropa.[31] Arquebus matchlock orang Minangkabau disebut "Istenggara Menangkabowe" (atau istinggar Minangkabau, atau hanya satingga).[5][11][32] Produksinya cukup untuk memenuhi kebutuhan lokal, orang Minangkabau juga mengekspor senjata api mereka ke daerah lain, seperti ke Aceh, Melaka, dan Kesultanan Siak.[31][33] Larasnya dibuat dengan menggulirkan sebatang besi datar berdimensi proporsional secara spiral mengelilingi batang bundar, dan memukulnya hingga bagian-bagian tadi bersatu, dan seni mengebor mungkin tidak diketahui oleh mereka.[31] Produksinya berlanjut hingga abad ke-19, ketika mekanisme matchlock sudah ketinggalan zaman.[2][33] Sebuah manuskrip bernama Ilmu Bedil adalah pedoman tentang istinggar jenis ini. Orang Minangkabau juga memproduksi senjata api lain, yaitu terakul (pistol dragoon).[5] Orang Batak menggunakan senapan matchlock dengan kunci yang terbuat dari tembaga, dan dianggap Marsden sebagai penembak ahli. Namun senapan-senapan Batak dipasok oleh pedagang Minangkabau.[31]
Orang Makassar dari Kerajaan Gowa, yang mempertahankan hubungan persahabatan dengan Portugis sejak 1528,[34] mendapat banyak manfaat dari bantuan Portugis dalam membangun kekuatan militernya. Masuk Islam pada awal tahun 1600-an, mereka membuat perang suci (jihad) terhadap tetangga yang masih belum beriman, suku Bugis.[35] Orang Makassar sudah membuat senapan lontak, mungkin dari espingarda Portugis, sekitar akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17. Saat abad ke-18, tetangga mereka (Bugis) memproduksi senapan dengan lubang laras yang lurus dan pekerjaan tatahan yang bagus yang menarik kekaguman orang Eropa.[35] Selama bertahun-tahun peperangan, tentara Bugis dan Makassar, mengenakan waju rante (zirah rantai) dan membawa senapan lontak yang mereka buat sendiri, mendapatkan reputasi yang hebat untuk keganasan dan keberanian mereka.[35] Antara 1603–1606, pasukan Uni Iberia menyerang Ternate dua kali, senapan lontak (musket) dan senapan sundut (arquebus) dilaporkan digunakan oleh orang "Moro" (yaitu orang Moor, atau orang Muslim) di Ternate.[36] Nicolas Gervaise mencatat bahwa di Makassar "Tidak ada orang di Hindia Timur yang lebih gesit dalam menunggang kuda, menarik busur, menembakkan fuzil (musket), atau mengarahkan meriam (dibanding orang Makassar)".[37]
Akhirnya, Istinggar menyebar ke daerah-daerah yang dikuasai Muslim di kepulauan Filipina, di mana ia dikenal sebagai "astinggal". Kamus Tagalog San Buenaventura tahun 1613 mendefinisikan "astingal" sebagai "arquebus, dari jenis yang mereka gunakan di masa lalu dalam perang mereka dan yang berasal dari Kalimantan". Ini tampaknya menjadi rujukan pertama bagi mereka di Luzon utara.[38] Meskipun demikian, orang-orang Spanyol tidak pernah menemui mereka di Luzon, tidak seperti di Mindanao.[39] Pada 1609, orang Spanyol melaporkan bahwa di Zambales banyak penduduk asli yang menggunakan arquebus dan musket dengan cukup terampil, karena mereka telah melihat orang Spanyol menggunakan senapan mereka.[36]
Penduduk hindu Bali dan Lombok, yang merupakan sisa-sisa penduduk hindu Majapahit,[40] terkenal dengan pembuatan senapan sundut mereka. Pada tahun 1800-an Alfred Wallace melihat dua senjata buatan mereka, dengan panjang 6 dan 7 kaki (1,8 dan 2,1 m), dengan lubang kaliber yang proporsional besarnya. Popor kayunya dibuat dengan baik, diperpanjang ke ujung laras depan. Larasnya diputar dan memiliki finishing, dengan ornamen perak dan emas.[21] Untuk membuat larasnya yang panjang, penduduk pribumi menggunakan potongan besi 18 inci (46 cm) yang awalnya dilubangi dengan lubang kecil, kemudian dilas bersama pada batang besi lurus. Seluruh laras kemudian dibor dengan bor yang ukurannya secara bertahap meningkat, dan dalam tiga hari pengeborannya selesai.[41]
Untuk senjata api yang menggunakan mekanisme flintlock, penduduk kepulauan Nusantara bergantung pada kekuatan Barat, karena tidak ada pandai besi lokal yang dapat menghasilkan komponen rumit seperti itu.[42][21][43] Senjata api flintlock ini adalah senjata yang sama sekali berbeda dan dikenal dengan nama lain, yaitu senapan atau senapang, yang berasal dari kata Belanda snappaan.[15] Daerah pembuatan senjata di Nusantara dapat membuat senjata jenis ini, laras dan bagian kayunya dibuat secara lokal, tetapi mekanismenya diimpor dari pedagang Eropa.[5][21][43] Orang Jawa termasuk yang paling awal memodernisasi: Setelah VOC mulai mengganti senapan matchlock menjadi senapan flintlock pada tahun 1680-an, orang Jawa sudah memintanya pada tahun 1690-an. Senapan flintlock mulai bermunculan di gudang senjata Jawa pada awal 1700 M.[18]
Galeri
[sunting | sunting sumber]-
Senjata dari Sumatra tengah, termasuk sebuah istinggar.
-
Bagian-bagian dari mekanisme snap matchlock sebuah istinggar.
-
Bagian-bagian dari mekanisme snap matchlock sebuah istinggar.
-
Senjata orang Jawa, termasuk sebuah istinggar Bali (1,9 m panjangnya) di kiri gambar.
-
Senjata orang Jawa, diantaranya tombak, istinggar (kiri), dan senapan (kanan).
Lihat juga
[sunting | sunting sumber]Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ Andaya, L. Y. 1999. Interaction with the outside world and adaptation in Southeast Asian society 1500–1800. In The Cambridge history of southeast Asia. ed. Nicholas Tarling. Cambridge: Cambridge University Press, 345–401.
- ^ a b c Hasbullah, Wan Mohd Dasuki Wan (September 2013). "Teknologi Istinggar Beberapa Ciri Fizikal dalam Aplikasi Teknikalnya". International Journal of the Malay World and Civilisation (IMAN). 1: 51–59.
- ^ Wan Hasbullah, Wan Mohd Dasuki (4 April 2019). Istinggar dalam Manuskrip Melayu: Tradisi Ilmu dan Teknologi Minangkabau. Pusat Dagangan Dunia Putra (PWTC), Kuala Lumpur. A workshop paper in Wacana Manuskrip Melayu Siri 1 (2019).
- ^ Crawfurd, John (1852). A Grammar and Dictionary of the Malay Language: With a Preliminary Dissertation (dalam bahasa Inggris). 2. Smith, Elder.
- ^ a b c d Hasbullah, Wan Mohd Dasuki Wan (2014). "Manuskrip Ilmu Bedil Sebagai Sumber Etnosejarah Teknologi Senjata Api Melayu". Jurnal Kemanusiaan. 21: 53–71.
- ^ Gibson-Hill, C. A. (July 1953). "Notes on the old Cannon found in Malaya, and known to be of Dutch origin". Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society. 26: 145–174 – via JSTOR.
- ^ Nugroho, Irawan Djoko (2011). Majapahit Peradaban Maritim. Suluh Nuswantara Bakti. ISBN 978-602-9346-00-8.
- ^ Wilkinson, Richard James (1961). An Abridged Malay-English Dictionary (Romanised). Рипол Классик. ISBN 9785878813563.
- ^ Potet, Jean-Paul G. (2016). Tagalog Borrowings and Cognates.
- ^ Iskandar, Teuku (1958). De Hikajat Atjeh. Gravenhage: KITLV. hlm. 175.
- ^ a b Newbold, Thomas John (1971). Political and statistical account of the British settlements in the Straits of Malacca volume 2. Singapore: Oxford University Press.
- ^ Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (1779). Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap der Kunsten en Wetenschappen. Museum of Comparative Zoology Harvard University. Batavia: Egbert Heemen.
- ^ Mayers (1876). "Chinese explorations of the Indian Ocean during the fifteenth century". The China Review. IV: h. 178.
- ^ Manguin, Pierre-Yves (1976). "L'Artillerie legere nousantarienne: A propos de six canons conserves dans des collections portugaises". Arts Asiatiques. 32: 233–268.
- ^ a b Crawfurd, John (1856). A Descriptive Dictionary of the Indian Islands and Adjacent Countries. Bradbury and Evans.
- ^ a b Tiaoyuan, Li (1969). South Vietnamese Notes. Guangju Book Office.
- ^ de Barros, João (1552). Primeira decada da Asia. Lisboa.
- ^ a b Charney, Michael (2004). Southeast Asian Warfare, 1300-1900. BRILL. ISBN 9789047406921.
- ^ Hasbullah, Wan Mohd Dasuki Wan (2020). Senjata Api Alam Melayu. Dewan Bahasa dan Pustaka.
- ^ a b c Daehnhardt, Rainer (1994). The Bewitched Gun: The Introduction of the Firearm in the Far East by the Portuguese; Espingarda Feiticeira: A Introducao Da Arma De Fogo Pelos Portugueses No Extremo-Oriente. Texto Editora..
- ^ a b c d Egerton, W. (1880). An Illustrated Handbook of Indian Arms. W.H. Allen.
- ^ Birch, Walter de Gray (1875). The Commentaries of the Great Afonso Dalboquerque, Second Viceroy of India, translated from the Portuguese edition of 1774 volume 3. London: The Hakluyt Society.
- ^ Reid, Anthony (1993). Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680. Volume Two: Expansion and Crisis. New Haven and London: Yale University Press.
- ^ a b Charney, Michael (2012). Iberians and Southeast Asians at War: the Violent First Encounter at Melaka in 1511 and After. In Waffen Wissen Wandel: Anpassung und Lernen in transkulturellen Erstkonflikten. Hamburger Edition.
- ^ a b Reid, Anthony (1989). The Organization of Production in the Pre-Colonial Southeast Asian Port City. In Broeze, Frank (Ed.), Brides of the Sea: Asian Port Cities in the Colonial Era (pp. 54–74). University of Hawaii Press.
- ^ Furnivall, J. S. (2010). Netherlands India: A Study of Plural Economy. Cambridge University Press. Halaman 9: "when Portuguese first came to Malacca they noticed a large colony of Javanese merchants under its own headman; the Javanese even founded their own cannon, which then, and for long after, were as necessary to merchant ships as sails."
- ^ "Firearms and Artillery in Pre-Colonial Vietnam « Seven Stars Trading Company" (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-10-01. Diakses tanggal 2020-10-03.
- ^ a b c Gardner, G. B. (1936). Keris and Other Malay Weapons. Singapore: Progressive Publishing Company.
- ^ Charney, Michael (2004). Southeast Asian Warfare, 1300-1900. BRILL. ISBN 9789047406921.
- ^ "Fine Malay matchlock musket | Mandarin Mansion". www.mandarinmansion.com (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 Februari 2020. Diakses tanggal 2020-08-23.
- ^ a b c d Marsden, William (1811). The History of Sumatra, containing an account of the government, laws, customs, and manners of the native inhabitants. Longman, Hurst, Rees, Orme, and Brown.
- ^ William, Marsden (1783). The history of Sumatra : containing an account of the government, laws, customs, and manners of the native inhabitants, with a description of the natural production, and a relation of the ancient political state of that island. London: W. Marsden.
- ^ a b Putra, Yudhistira Dwi (25 April 2018). "Bedil di Ujung Sejarah Senjata Api Melayu". Era Indonesia. Diakses tanggal 12 February 2020. [pranala nonaktif permanen]
- ^ Noteboom, Christiaan (1952). "Galeien in Azië". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 108: 365–380.
- ^ a b c Tarling, Nicholas, ed. (1992). The Cambridge History of Southeast Asia: Volume One, From Early Times to c. 1800. Cambridge University Press. ISBN 0521355052.
- ^ a b Bourne, Edward Gaylord (2005). The Philippine Islands, 1493-1898 — Volume 16 of 55, year 1609.
- ^ Gervaise, Nicolas (1701). An Historical Description of the Kingdom of Macasar in the East Indies. London: Printed for Tho. Leigh and D. Midwinter.
- ^ Scott, William Henry (1978). "Cracks in the Parchment Curtain". Philippine Studies. 26: 174–191.
- ^ Scott, William Henry (1994). "Chapter 12 - Tagalog Society and Religion". Barangay: Sixteenth-century Philippine Culture and Society (dalam bahasa Inggris). Ateneo University Press. hlm. 232. ISBN 9789715501354.
The Bornean arquebus (astingal) was also known, but the Spaniards seem never to have faced any in Luzon encounters as they did in Mindanao.
- ^ Schoppert, Peter; Damais, Soedarmadji (2012). Java Style. With photographs by Tara Sosrowardoyo. Editions Didier Millet. hlm. 33–34. ISBN 9789814260602.
- ^ Wallace, Alfred Russel (1872). The Malay Archipelago: The Land of the Orang-utan and the Bird of Paradise : a Narrative of Travel, with Studies of Man and Nature 4th edition. Macmillan.
- ^ Raffles, Sir Thomas Stamford (1830). The History of Java, Volume 2. Java: J. Murray.
- ^ a b Tarling, Nicholas, ed. (1999). The Cambridge History of Southeast Asia (dalam bahasa Inggris). Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-66370-0.