[go: up one dir, main page]

Lompat ke isi

Diri sejati dan diri palsu

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Diri sejati (Inggris: true self, disebut juga sebagai diri otentik) dan diri palsu (Inggris: false self, disebut juga sebagai diri ideal dan diri semu) adalah konsep psikologis dengan basis psikoanalisis yang diperkenalkan oleh Donald Winnicott pada tahun 1960.[1] Winnicott menggambarkan diri sejati sebagai perasaan atas pengalaman otentik-spontan, penuh energi, dan menjadi diri yang sebenarnya.[2] Sebaliknya, diri palsu mengacu pada fasad defensif,[1] yang dalam kasus ekstrim dapat membuat individu yang bersangkutan bertindak kurang spontan dan merasa kosong dibalik tampilan luarnya yang terlihat normal.[1]

Konsep ini kerap dikaitkan dengan narsisme.

Karakteristik

[sunting | sunting sumber]

Winnicott berpendapat bahwa diri sejati telah ada sejak masa bayi, tepatnya ketika individu merasakan pengalaman hidup untuk pertama kalinya. Pengalaman itu meliputi peristiwa pemompaan darah dan pernapasan, yang disebut Winnicott sebagai "menjadi makhluk".[1] Bermula dari fase itu, bayi menciptakan sebuah realitas bahwa hidup layak untuk dijalani. Sementara itu, gerak-gerik bayi yang spontan dan nonverbal berasal dari indera naluriahnya. Apabila gerakan tersebut direspons oleh orang tua, maka hal tersebut akan menjadi landasan perkembangan dari diri sejati bayi tersebut.[1]

Winnicott mengatakan apabila pengasuhan yang cukup baik[3] tidak tersedia, maka respons bayi akan mengarah ke usaha pemenuhan ekspektasi (harapan) orang tuanya.[4] Winnicott menyatakan bahwa situasi seperti itu akan menciptakan diri palsu. Dalam diri palsu, ekspektasi orang lain bisa menjadi sangat penting dan bertentangan dengan perasaan diri sebenarnya.[5] Winnicott lantas melihat bahaya diri palsu terkait bahwa bayi akan membentuk serangkaian hubungan yang salah melalui introjeksi (masuknya gagasan ke dalam diri seseorang secara tidak sadar) atau bahkan dengan menunjukkan perilaku yang seolah-olah nyata.[5] Namun, pada kenyatannya, apa yang dilakukan bayi hanya untuk menyembunyikan kekosongan perasaan dibalik tampilan luarnya.[4]

Diri palsu sangatlah berbahaya karena bayi dipaksa menyelaraskan kehendak ibu atau orang tuanya dan membangun pengenalan objek yang impersonal.[6] Walau begitu, Winnicott tetap menganggap diri palsu juga penting, khususnya untuk mencegah situasi yang lebih buruk terkait hilangnya diri sejati yang tersembunyi.[3]

Prekursor

[sunting | sunting sumber]

Winnicott menggunakan beragam teori psikoanalisis untuk menjelaskan fenomena diri palsu. Sedangkan, Helene Deutsch menyebut diri palsu sebagai kepribadian "seolah-olah" (as if), di mana hubungan semu dapat menggantikan perasaan atau respons sebenarnya.[7] Joan Riviere selaku analis mengeksplorasi konsep penyamaran narsisis, sebuah pembenaran yang menyembunyikan upaya pengontrolan sesuatu.[3] Sigmund Freud dalam teori "ego sebagai produk identifikasi"[8] nyaris memandang diri palsu sebagai diri palsu itu sendiri.[6] Sedangkan, perbedaan diri sejati dan palsu milik Winnicott telah dibandingkan dengan teori Michael Balint tentang "kesalahan dasar" dan gagasan Ronald Fairbairn tentang "ego yang dikompromikan".[9]

Dalam bukunya yang berjudul "The Fear of Freedom",[10] Erich Fromm membedakan diri asli dan diri semu. Fromm menyatakan bahwa diri semu sebetulnya adalah manifestasi individu untuk terbebas dari ketiadaan kebebasan. Jauh sebelum gagasan itu, eksistensialis seperti Kierkegaard telah menegaskan bahwa keinginan untuk menjadi diri yang sebenarnya adalah kebalikan dari keputusasaan. Dalam hal ini, keputusasaan berarti memilih "menjadi lain dari dirinya sendiri".[11]

Karen Horney dalam bukunya "Neurosis and Human Growth" (1950) menilai bahwa diri sejati dan diri palsu merupakan upaya perbaikan diri. Ia menggambarkan bahwa diri sejati adalah tentang menjadi dirinya sendiri, sementara diri palsu (diri ideal) adalah tentang menjadi sosok yang diharapkan.[12]

Perkembangan selanjutnya

[sunting | sunting sumber]

Pada paruh kedua abad ke-20, ide-ide Winnicott telah dieksplorasi dan diterapkan dalam berbagai konteks, baik dalam psikoanalisis maupun bidang lainnya.[13]

Kohut mengeksplorasi teori Winnicott dengan penelitiannya mengenai narsisme.[13] Kohut berpendapat bahwa narsistik sebetulnya adalah bagian dari pertahanan di dalam diri individu yang rentan.[14] Ia beranggapan bahwa kerentanan diri memicu seseorang untuk menginternalisasi kepribadian eksternal atas diri sebenarnya.[15]

Alexander Lowen menggambarkan narsistik sebagai individu yang memiliki diri sejati maupun palsu. Ia menjelaskan bahwa diri palsu hanyalah tampilan luar yang ditunjukkan kepada orang lain. Sementara, diri sejati berada di balik fasad atau citra. Diri sejati didefinisikan sebagai perasaan diri yang sejati. Namun, bagi seorang narsistik hal itu perlu disembunyikan dan ditolak. Ketika diri palsu dianggap mewakili kepatuhan dan kesesuaian, maka batin atau diri sejati memberontak dan marah. Pemberontakan dan kemarahan ini tak pernah dapat dibendung karena hal itu merupakan ekspresi dari kekuatan hidup dalam diri individu yang bersangkutan. Namun, adanya penyangkalan membuat ekspresi ini tak bisa diungkapkan secara langsung. Sehingga, ekspresi tersebut muncul sebagai akting narsistik dan suatu saat bisa menjelma menjadi dorongan untuk menentang.[16]

Masterson

[sunting | sunting sumber]

James F. Masterson mengungkapkan bahwa seluruh gangguan kepribadian secara khusus terkait dengan konflik diri sejati dan diri palsu. Diri palsu digambarkan sebagai sebuah perasaan yang dibangun oleh anak-anak untuk menyenangkan ibu atau orang tuanya. Dalam rangka mengembalikan hubungan individu dengan diri mereka sebenarnya, maka dapat dilakukan psikoterapi gangguan kepribadian.[17]

Symington

[sunting | sunting sumber]

Symington memperluas teori Winnicott dengan menyoroti bahwa diri sejati dan diri palsu dibedakan secara jelas melalui usaha untuk mengelabui sumber tindakan pribadi. Terutama pada diri palsu yang berakar dari internalisasi pengaruh dan tekanan eksternal.[18] Misalnya, harapan orang tua tentang pemuliaan diri mereka melalui prestasi anaknya dapat diinternalisasikan sebagai sumber tindakan yang bertentangan.[19] Symington menekankan bahwa elemen yang disengaja dalam individu ini dapat meninggalkan diri palsu atau topeng narsistik, yang sebelumnya telah diabaikan oleh Winnicott.[18]

Sebagai upaya peningkatan profil pribadi,[20] Sam Vaknin selaku profesor psikologi, menyoroti peran diri palsu dalam narsisme. Diri palsu dibentuk pelaku narsistik untuk menggantikan diri sejati dan melindunginya dari luka batin maupun ego narsistiknya. Individu tersebut akan menganggap dirinya sebagai si maha benar. Seorang narsistik akan berpura-pura bahwa diri palsunya itu nyata dan menuntut agar orang lain mengamini omong kosong ini, sementara ia sendiri sedang menyembunyikan ketidaksempurnaannya.[21]

Vaknin berpendapat bahwa bagi seorang narsistik, diri palsu itu lebih penting dibandingkan diri sejatinya yang rapuh dan disfungsional. Vaknin menambahkan bahwa ia tidak yakin bahwa diri sejati dapat dihidupkan kembali melalui terapi.[22]

Alice Miller mengingatkan bahwa seorang anak (pasien kepribadian) bisa jadi tak memiliki diri sejati dan justru berada di balik fasad (citra) diri palsu.[23] Oleh sebab itu, Miller berpendapat bahwa membebaskan diri sejati nyatanya tak sesederhana gambaran Winnicott tentang kupu-kupu yang berhasil keluar dari kepompongnya.[14] Namun, apabila diri sejati dapat ditanamkan kembali, maka Miller beranggapan bahwa kemulukan kosong dari diri palsu dapat menjadi jalan masuknya bagi otonomi perasaan yang baru.[23]

Susie Orbach menggambarkan diri palsu sebagai tekanan orang tua yang menyebabkan hilangnya potensi diri secara penuh, sehingga berdampak pada ketidakpercayaan diri terhadap apa yang muncul secara spontan dari individu itu sendiri.[24] Orbach mengeksplorasi teori Winnicott dengan melihat bahwa kegagalan lingkungan dapat menyebabkan pertentangan batin atas pikiran dan tubuh yang menimbulkan diri palsu itu sendiri.[25] Orbach menilai bahwa diri palsu wanita seringkali dibangun di atas identifikasi orang lain dengan mengorbankan diri sebenarnya dan batinnya. Ketika perasaan diri yang monolitik itu hancur selama proses terapi, maka akan berakibat pada kemunculan berbagai perasaan diri yang otentik (bahkan jika seringkali menyakitkan) pada pasien.[24]

Teori kepribadian Jungian

[sunting | sunting sumber]

Jungian telah menyelidiki tumpang tindih antara konsepnya mengenai kepribadian dan teori diri palsu milik Winnicott.[26] Menurutnya, hal yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa hanya kepribadian defensif yang tergolong paling kaku dan mendekati status patologis diri palsu.[27]

Diri tripartit Stern

[sunting | sunting sumber]

Daniel Stern berpendapat bahwa gagasan Winnicott tentang "going on being" adalah inti dari diri pra-verbal.[28] Ia juga meneliti bagaimana bahasa mendorong rasa diri yang salah dan melepaskan diri sejati yang secara linguistik rendah dan tidak diakui.[28] Stern berujar bahwa bagaimanapun ini terkait tiga hal: sosial, pribadi, dan diri yang diingkari.[1]

Neville Symington mengkritik Winnicott karena gagal mengintegrasikan diri palsu dengan teori ego dan id.[18] Selain itu, Jean-Bertrand Pontalis selaku analis kontinental, menggunakan diri sejati dan palsu sebagai perbedaan klinis, tetapi justru mengalami keraguan terhadap status teoretisnya.[29]

Filsuf Michel Foucault mengeksplorasi konsep diri sejati dengan anti esensialisme. Ia menyatakan bahwa diri adalah sebuah konstruksi yang perlu dikembangkan melalui proses subjektifikasi (estetika pembentukan diri) dan bukan tentang sesuatu yang menunggu untuk ditemukan.[30] Fourcault mengatakan bahwa individu perlu membangun dirinya sendiri layaknya sebuah karya seni.[31]

Contoh sastra

[sunting | sunting sumber]
  • Wuthering Heights, sebuah novel yang mengusung perjuangan diri sejati guna melampaui aturan diri konvensional.[32]
  • Dalam novel "I Never Promised You a Rose Garden", pahlawan wanita melihat kepribadian luarnya sebagai hantu Semblance belaka, di mana diri sejatinya tersembunti dibalik tampilannya.[33]
  • Puisi Sylvia Plath yang memuat konflik antara diri sejati dan diri palsu.[34]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c d e f Winnicott, D. W. (1960). Ego distortion in terms of true and false self (PDF). New York: International Universities Press. hlm. 2–10. 
  2. ^ Akhtar, Salman (2009). Good feelings : psychoanalytic reflections on positive emotions and attitudes. London: Karnac. hlm. 128. ISBN 9781849407991.  [pranala nonaktif permanen]
  3. ^ a b c Kanter, Joel (2000). "The Untold Story of Clare and Donald Winnicott: How Social Work Influenced Modern Psychoanalysis". Clinical Social Work Journal. 28 (3): 245–261. doi:10.1023/A:1005179617180. 
  4. ^ a b Minsky, Rosalind (1996). Psychoanalysis and Gender. London: Routledge. hlm. 118. ISBN 978-0415092210. 
  5. ^ a b Brower, Tracy (2021). "Missing Your People: Why Belonging Is So Important And How To Create It". Forbes (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 11 Maret 2022. 
  6. ^ a b Phillips, Adam (1993). On kissing, tickling, and being bored. USA: Harvard University Press. hlm. 30–31. ISBN 9780571170104. 
  7. ^ Fenichel, Otto (1946). The Psychoanalytic Theory Of Neurosis. London: Routledge. hlm. 1–774. ISBN 978-0393038903. 
  8. ^ Lacan, Jacques (1980). Ecrits: A Selection. London: Tavistock Publications. hlm. 128. ISBN 9780393325287. 
  9. ^ Cherry, Kendra (2022). "Sigmund Freud's Psychoanalytic Theories in Psychology". Verywell Mind (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 11 Maret 2022. 
  10. ^ Erich, Fromm (1942). The Fear of Freedom. London: Routledge. hlm. 175. ISBN 9780710046031. 
  11. ^ Rogers, Carl R. (1961). On becoming a person; a therapist's view of psychotherapy. Boston: Houghton Mifflin. hlm. 110. ISBN 978-0-395-08134-1. 
  12. ^ Horney, Karen (1950). Neurosis and human growth; the struggle toward self realization. Internet Archive. New York: Norton. hlm. 20. ISBN 978-0393001358. 
  13. ^ a b Souza, Juliana Martins de; Veríssimo, Maria de La Ó Ramallo (2015). "Child development: analysis of a new concept" (PDF). Revista Latino-Americana de Enfermagem. 23 (6): 1097–1104. doi:10.1590/0104-1169.0462.2654. ISSN 0104-1169. PMC 4664010alt=Dapat diakses gratis. PMID 26626001. 
  14. ^ a b Malcolm, Janet (1981). Psychoanalysis, the impossible profession. New York: Knopf. hlm. 136. ISBN 978-0-394-52038-4. 
  15. ^ Kohut, Heinz; Goldberg, Arnold; Stepansky, Paul E. (1984). How does analysis cure?. Chicago: University of Chicago Press. hlm. 167. ISBN 978-0-226-45034-6. 
  16. ^ Lowen, Alexander (1985). Narcissism : denial of the true self. New York: Collier Books. hlm. 1–260. ISBN 978-0-02-077290-3. 
  17. ^ Fox, Margalit (2010). "Dr. James Masterson, expert on personality disorders; at 84". Boston Globe. Diakses tanggal 11 Maret 2022. 
  18. ^ a b c Symington, Neville (1993). Narcissism: A New Theory. London: Routledge. hlm. 36–115. ISBN 9781855750470.  [pranala nonaktif permanen]
  19. ^ Young-Eisendrath, Polly (1999). Women and desire : beyond wanting to be wanted. New York: Harmony Books. hlm. 112–198. ISBN 978-0-609-60371-0. 
  20. ^ Cichminski, Lucille; Bellomo, Tamara L. (2016). "Narcissistic personality disorder: When it's all about "me"". Nursing Made Incredibly Easy! (dalam bahasa Inggris). 14 (1): 36–42. doi:10.1097/01.NME.0000475165.10782.87. ISSN 1544-5186. 
  21. ^ Neuharth, Dan (2019). "The Frustrating Double Standards of Narcissists | Psychology Today". Psychology Today (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 11 Maret 2022. 
  22. ^ Sam Vaknin (2001). Malignant Self-love: Narcissism. New York: Narcissus Publishing. hlm. 20. ISBN 9788023833843. 
  23. ^ a b Alice Miller (1994). The drama of the gifted child. Internet Archive. London: BasicBooks. hlm. 21. ISBN 978-0-465-01693-8. 
  24. ^ a b Orbach, Susie (2009). Bodies. New York: Picador. hlm. 67. ISBN 978-0-312-42720-7. 
  25. ^ Orbach, Susie (2005). The impossibility of sex. New York: Karnac Books. hlm. 48. ISBN 9781855753334.  [pranala nonaktif permanen]
  26. ^ Jacoby, Mario (1996). Shame and the Origins of Self-Esteem: A Jungian Approach. London: Routledge. hlm. 59–60. ISBN 9780415105804.  [pranala nonaktif permanen]
  27. ^ Jones, Raya A. (2013). "Jung's "Psychology with the Psyche" and the Behavioral Sciences". Behavioral Sciences. 3 (3): 408–417. doi:10.3390/bs3030408. ISSN 2076-328X. PMC 4217588alt=Dapat diakses gratis. PMID 25379245. 
  28. ^ a b Stern, Daniel N. (1985). The interpersonal world of the infant. London: Basic Books. hlm. 93–227. ISBN 978-0-465-03403-1. 
  29. ^ Wheelis, Joan; Gunderson, John G. (1998). "A Little Cream and Sugar: Psychotherapy With a Borderline Patient". American Journal of Psychiatry. 155 (1): 114–122. doi:10.1176/ajp.155.1.114. ISSN 0002-953X. 
  30. ^ Foucault, Michel (2010). The Foucault reader. New York: Vintage Books. hlm. 362. ISBN 978-0-394-71340-3. 
  31. ^ Latimer, Dan (1989). Contemporary critical theory. San Diego: Harcourt Press. hlm. 196. ISBN 978-0-15-513494-2. 
  32. ^ Schapir, Barbara A (1993). Literature and the Relational Self. New York: NYU Press. hlm. 52. ISBN 9780814779699.  [pranala nonaktif permanen]
  33. ^ Greenberg, Joanne (1965). I Never Promised You a Rose Garden (dalam bahasa English). New York: Signet. hlm. 104–117. ISBN 978-0-451-13136-2. 
  34. ^ Kroll, Judith (1978). Chapters in a mythology : the poetry of Sylvia Plath. New York: Harper. hlm. 182–184. ISBN 978-0-06-090589-7.