Bahasa Cirebon
Bahasa Cirebon BPS: 0084 2
Basa Cêrbon | |||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Dituturkan di | Indonesia | ||||||||||
Wilayah | Rebana,[a][1][2] Kabupaten Karawang dan Sumedang bagian utara (Jawa Barat)[1][3][4] Losari, Kabupaten Brebes (Jawa Tengah)[5] | ||||||||||
Etnis | Cirebon | ||||||||||
Penutur | 1.877.514 jiwa (suku Cirebon; 2010) 3.086.721 jiwa (penutur bahasa Cirebon; 2010)[6] | ||||||||||
| |||||||||||
| |||||||||||
Status resmi | |||||||||||
Diatur oleh | Lembaga Basa lan Sastra Cirebon | ||||||||||
Kode bahasa | |||||||||||
ISO 639-3 | – | ||||||||||
LINGUIST List | jav-cir | ||||||||||
Glottolog | cire1240 [9] | ||||||||||
BPS (2010) | 0084 2 | ||||||||||
| |||||||||||
Lokasi penuturan | |||||||||||
Lokasi penuturan Bahasa Cirebon | |||||||||||
Peta yang menunjukkan perkiraan penuturan bahasa Cirebon di wilayah Kawasan Metropolitan Cirebon-Patimban-Kertajati dan sekitarnya |
|||||||||||
Portal Bahasa | |||||||||||
Bahasa Cirebon[10][11][12] (dieja oleh penuturnya sebagai basa Cêrbon[b]) atau disebut juga sebagai Bahasa Jawa Cirebon[c] adalah bahasa yang dituturkan di pesisir utara Jawa Barat terutama mulai daerah Pedes hingga Cilamaya Kulon dan Wetan di Kabupaten Karawang, Blanakan, Pamanukan, Pusakanagara, sebagian Ciasem, dan Compreng di Kabupaten Subang, Ligung, Jatitujuh, dan sebagian Sumberjaya, Dawuan, Kasokandel, Kertajati, Palasah, Jatiwangi,[1] Sukahaji, Sindang,[13] Leuwimunding, dan Sindangwangi di Kabupaten Majalengka sampai Kota dan kabupaten Cirebon (kecuali bagian selatan) serta Losari Timur di Kabupaten Brebes di Provinsi Jawa Tengah.[14] Bahasa Cirebon juga dipergunakan bersama bahasa Sunda di wilayah Surian, kabupaten Sumedang.[4]
Berdasarkan Sensus Penduduk 2010, bahasa Cirebon dituturkan oleh 3.086.721 jiwa penduduk Indonesia usia 5 tahun ke atas. Ia menduduki peringkat ke-11 bahasa yang paling banyak dituturkan oleh penduduk Indonesia setelah bahasa Jawa, bahasa Indonesia, bahasa Sunda, bahasa Melayu, bahasa Madura, bahasa Minangkabau, bahasa Banjar, bahasa Bugis, bahasa Bali, dan bahasa Batak.[6] Pengembangan bahasa Cirebon dilakukan oleh Lembaga Basa lan Sastra Cirebon (LBSC).
Pengaruh
[sunting | sunting sumber]Bahasa Cirebon sebagian besar kosakatanya dipengaruhi oleh bahasa Jawa Sansekerta, yaitu sekitar 80% sehingga bahasa Cirebon disebut sebagai bahasa Sanskerta kontemporer, kosakata serapan bahasa Sanskerta diantaranya adalah ingsun (saya) dan cemera (anjing)[15]
Pada abad ke-15-17 M, bahasa Cirebon telah digunakan dalam tuturan warga pesisir utara Pulau Jawa bagian barat, di wilayah yang sekarang menjadi Kabupaten dan Kota Cirebon, yang saat itu merupakan salah satu pelabuhan utama di Pulau Jawa. Bahasa Cirebon dipengaruhi oleh bahasa Sunda karena keberadaannya yang berbatasan langsung dengan kebudayaan Sunda, khususnya kebudayaan Sunda di Kuningan dan di Majalengka, bahasa Cirebon juga menyerap kosakata dari bahasa-bahasa asal Tiongkok, Timur Tengah, dan Eropa. Contoh kosakata serapannya antara lain: taocang ('kuncir') dari bahasa Tionghoa, bakda ('setelah') dari bahasa Arab, dan sonder ('tanpa')[11] dari bahasa Belanda. Bahasa Cirebon mempertahankan bentuk-bentuk kuno seperti ingsun (saya) dan sira (kamu) dalam bahasa sehari-hari.
Pada masa Amangkurat II berkuasa di Mataram, bahasa Cirebon menurut Nurdin Noer tidak dipengaruhi oleh bahasa Jawa[15]. Pada masa itu kosakata dari bahasa Sanskerta masih dipergunakan untuk percakapan sehari-hari masyarakat Cirebon[15].
Sastra Cirebonan merupakan bagian dari Sastra Pesisiran yang berkembang di sepanjang pantai utara pulau Jawa. Beberapa ahli[siapa?] percaya bahwa Sastra Cirebonan dalam bentuk tulisan telah ada sejak zaman Hindu Awal, dan telah mempengaruhi kebudayaan masyarakat di Jawa[butuh rujukan]. Sebagai pengaruh budaya Hindu, dapat ditemui dua macam karya Sastra Cirebonan, yang disebut tembang gedhé dan tembang tengahan. Setelah Cirebon menjadi pusat penyebaran agama Islam oleh walisanga sekitar abad ke-14-15 M, muncul tembang cilik, yang oleh kebanyakan orang disebut tembang macapat. Setelah beberapa hasil karya sastra telah selesai ditulis, banyak cerita sejarah atau legenda menyebar ke masyarakat melalui komunikasi (tatap muka).[16]
Pada masa lalu, di kota Cirebon padatnya aktivitas pelabuhan menarik banyaknya urbanisasi kelompok masyarakat dari wilayah sekitarnya termasuk dari Indramayu, Losari dan Brebes yang notabene sebagiannya merupakan wilayah suku Sunda dan suku Jawa selain itu di sekitar pelabuhan Cirebon juga dapat ditemukan kelompok-kelompok masyarakat suku Bugis, suku Madura, pendatang China dan warga keturunan Arab yang pada akhirnya telah menjadikan wilayah ini beragam secara adat maupun bahasa, pada pola kehidupan di sekitar pelabuhan, bahasa Cirebon telah menjadi bahasa ater-ater (bahasa Indonesia: bahasa pengantar) pada pergaulan di berbagai kalangan masyarakatnya, bahkan ketika terjadi penurunan aktivitas pelabuhan Cirebon pada era modern dengan tidak lagi berhentinya kapal Pelni di pelabuhan Cirebon dan pelabuhan hanya dijadikan tempat bongkar batubara dari Kalimantan saja yang notabene menurunkan tingkat interaksi berbagai kelompok masyarakat yang ada, bahasa Cirebon tetap dan telah menjadi bahasa ater-ater yang dominan pada wilayah tersebut.[17]
Berdasarkan Sensus Penduduk 2010, bahasa Cirebon dituturkan oleh 3.086.721 jiwa penduduk Indonesia usia 5 tahun ke atas. Ia menduduki peringkat ke-11[6],[18] bahasa yang paling banyak dituturkan oleh penduduk Indonesia setelah bahasa Indonesia, bahasa Jawa umum, bahasa Sunda, bahasa Melayu, bahasa Madura, bahasa Minangkabau, bahasa Banjar, bahasa Bugis, bahasa Bali, dan bahasa Batak.[6] Pengembangan bahasa Jawa Cirebon dilakukan oleh Lembaga Basa lan Sastra Cirebon (LBSC).
Proses penyebaran
[sunting | sunting sumber]Bahasa Cirebon dalam proses penyebarannya ada yang melalui kegiatan belajar-mengajar di pesantren, hal tersebut dikarenakan pada masa lalu penyebaran agama Islam di wilayah Pasundan dipercaya dibawa dari wilayah kesultanan Cirebon sehingga untuk menghormati sejarah penyebaran Islam yang dibawa dari Cirebon inilah para ulama utamanya di wilayah Kuningan dan Majalengka ketika mengkaji ilmu agama selalu menggunakan bahasa Cirebon ketika menyampaikan arti dari makna kata (hafsahan) yang sedang diajarkan ketimbang bahasa Sunda[19]
Pada proses penyebaran seperti yang terjadi di pesantren Darul Hikmah yang berlokasi di Tanjungkerta, kabupaten Sumedang. Pesantren yang didirikan pada tahun 1927 oleh kyai Nahrowi ini menggunakan bahasa Sunda dan bahasa Cirebon (pada masa itu masih disebut sebagai bahasa Jawa Cirebon) sebagai bahasa pengantarnya[20], hal tersebut dikarenakan pada masa lalu kyai Nahrowi pernah menjadi santri di Cirebon tepatnya di pesantren Babakan Ciwaringin, sehingga mempengaruhi cara pengajaran ia yang menggunakan dua bahasa (bahasa Sunda dan bahasa Cirebon)[20].
Proses penyebaran bahasa Cirebon lainnya adalah melalui jalur kesenian, berbagai kesenian seperti Reog cirebonan (sebuah bentuk kesenian yang dimainkan oleh empat orang pria yang membawa dogdog (kendang yang hanya ditutup satu sisinya) dan diisi oleh komedi atau lawak), Ogel (Reog cirebonan yang dimainkan oleh wanita), Longser (teater rakyat yang berisi tarian dan komedi dengan diiringi oleh gamelan), Gonjring (pertunjukan akrobat), wayang kulit dan wayang menak dipertunjukan dengan menggunakan bahasa Cirebon[21]
Penyebaran bebasan Cirebon
[sunting | sunting sumber]Pada masa DI/TII para anggotanya yang berasal dari Cirebon menggunakan bahasa Cirebon Bagongan yang biasa digunakan sehari-hari untuk membedakan mereka dengan penduduk Cirebon yang bukan anggota DI/TII, mengetahui kejadian ini seorang tokoh Cirebon berinisiatif untuk menyebarluaskan Bebasan Cirebon kepada masyarakat dengan tujuan tidak terjadi salah faham di masyarakat[15]
Upaya perlindungan
[sunting | sunting sumber]Proses perlindungan penggunaan bahasa Cirebon telah diupayakan sejak dahulu termasuk pada masa awal kemerdekaan. Pada kongres Jawa Barat yang ketiga, tepatnya di Kota Bandung tanggal 23 Februari 1948[22] (namun menurut Dayat Suryana dalam bukunya yang berjudul Provinsi-Provinsi di Indonesia, peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 28 Februari 1948).[23] Salah satu perwakilan warga Jawa Barat dari suku Sunda yaitu bapak Soeria Kartalegawa yang juga ketua Partai Rakyat Pasundan (PRP) mengusulkan supaya pembicaraan dalam rapat badan perwakilan tersebut (Kongres Jawa Barat) dibolehkan mempergunakan bahasa Sunda, namun belakang usulan tersebut segera disanggah oleh perwakilan masyarakat Jawa Barat lainnya dari suku Cirebon yaitu bapak Soekardi, bapak Soekardi mencetuskan;
“Djika dibolehkan berbitjara dalam bahasa Soenda, orang-orang yang berhasrat memakai bahasa daerah lainnya poen haroes diizinkan, oempamanja bahasa daerah Tjirebon.”[22]
Klasifikasi
[sunting | sunting sumber]Bahasa Cirebon sebagai sebuah dialek dari bahasa Jawa
[sunting | sunting sumber]Penelitian menggunakan angket sebagai indikator pembanding kosakata anggota tubuh dan budaya dasar ("makan", "minum", dan sebagainya) berlandaskan metode Guiter menunjukkan perbedaan kosa kata Bahasa Cirebon dengan Bahasa Jawa di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta mencapai 75%, sementara perbedaannya dengan dialek di Jawa Timur mencapai 76%.[24],[25] Untuk diakui sebagai sebuah bahasa tersendiri, suatu bahasa setidaknya membutuhkan sekitar 80% perbedaan dengan bahasa terdekatnya.[24],[25]
Meski kajian linguistik sampai saat ini menyatakan bahasa Cirebon ”hanyalah” dialek (karena penelitian Guiter mengatakan harus berbeda sebanyak 80% dari bahasa terdekatnya), namun sampai saat ini Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2003 masih tetap mengakui Cirebon sebagai bahasa dan bukan sebagai sebuah dialek. Dengan kata lain, belum ada revisi terhadap Perda tersebut. Menurut Kepala Balai Bahasa Bandung, Muh. Abdul Khak, hal itu sah-sah saja karena Perda adalah kajian politik[26]. Dalam dunia kebahasaan menurutnya, satu bahasa bisa diakui atas dasar tiga hal. Pertama, bahasa atas dasar pengakuan oleh penuturnya; kedua, atas dasar politik; dan ketiga, atas dasar linguistik.
Bahasa atas dasar politik, contoh lainnya bisa dilihat dari sejarah Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia yang sebenarnya berakar dari Bahasa Melayu, seharusnya dinamakan bahasa Melayu dialek Indonesia. Namun, atas dasar kepentingan politik, akhirnya bahasa Melayu yang berkembang di negara Indonesia –oleh pemerintah Indonesia– dinamakan dan diklaim sebagai bahasa Indonesia. Selain alasan politik, pengakuan Cirebon sebagai bahasa juga bisa ditinjau dari batasan wilayah geografis dalam perda itu. Abdul Khak mengatakan, Cirebon disebut sebagai dialek jika dilihat secara nasional dengan melibatkan bahasa Jawa.
Artinya, ketika Perda dibuat hanya dalam lingkup wilayah Jabar, Cirebon tidak memiliki pembanding kuat yaitu bahasa Jawa. Apalagi, dibandingkan dengan bahasa Melayu Betawi dan Sunda, Cirebon memang berbeda.[26]
Bahasa Cirebon sebagai bahasa mandiri
[sunting | sunting sumber]Revisi Perda, sebenarnya memungkinkan dengan berbagai argumen linguistik. Namun, kepentingan terbesar yang dipertimbangkan dari sisi politik bisa jadi adalah penutur bahasa Cirebon, yang tidak mau disebut orang Jawa maupun orang Sunda[26][27]. Ketua Lembaga Basa lan Sastra Cirebon Nurdin M. Noer mengatakan, bahasa Cirebon adalah persilangan bahasa Jawa dan Sunda. Meskipun dalam percakapan orang Cirebon masih bisa memahami sebagian bahasa Jawa, dia mengatakan kosakata bahasa Cirebon terus berkembang tidak hanya ”mengandalkan” kosa kata dari bahasa Jawa maupun Sunda.
- ”Selain itu, bahasa Cirebon sudah punya banyak dialek. Contohnya saja dialek Plered, Jaware, dan Dermayon,” ujarnya.
Pakar Linguistik Chaedar Al Wasilah pun menilai, dengan melihat kondisi penutur yang demikian kuat, revisi tidak harus dilakukan. justru yang perlu dilakukan adalah melindungi bahasa Cirebon dari kepunahan.[26]
Observasi Penutur
[sunting | sunting sumber]Pada masa lalu bahasa Cirebon sering disebut sebagai bahasa Jawa Cirebon atau bahasa Jawa dialek Cirebon di mana menurut Ayatrohaedi hal tersebut merupakan sebuah kesalahan dikarenakan dalam observasinya ketika dua orang Cirebon sedang berbicara, kawannya yang merupakan orang Jawa hanya terbengong karena tidak memahami apa yang sedang dikatakan[28]
Pada sebuah observasi yang dilakukan oleh Idik Saeful Bahri dengan menyandingkan penutur bahasa Cirebon dengan penutur bahasa Jawa yang asli dari Yogyakarta di mana keduanya diperkenankan untuk berbicara dengan bahasa daerahnya masing-masing ditemukan fakta bahwa keduanya tidak saling memahami tentang apa yang sedang dibicarakan oleh lawan bicaranya dan percakapan yang sedang dilakukan menjadi tidak jelas[19]
Pendekatan Lauder dalam dialektometri
[sunting | sunting sumber]Selama ini bahasa Cirebon dianggap sebagai dialek dari bahasa Jawa dikarenakan beberapa pihak yang menginginkan Cirebon tetap menjadi bagian dari budaya Jawa hanya berpegang pada penelitian model Guiter saja yang mengharuskan perbedaan antar kedua subjek bahasa sebesar 80%, namun jika menggunakan pendekatan Lauder, pendekatan ini mengkritisi jumlah persentase yang diajukan guiter yaitu sebesar 80% karena menurut Lauder, cukup 70% saja dalam kajian dialektometri bagi sesuatu untuk dikatakan sebagai "bahasa" yang Mandiri.[29]
Lauder, sudah menggunakan metode yang lazim dan umum dilakukan dalam kajian dialektologi terhadap bahasa-bahasa di Indonesia, yaitu metode dialektometri, hanya yang menarik dari pandangannya itu ialah usulannya tentang modifikasi kategori persentase perbedaan unsur kebahasaan untuk menyebutkan suatu isolek sebagai bahasa atau dialek yang diajukan oleh Guiter, Guiter menitik beratkan perbedaan kebahasaan harus sekitar 80%[30][31]. Menurutnya, persentase untuk dianggap beberapa isolek sebagai bahasa yang berbeda, jika perbedaannya di atas 80% terlalu tinggi untuk bahasa-bahasa di Indonesia. Karena kategori kajian guiter itu dibangun di atas data bahasa-bahasa Barat (eropa dan sejenisnya), karena itu perlu dimodifikasi. Kenyatan lain, menurutnya, ialah berdasarkan hasil penelitian berbagai bahasa daerah di Indonesia memperlihatkan perbedaan antara bahasa yang satu dengan yang lainnya hanya sekitar 65%–70% saja, di mana perbedaan kosakata antara Bahasa Cirebon dengan Bahasa Jawa adalah 75-76% yang dalam pendekatan Lauder dianggap sempurna menjadi sebuah bahasa mandiri dikarenakan menurut Lauder hanya butuh 70%[29] perbedaan saja.
Aksara
[sunting | sunting sumber]Ada usul agar beberapa konten dari artikel ini dipisahkan menjadi artikel baru berjudul Rikasara Cirebon. (Diskusikan) |
Bahasa Cirebon dalam perjalanannya menggunakan aksara yang dikenal dengan nama Rikasara, Carakan Cirebon, aksara Arab Pegon serta aksara Jawi[32]. Aksara Carakan Cirebon sendiri merupakan aksara Carakan yang terpengaruh Carakam Jawa, hal ini dapat terlihat dari surat yang ditulis oleh Sultan Sepuh Djoharuddin dalam menyambut kedatangan Raffles di Cirebon. Sementara Rikasara Cirebon[33] merupakan jenis aksara yang digunakan sebelum tahun 1650-an (abad 17) di mana para ahli berpendapat bahwa Rikasara tersebut memiliki keterkaitan dengan aksara Palawa.
Aksara Rikasara Cirebon
[sunting | sunting sumber]Rikasara Cirebon yang oleh para ahli dikatakan memiliki keterkaitan dengan aksara Palawa[33] memiliki tiga cara penulisan dan beberapa gaya tulis (Samengan)
- Sasandisara (cara menulis rahasia), tujuan cara penulisan ini adalah agar tulisannya tidak bisa diketahui oleh khalayak ramai, contoh cara penulisan ini dapat ditemui pada surat yang dibawa ke Banten untuk membantu pangeran Hasanuddin
- Angarasara (cara menulis umum), cara penulisan yang biasa dilakukan oleh para Ajengan (kyai atau orang terhormat) dan bersifat umum (tidak rahasia) sehingga bisa dibaca oleh siapa saja, pada Angarasara gaya tulis atau Samengan secara garis besar dibagi menjadi beberapa yaitu, Kawatu, Layus dan Halif
- Bandasara (cara menulis rahasia dengan membalutnya dengan doa), tujuan penulisan ini sebenarnya sama dengan Sasandisara yaitu untuk hal-hal yang bersifat rahasia, hanya saja karena dibalut dengan doa pembawanya tidak sadar kalau dia sedang membawa surat penting, contohnya adalah surat yang dibawa oleh Anom Talibrata, banyak syarat-syarat yang dibalut dengan pembacaan ayat suci al-qur'an ketika membuat tulisan dengan cara Bandasara, rumitnya Polah Hikmah (aturan-aturan hikmah) yang diterapkan dalam penulisan Bandasara membuat tidak sembaragan orang dipercaya untuk menuliskannya.
-
Rikasara Cirebon pada Masjid Nur Karomah (sir budi rahsa), desa Gamel, kecamatan Plered, kabupaten Cirebon
Alih aksara dan bahasa oleh Dodie Yulianto (filolog Cirebon), koreksi oleh Guntur Samudra (masyarakat Gamel)
Mar(a) Hadi Ngawas (dekati dengan pengawasan sungguh)
angmung ngewalen... (hanya mengerjakan walen (bahasa Indonesia: atap))
1625 Jawa = 1113 Hijriah = 1701 Masehi -
Rikasara Cirebon pada Masjid Nur Karomah (sir budi rahsa), desa Gamel, kecamatan Plered, kabupaten Cirebon
Alih aksara oleh Guntur Samudra (Gamel)
Dina Ahad Jumadil ahir (pada hari minggu bulan Jumadil Akhir)
Tahun Jem Akir // 82 \\ (tahun Jim Akhir 28) -
Rikasara Cirebon pada Masjid Nur Karomah (sir budi rahsa), desa Gamel, kecamatan Plered, kabupaten Cirebon
Papan 2a-1 (sebelah kiri)
Bengiye Madepis
Papan 2a (kiri dan kanan bagian atas) Bengiye Madepis Adinata Walen
Pada Malam Hari menemui masyarakat (sultan) menjelaskan cara Menata (membuat) Atap -
Rikasara Cirebon pada Masjid Nur Karomah (sir budi rahsa), desa Gamel, kecamatan Plered, kabupaten Cirebon
Papan 2a (sebelah kanan)
Adinata Walen
Carakan Cirebon
[sunting | sunting sumber]Carakan Cirebon mencapai masa keemasannya pada periodisasi sastra sekitar abad ke-16 (tahun 1500-an). Kala itu sastra pesisiran berkembang pesat, seiring berpindahnya kekuasaan politik dari Majapahit ke kesultanan-kesultanan Muslim seperti Cirebon dan Demak pasca banyaknya ningrat-ningrat, sastrawan dan seniman Majapahit yang menyingkir ke Bali. Sastra Pesisiran yang berkembang pada periodisasi keemasan tersebut berusaha membalutkan nilai-nilai keislaman dengan elemen-elemen kuno dari kebudayaan Majapahit[34] Sastra Pesisiran yang turut membawa carakan Cirebon pada masa keemasannya dimulai ketika pengaruh Islam mulai memasuki pulau Jawa termasuk di wilayah Kesultanan Cirebon. ada setidaknya tiga pusat utama perkembangan sastra pesisiran yaitu di Gresik, Demak dan di wilayah kesultanan Cirebon yang meliputi Cirebon hingga Banten pada masa itu. Berbeda dengan Demak yang pada masa itu menjadi rujukan bagi daerah pedalaman sekitarnya yang mayoritas dihuni oleh suku Jawa(cikal bakal daerah Mataram), perkembangan Carakan dan sastra pesisiran di wilayah kesultanan Cirebon tidak sehomogen dengan apa yang terjadi di Demak, heterogenitas antara pesisir Cirebon yang multi-etnis ditambah dengan pedalaman Cirebon yang juga dihuni oleh suku Sunda yang berbeda bahasa dan pola tulisan membuat Carakan dan sastra Cirebon mengakomodir pola-pola ucap dan kebiasaan-kebiasaan sastra dari wilayah sekitarnya sehingga menyebabkan teks-teks sastra yang berasal dari wilayah kesultanan Cirebon walau ditulis dengan pola aksara carakan yang tidak jauh berbeda (Cirebon menerapkan pola aksara carakan dengan gaya satu tembok sementara Jawa menerapkan pola carakan dengan gaya dua tembok) namun teks-teks tersebut tidak dimengerti oleh pembaca dari wilayah Jawa bagian tengah[34].
Carakan Cirebon menurut TD Sudjana pada awalnya berasal dari Pallawa yang menyebar di Nusantara, para aristokrat yang menggunakan Pallawa sebagai aksara ini kemudian mengembangkan pola-pola aksara di wilayah yang diperintahnya, dan kemudian menjadi aksara daerahnya masing seperti aksara Carakan Jawa, Sunda dan Aksara Carakan Cirebon, oleh karena itu Carakan Cirebon oleh budayawan Cirebon TD Sudjana dikiaskan sebagai sesuatu hal yang memiliki makna budi luhur sebagai penunjang tegaknya akhlak bangsa dan kepribadian bangsa.[34]
Aksara Sunda Kuno
[sunting | sunting sumber]Aksara Sunda Kuno pernah dipakai untuk menuliskan bahasa Cirebon yang pada saat itu digunakan sebagai media untuk menyebarkan agama Islam di Tatar Sunda[8]. Hal ini dapat dilihat pada penggunaannya dalam beberapa naskah di bawah ini;
Hilangnya aksara Sunda dan Rikasara Cirebon
[sunting | sunting sumber]Pada tanggal 3 November 1705, Belanda mengeluarkan sebuah surat ketetapan agar digunakan aksara carakan Jawa sebagai aksara tulis, ketetapan ini menurut sebagian peneliti dikarenakan berkurangnya penggunaan aksara Sunda pada masyarakat setempat[35]. Pada wilayah kesultanan-kesultanan Cirebon surat ketetapan Belanda resmi berlaku setelah dikeluarkannya surat yang meratifikasi ketetapan Belanda tersebut oleh para penguasa Cirebon pada 9 Februari 1706[35], secara perlahan aksara Sunda dan juga Rikasara Cirebon digantikan oleh carakan Jawa, dalam sebuah naskah dari desa adat Gamel-Sarabahu di Cirebon dijelaskan bahwa hilangnya Rikasara Cirebon secara berangsur-angsur setelah dikeluarkannya surat ratifikasi kesultanan-kesultanan di Cirebon menemui titik puncaknya yang waktunya bertepatan dengan dikaburkannya sejarah Cirebon oleh Belanda yang dalam naskah peristiwa itu disebut
"... Kalpariksa jatining cirebon, Lebon pepeteng ... 8461//22//09"
Kosa kata
[sunting | sunting sumber]Pada tahun 1869, hasil penelitian yang dilakukan oleh Karel Frederik Holle seorang pemerhati budaya dan sastra[37] yang dikemudian hari diangkat menjadi seorang penasihat (Honorary Advisor for Domestic Affair) untuk pemerintahan Hindia Belanda diterbitkan dengan pengawasan redaktural oleh W. Stortenbeker (doktoral di bidang ilmu hukum dan sastra) dan J.J Van Limburg Brouwer (doktoral di bidang ilmu filsafat)[38] dalam penelitian tersebut Karel Frederik Holle menjelaskan tentang sebuah babad yang berasal dari sekitar tahun 1788 - 1820 yang diperoleh dari bupati Sumedang, babad tersebut dijelaskan diperoleh oleh bupati Sumedang dari seorang Pangeran Cirebon. Babad kemudian berhasil diterjemahkan, dalam penelitiannya tersebut ia menjelaskan bahwa kosakata dalam babad tersebut ditulis dengan bahasa Cirebon atau yang pada masa itu disebut sebagai Cheribonsch Javansch[38]
Sebagian besar kosa kata asli dari bahasa Cirebon memiliki kesamaan dengan bahasa Jawa standar (Surakarta/Yogyakarta) baik secara morfologi maupun fonetik, memang bahasa Cirebon yang dipergunakan di Cirebon dengan di Indramayu itu meskipun oleh sebagian orang dikatakan sebagai bagian dari bahasa Jawa namun mempunyai perbedaan dengan “bahasa Jawa baku”, yaitu bahasa yang diajarkan di sekolah-sekolah yang berpegang kepada bahasa Jawa Solo. Dengan demikian, sebelum 1970-an, buku-buku pelajaran dari Solo tak dapat digunakan karena terlalu sukar bagi para murid (dan mungkin juga gurunya). Oleh karena itu, pada 1970-an, buku pelajaran itu diganti dengan buku pelajaran bahasa Sunda yang dianggap akan lebih mudah dimengerti karena para pemakai bahasa Sunda “lebih dekat”. Akan tetapi, ternyata kebijaksanaan itu pun tidak tepat sehingga muncul gerakan untuk menggantinya dengan buku dalam bahasa yang digunakan di wilayahnya, yaitu Bahasa Cirebon (pada era tahun 1970-an masih disebut sebagai bahasa Jawa dialek Cirebon).[39]
Bahasa Cirebon Kuno
[sunting | sunting sumber]Bahasa Cirebon Kuno[40] dipergunakan pada naskah naskah kuno yang ada di Cirebon dan sekitarnya, bahasa ini masih bisa dijumpai pada teks teks di periode awal terbaginya kesultanan Cirebon menjadi dua kesultanan atau sekitar pada tahun 1600-an, menurut Elang (bahasa Indonesia: pangeran) Yusuf Dendabrata salah satu kosakata yang berasal dari bahasa Cirebon Kuno adalah pelem (bahasa Indonesia: mangga). Pada budaya Cirebon sejak zaman dahulu, mangga merupakan manifestasi dari konsep gelem (hasrat/kemauan) dan mangga Cengkir adalah proyeksi dari konsep gelem kencenge pikir (bahasa Indonesia: mau kritis berfikir) di mana buah mangga Cengkir digantungkan pada lunjuk tempat penyiraman pada prosesi Siram Tawandari di ritual pernikahan adat Cirebon.
Berikut adalah kutipan bahasa Cirebon Kuno yang ditulis pada pustaka Negara Kertabumi[41]
mejahhi / pratibandḍa / hurip lobha / magawé kadustan mwang pāpakarma // haywa ta sirā nginum panamadya / athawékang magawé marganing patinta / suçīlā ta sira // haywa ta sira dumadi wira mati / mwang lumūda çatrewanung wus pinaribhawa / umangnacpati / yadyapin ya çatrusang salah warak samaken mwang inupaçra yan dénnira // haywa ta sira tuhagamana ring dharmmanya yéku agaméslam lawan kuran ikang wéda ning janapada sakala bhuwana / dwājilulloh dé nira kudu mapageh dé nyānggé gwa ninya // nityasa ta sira mangastung kara ring hyang tunggal
bunuh, bertentangan, hidup tamak, berbuat dusta serta berbuat nista. Janganlah engkau minum minuman yang memabukkan, atau yang menciptakan jalan kematianmu, sopan santunlah engkau, janganlah engkau menjadi wiramati. Dan menyerang lagi perkataan yang telah menghina, menyalahkan diri sendiri ke dalam kematian, meskipun musuh yang salah maafkanlah dan berilah pertolongan padanya. Janganlah ia terus-menerus melakukan perbuatannya itu. Agama Islam dan Qur’an itu pengetahuan untuk seluruh umat manusia di seluruh dunia, dua kalimat Syahadat harus kau genggam erat dan pakailah (laksanakanlah) ia senantiasalah engkau berdoa kepada Tuhan yang Esa.
Angka dan kuantitas
[sunting | sunting sumber]Pada tahun 1926, hasil penelitian J N Smith (asisten residen Cirebon) diterbitkan, selain menjelaskan tentang ragam bahasa Cirebon dan perbedaanya dengan bahasa Jawa yang terdapat di wilayah Jawa Tengah dan Surakarta ia juga menjelaskan mengenai kosakata yang berkenaan dengan angka dan kuantitas[42], seperti .
Bahasa Cirebon | Bahasa Indonesia |
---|---|
Sambang | Seribu |
Sareal | Dua Rupiah |
Saripis | Satu |
Suku | Setengah |
Seteng | Tiga setengah Sen |
Telung Wang | Dua belas setengah Sen |
Sabaru | Delapan setengah Sen |
Rong Baru | Tujuh belas Sen |
Telung Baru | Satu tali |
Lima las Baru | Satu rupiah satu tali |
Sapinda | Setengah |
Kalipinda | Dua setengah |
Sagantang | 10 kati |
Sakocel | 5 kati |
Kata Ganti (Purusa)
[sunting | sunting sumber]Kata Ganti Orang Pertama (Utama Purusa)
[sunting | sunting sumber]- Sun (artinya Saya, jika ditambahkan awalan "re/ra" menjadi "resun" maka artinya "saya adalah orang yang terhormat")
- Isun (artinya Saya, jika kata isun bertemu dengan kata kerja maka "isun" berubah menjadi "tak' atau "tek")
- Ngwang (artinya Saya, jika ditambahkan kata "sang" menjadi "sangwang" maka maknanya menjadi lebih terhormat dari kata "ngwang")
- Pwanghulun (artinya Saya adalah seorang Hamba)
- Nghulun (artinya Saya adalah seorang Hamba, jika ditambahkan kata "Pinaka" menjadi "Pinaka nghulun" maka artinya "diperhamba" dan jika ditambahkan kata "sang" menjadi "sanghulun" maka maknanya menjadi terhormat daripada "nghulun")
- Pinun (artinya Saya adalah milik Tuan)
- Manehta (artinya Saya adalah hamba tuanku, khusus digunakan untuk perempuan)
- Bujangga Mpu (artinya Saya adalah orang yang terpelajar dan alim, biasa digunakan oleh kaum agamawan)
Kata Ganti Orang Kedua (Madyatama Purusa)
[sunting | sunting sumber]- Ko (artinya Anda)
- Twa / Ta (artinya Anda)
- Kamu (artinya Anda, bisa digunakan untuk menyatakan lebih dari satu orang)
- Kita (artinya Anda atau Tuan. Kata ini lebih terhormat dibandingkan "Ko","Twa/Ta","Kamu")
- Ngcarira (artinya Anda (secara umum), kata ini lebih terhormat dibandingkan "Ko","Twa/Ta","Kamu")
- Sira (artinya Anda, namun penggunaan kata ini ditujukan pada Sultan untuk Bawahan atau Pejabat untuk Bawahan yang makna tingkatannya lebih rendah)
- Kanyu (artinya Anda, kata ini setara dengan "Ko")
- Rahadyan Sanghulun (artinya anda adalah tuanku, dipergunakan oleh Pekerja kepada Majikannya)
Kata Ganti Orang Ketiga (Pratama Purusa)
[sunting | sunting sumber]- Ya (artinya Dia)
- Sira (artinya Dia, jika ditambahkan kata "hana" menjadi "hana sira" yang artinya "ada seseorang")
- Rasiki (artinya Dia)
Kata Ganti Milik (Empunya)
[sunting | sunting sumber]Kata Ganti Milik Orang Pertama
[sunting | sunting sumber]- Ku atau Ngku (artinya milik -ku)
- Mami (artinya milik -kami)
- i ngwang (artinya milik -ngwang)
- i nghulun (artinya milik -nghulun)
- i sanghulun (artinya milik -sanghulun)
- Pinaka hulun (artinya milik -pinaka hulun)
- Bujangga Mpu (artinya milik -bujangga mpu)→
Kata Ganti Milik Orang Kedua
[sunting | sunting sumber]- Mu (artinya milik -kamu)
- Nta / Ta (artinya milik -kita)
- Nyu (artinya milik -kanyu)
- Rahadian Sanghulun (artinya milik -rahadian sanghulun)
Kata Ganti Milik Orang Ketiga
[sunting | sunting sumber]- Nya (artinya milik -ya)
- Nira / ira (artinya milik -sira)
- Rasika (artinya milik -rasiki)
Perbandingan bahasa Cirebon Bagongan (bahasa rakyat)
[sunting | sunting sumber]Berikut merupakan perbandingan antara bahasa Jawa Cirebon dengan Dialek lainnya yang dianggap serumpun, yaitu bahasa Jawa Banten,[43] Bahasa Jawa dialek Dermayon, dialek Tegal dan Pemalangan serta Bahasa Jawa Baku (dialek Surakarta - Yogyakarta) dalam level Bagongan atau Bahasa Rakyat.
Banten Utara | Cirebon[7] | Bahasa Cirebon - Dermayu (Dermayon) | Banyumasan | Tegal, Brebes | Pemalang | Solo/Jogja | Kediri - Madiun | Surabaya - Malang (arekan) | Sunda Priangan | Indonesia |
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Ateng | Adi / kacung | Adi | Adi | Adi | Adi | Adhi | Adek | Adek | Dede | Adik Laki-laki |
Nong | Nok / Nonok | Denok / Senok | Nduk | Senok | Gendhuk | Genduk | Níng, Yuk | Enèng | Adik Perempuan | |
kita | kita/isun/Kito | kita/reang/isun/nyong (Subang) | inyong/nyong | inyong/nyong | nyong | aku | aku, awakku | aku | urang | aku/saya |
sire | sira/siro | slira/dika/ko (Subang) | rika/ko/kowe | kowen | koe | kowé | awakmu, kowé | koen, riko, peno | maneh | kamu |
pisan | pisan/men | nemen/temên/pisan | pisan/temên | nemen/temen/pisan | nemen/temen/teo | tenan | tenan | temèn | pisan | sangat |
keprimen | keprewe/keprewen/prime/primen/priben | kepriben/kepripun/keprimen/pribe | kepriwe/priwe | kepriben/priben/pribe | keprimen/kepriben/primen/prime/priben/pribe | piyé/kepiyé | gek piyé, piyé | ya'opo | kumaha | bagaimana |
ore | ora/beli | ora/belih | ora | ora/belih | ora | ora | ora, ogak | gak | henteu | tidak |
manjing | manjing | manjing/mlebu | mlebu | manjing/mlebu | manjing/mlebu | mlebu | mlebu (masuk ruangan) , manjing (masuk kerja) | mlebu | asup | masuk |
arep | arep/pan | arep/arepan | arep | pan | pan/pen/ape/pak | arep | arepan, arep, arepe | katene, apene | arek | akan |
sake | sing | sing / saka | sêkang | sing | kadi/kading | såkå | tekå | tekå | ti | dari |
kelambi | Kelambi | kelambi | Kelambi | Kelambi | Kelambi | Klambi | Klambi | Klambi | Acuk | Pakaian |
Kulon | Kulon | Kulon | Kulon | Kulon | Kulon | Kulon | Kulon | Kulon | Kulon | Barat |
Tuku | Tuku | Tuku | Tuku/tumbas | Tuku | Tuku | Tuku | Tuku | Tuku | Meuli | Beli |
Durung | Durung | Durung | Durung, Urung | Durung | Durung | Durung | Durung, Urung | Durung, Gurung | Acan | Belum |
Kependak | Ketemu | Ketemu/Kepethuk | Ketemu | Ketemu | Ketemu | Kepetuk/Ketemu | Petukan | Ketemu | Kapendak | Bertemu |
Bise | Bisa | Bisa | Bisa/Teyeng | Bisa | Bisa | Bisa | Isa | Isa | Tiasa/Bisa | Bisa |
Lan | Lan/karo/maninge | Lan | Lan | Lan | Lan | Lan | Lan | Lan | Jeung | Dan |
Teke | Teka | Teka | Teka, Gutul: sampai | Teka, Anjog | Teka | Teka | Teka | Totok, Teka | Dongkap | Datang |
Kare | Karo | Karo | Karo | Karo | Karo | Karo | Karo | kambik | Sareng | Dengan |
Entek | Entok / Kasepan | Entok / Entek | Entong / Entek | Enténg | Entek/Enténg | Entek | Entek | Entek | Séép | Habis (* kasepan = kehabisan barang karena terlambat datang) |
Perbandingan bahasa Cirebon Bebasan (bahasa halus)
[sunting | sunting sumber]Berikut ini adalah perbandingan antara bebasan (Bahasa Halus) Cirebon, bebasan Dermayonan, bebasan Pemalangan, dengan bebasan Banten[43]
Banten Utara | Cirebonan[11] | Bahasa Cirebon - Dermayu (Dermayon) | Pemalangan/Tegalan | Sunda Priangan | Indonesia | |
---|---|---|---|---|---|---|
Loma | Hormat | |||||
Kasih | Jeneng/wasta/nami/asmi | Jeneng/wasta/nami/asmi | Jeneng/nami/asmi | Ngaran | Nami, Wasta, Kakasih | Nama |
Boten | Boten | Mboten | Mboten | Henteu, Teu | Henteu, Teu | Tidak |
Teteh | Rara / Yayu | Yayu / Mbayu | mbokayu | Tétéh | Aceuk | Kakak perempuan (mbak) |
Koh/iku/puniku | Puniku | Puniku | Puniku/niku | Éta | Éta | Itu |
Kepetuk | Kepanggih | Kepanggih | Kepanggih | Papanggih | Pependak | Ketemu |
Iki | Niki | Niki | Niki | Ieu | Ieu | Ini |
nggih | Inggih | Inggih/nggih | Inggih/nggih | Enya, Heueuh | Muhun, Sumuhun | Ya |
Ugi | Ugi | Ugi | Ugi | Ogé | Ogé | Juga |
Kelipun | Punapa | Punapa | Punåpå | Naha | Naha | Kenapa |
Hampura | Hampura / Ampura | Ngapura | Ngampunten, Ngampura | Hampura | Hapunten | Maaf |
Sege | Sekul | Sekul | Sekul | Kéjo | Sangu | Nasi |
Linggar | Kesah | Kesah | Tindak/kesah | Indit | Mios, Angkat, Jengkar | Pergi |
Darbe | Gadah | Gadah | Gadah | Boga | Gaduh, Kagungan | Punya |
Seniki | Seniki | Saniki | Sakniki | Ayeuna, Kiwari | Danget ieu | Sekarang |
Matur nuhun | Matur kesuwun/kesuwun | Matur nuwun / Matur Suwun / Matur Sembahnuwun | Matur nuwun | Nuhun | Hatur nuhun | Terima kasih |
Ayun ning pundi | Bade teng pundi | Lajeng teng pundi / Bade teng pundi | Bade teng pundi | Arék ka mana | Badé ka mana | Mau ke mana? |
Pasar | Peken | Peken | Peken | Pasar | Pasar | Pasar |
Salah | Sawon | Sawon | Salah | Salah | Lepat | Salah |
Kule | Kula / Ingsun | Kula | Kulå | Kuring | Abdi | Saya |
Uning | Uning / Ertos (ngertos) | Ngertos/Sumerep | Ngertos/Sumerep | Nyaho | Terang, Uninga | Tahu |
Bangkit | Saged | Saged | Saged | Bisa | Iasa, Yasa, Tiasa | Bisa |
Napik | Sampun/mpun | Ampun | Ampun | Ulah, Tong | Teu Kénging | Jangan |
Nire | Sampeyan / Panjenengan | Sampeyan / Panjenengan | Panjenengan | Anjeun | Salira, Hidep | Anda |
Cepe | Cape | Cape | Cape | Ceuk | Saur | Kata |
Gelem | Bade | Bade | Bade | Daék | Purun, Kersa | Mau |
Sare | Kulem / Sare / Tilem | Sare / Tilem | Sare/Tilem | Héés, Saré | Mondok, Kulem | Tidur |
Mantuk | Wangsul | Wangsul/Mantog | Wangsul/Mantuk | Balik | Wangsul, Mulih | Pulang |
Saus | Mawon | Mawon | Mawon | Waé/Baé | Waé/Baé | Saja |
Wau | Wau | Wau | Wau | Tadi, Bieu | Tadi, Nembé | Tadi |
Maler | Maksih | Tesih | Taksih/Tesih | Kénéh | Kénéh | Masih |
Kamus Bahasa Indonesia - Cirebon
[sunting | sunting sumber]Berikut adalah Kamus yang berisi kosakata bahasa Cirebon Bagongan, Bahasa Cirebon Bebasan dengan Bahasa Dermayon Ngoko (Indramayu) dan Bahasa Dermayon Krama (Indramayu) (Masyarakat Indramayu menyebut Bahasa Bagongan dengan sebutan Bagongan atau Ngoko dan Bebasan dengan sebutan Krama atau Besiken[44]) serta terjemahannya dalam Bahasa Indonesia
UCirebon Bagongan | Cirebon Bebasan | Dermayon Bagongan / Ngoko[45] | Dermayon Krama / Besiken[45] | Bahasa Indonesia | Penjelasan |
---|---|---|---|---|---|
Abad | ? | Abad | Lestantum | Abad | |
Abang | Abrit | Abang | Abrit | Merah | |
Abot | ? | Abot | Awrat | Berat | |
Adi | Adik (Secara Umum Laki-Laki dan Perempuan) | ||||
Enang | Ayi | Danang / De'mas | Rayi | Adik (Laki-Laki) | |
? | ? | De'nok | Diayu | Adik (Perempuan | |
Adoh | Tebih | Adoh | Tebih | Jauh | |
Adol | Sadean | Adol | Sadean | Dagang | |
Adu | Aben | Adu | Aben | Adu | |
Adus | Siram | Adus | Siram | Mandi | |
Adhem | ? | Adhem | Asrep | Sejuk | |
Agama | Agami | Agama | Agami | Agama | |
? | Aja | Sampun | Jangan | (Sampun teng Riku! = "Jangan di situ!" | |
Akeh | Katah | Akeh | Katah | Banyak | |
Kakang | Raka | Kakang / Kang Mas | Raka | Kakak Laki-Laki | |
Aki | Ki | Pak de/ Bapa tua | Bapa De | Kakek | |
Aku | Akên | Ngaku | Ngakên | Aku (Mengaku) | ngaken (mengaku) |
Alas / Luwung | Wana | Alas | Wana | Hutan | |
Alih | ? | Alih | ngalih | Pindah | (Ingsun sampun ngalih teng Kuningan = Saya sudah pindah ke Kuningan) |
Knang | Amargi | Amerga | Amergi | Akibat | (amargi ingsun mboten uning kepripun pakemipun basa Bebasan Cirebon ingkang leres = akibatnya saya tidak tahu bagaimana peraturan bahasa Bebasan Cirebon yang benar) |
Aig / Age | Aglis | Cepet / Gage / Gagian | Enggal | Segera | |
Amba | Wiwir | Amba | Wiyar | Luas | |
Ambir | Supadon | Ben / Ambisan | Ambisan | Biar | |
Amit /Permisi | ? | Amit | Nuwun Sewu /nyuwun Sewu | Permisi | |
Ana | Wenten | Ana | Wonten | Ada | |
Angel | Susah | Angel | Sesaha | Susah | |
Angon | Angen | Angon | Angen | Gembala | Ngangon Kebo (Menggembala Kerbau) |
Angot | ? | Kumat | Kimat | Kambuh | |
Antarane | Antawise | Antarane | Antawise | Antaranya | |
Apa | Punapa | Apa | Punapa | Apa | |
Apik | Sae | Apik | Sae | Baik | |
Aran | Asmi | Aran / Jeneng | Nami / Asmi / Asma | Nama | |
Arep | Ajeng | Arep | Ajeng / Lajeng | Akan | |
Arep mendhi | Bade pundi | Arep ngêndhi / arep ngendhi | Bade pundi / Lajeng têng Pundhi | Mau ke mana? | |
Asli | ? | Asli | Sesupe | Asli | |
Asu | ? | Asu | Segawon | Anjing | |
Ati | Manah | Ati | Manah | Hati | |
Aturan | Pakem | Pakem | Aturan | ||
Awan | Siyang | Awan | Rina / Siang | Siang | |
Awak | Selira / Badan | Awak | Selira / Badan | Badan | |
Ayam | Sawung | Ayam | Sawung | Ayam | |
Bae | Mawon | Bae | Mawon | Saja | |
Bagen | Sanggine | Bagen | Kêrsanipun | Biarkan | |
Bagus | Sae | Bagus/Apik | Sae | Bagus | |
Baka | Menawi | Yen/Baka | Menawa | Kalau | |
Balik | Wangsul | Balik | Wangsul | Pulang | |
Banyu | Toya | Banyu | Toya | Air | |
Bapak | Rama | Bapak | Rama | Bapak | |
Batur | Rencang | Kanca | Rencang | Kawan | |
Banyu | Toya | Banyu | Toya | Air | |
Bari | Kaliyan | Bari/Bareng | Sesarengan/Kaliyan | Bersama | |
Bawi | ? | Celeng | Andhapan | Babi | |
Bebek | ? | Bebek | Kambangan | Bebek | |
Belah | Palih | Belah | Palih | Sepalih (sebelah) | jambalang |
Beli / Ora | boten | Belih/Ora | Mboten | Tidak | |
Bênêr | Lêrês | Bênêr | Lêrês | Benar | |
Bendrongan | ? | Main Musik | (Main Musik Dengan Alat Seadanya disebut "Bendrongan" | ||
Bêngên | Rumiyen | Bêngên | Rumiyin / Sengen | Dahulu | |
Bêngi | Dalu | Bêngi | Dalu | Malam | |
Beras | Uwos | Beras | Uwos | Beras | |
Bobad | ? | Bobad | Bohong | ||
Bocah / Anak | Lare | Anak | Lare | Anak | |
Bokat | ? | Becik | Takut / Barangkali | "aja ning ngerep nok..!!, bokat ketendang!" (jangan di depan nak!! (perempuan), Takut tertendang!)
"isun arep ngulur batur-batur nang alun-alun, bokat bae ana mengkana" (saya hendak mencari anak-anak di alun-alun, barangkali saja ada di sana) | |
Bonggan | ? | Awas! | Digunakan ketika kesal pada sesuatu atau Menantang | ||
Brêsi | Rêsik | Bersih | Rêsik | Bersih | |
Bubar | Bibar | Bubar | Bibar | Bubar | |
Bulit | ? | Licik | ? | Curang | |
Buri | Wingking | Buri / Guri | Wingking | Belakang | Nang Buri, Teng Wingking (Di Belakang) |
Buru-Buru | Kêsusu | Buru-Buru | Bujêng-bujêng | Tergesa-gesa | |
Buwang | Bucal | Buwang | Bucal | Buang / Melemparkan | |
Cangkêm | Lêsan | Cangkêm / Tutuk | Lêsan | Mulut | |
? | ? | Caos | Seba | Menghadap / Menemui | |
Carita | ? | Crita | Crios | Cerita | |
Cêg | ? | Cêkêl | Ngasta | Cêgcêgan (Pegangan) | |
Cilik | Alit | Cilik | Alit | Kecil | |
Coba | Cobi | Coba | Cobi | Coba | |
Cungur / Irung | ? | Irung | Grana | Hidung | |
Cukur | Paras | Cukur | Paras | Cukur | |
Dadi | Dados | Dadi | Dados | Jadi | |
Dagang | Sadean | Dagang | Sadean | Dagang | |
Dake | Gadah | Deke | Gadah | Punya (Dapat) | |
Dalan | Dêrmagi | Dalan | Marga | Jalan | |
Dandan | ? | Dandan | Dandos | Berhias | |
Dawuk | ? | Dewasa | |||
Dêlêng | Ningali | Dêlêng | Ningali / Mirsani | Melihat | |
Dhadha | Jaja | Dhadha | Jaja | Dada | |
Damar | Pandhêm | Damar | Pandam | Lampu | |
Dêmên | Tresna | Dêmên | Tresna | Cinta | |
Dêmplon | ? | Seksi | |||
Dêngkul / Tur | ? | Dêngkul | Jengku | Lutut | |
Dewek | Dewek | Piyambêk | Sendiri | ||
Di | Di | Di | Dipun | Di (Imbuhan) | Cirebon Bebasan : "Dibarokahi", Bahasa Dermayon Krama : "Dipun Barokahi" |
Dina | Dintên | Dina | Dintên | Hari | (Sedinten-dinten = Sehari-hari) |
Dolan | ? | Dolan | ? | Main | |
Dom | Jarum | Dom | Jarum | Jarum | |
Doyan | Purun / Kersa | Doyan | Purun / Kersa | Suka / Mau | |
Duit | Yatra | Duit | Yatra | Uang | |
Dulung | Ndahari | Dulang | Ndahari | Suap (Makan) | |
Durung | Dêrêng | Durung | Dêrêng | Belum | |
Duwe | Gadah | Duwe | Gadah | Punya | |
Duwur | Inggil | Duwur | Inggil | Tinggi | |
êling | êmut | êling | êmut | Ingat | |
êmbah | êyang | êmbah | êyang | Kakek-Nenek | |
Embuh | Wikan | Embuh | Kirangan / Wikan | Tidak Tahu | |
? | ? | Embun-embunan | Pasundulan | Embun-embun | |
Emong | Boten | Emong | Mboten | Tidak Mau | |
Enak | Eca | Enak | Eca | Enak | |
êndas | ? | êndas | Sirah | Kepala | |
êndhêp | êndhap | êndhêp / Cindek | êndhap | Pendek | |
êndi | Pundi | êndi | Pundi | Mana | |
êndog | Tigan | êndog | Tigan | Telur | |
êngko | ? | êngko | Ajeng | Nanti | |
ênom | ênêm | ênom | ênêm / timur | Muda | |
êntêk | Têlas | êntok | Têlas | Habis | |
Enteni | ? | Enteni | Entosi | Menunggu | |
Erti | Ertos | ngerti | Ngertos | Arti | (Ngertos = Mengerti) (Basa Iku alat Komunikasi, Umpami panjenengan ngertos ya leres! = Bahasa itu alat komunikasi kalau anda mengerti ya bagus!) |
Esuk | Enjing | Esuk | Enjing | Pagi | |
Etung | Etang | Etung | Etang | Hitung | |
Gajah | Liman | Gajah | Liman | Gajah | |
Gampang | Gampil | Gampang | Gampil | Mudah | |
Ganti | Gantos | Ganti | Gantos | Ganti | |
Gawa | Bakta | Gawa | Bakta | Bawa | mbakta (Membawa), Gawaan / bektan (Barang Bawaan) |
Gawe | Damel | Gawe | Damel | Kerja | |
Gedang | Pisang | Gedang | Pisang | Pisang | |
Gede | ? | Gedhe | Ageng | Besar | |
Gêlêm | Purun | Gêlêm | Purun | Mau | |
Gelang | Binggel | Gelang | Binggel | Gelang | |
Gelung | Ukel | Gelung | Ukel | Gulung | |
Gemuyu | ? | Gemuyu | Gemujeng | Tertawa | |
Gen | Ugi | Uga | Ugi | Juga | |
Genap | Jangkep | Genap | Jangkep | Lengkap | |
Geni | Brama | Geni | Brama | Api | |
Gering / Kuru /Pêyang | ? | Gering | Kera | Kurus | |
Getek | ? | Keri | ? | Geli | |
Getih | Rah | Getih | Rah | Darah | |
Gigir | Pêngkêran | Gigir | Pêngkêran | Punggung | |
Godhong | Ron | Godhong | Ron | Daun | |
Golek | ? | Golek | Pados | Wayang Kayu (Golek) | |
Gugah | Wungu | Gugah | Wungu | Bangun | |
Gula | Gêndis | Gula | Gêndis | Gula | |
Gulu | Jangga | Gulu | Jangga | Leher | |
Gawean | Damelan | Gawean | Damelan/Guneman | Pekerjaan | |
Guyon | Gujêng | Guyon | Gujêng | Bercanda | Gegujengan (Bercandaan) |
Idêp | Ibing | Idep | Ibing | Bulu Mata | |
Idu | Kecoh | Idu | Kecoh | Ludah | |
Iga | ? | Iga | Unusan | Iga | |
Ijo | Ijêm | Ijo | Ijêm | Hijau | |
Ilang | Ical | Ilang | Ical | Hilang | |
Ilat | Lidah | Ilat | Lidah | Lidah | |
Imbuh | ? | Imbuh | Tanduk | Tambahan | |
Inep | ? | Inep | Sipeng | Bermalam | |
Ingu | Ingah | Ingu | Ingah | Pelihara | |
Irêng | Cêmêng | Irêng | Cêmêng | Hitam | |
Isor | Andhap | Isor | Andhap | Bawah | |
Isin | Lingsem | Isin | Lingsem | Malu | |
Isun | Ingsun / Kula | Reang / Kita | Kula | Saya | |
Iwak | Ulam | Iwak | Ulam | Ikan | |
Iya | Inggih | Iya / ênggeh | Inggih / Ênggeh | Ya | |
Jaga | Raksa | Jaga | Reksa | Jaga | Njaga, Ngraksa (Menjaga) |
Jago | Sawung | Jago | Sawung | Ayam Jago | |
Jagong | Linggih | Dodok | Linggih | Duduk | |
Jala | Jambêt | Jala | Jambêt | Jala | |
Jalir | ? | telembuk | ? | Pelacur | |
Jaluk | Pundhut | Jupuk / Jokot | Pendhet | Ambil | |
Jamu | Jampi | Jamu | Jampi | Jamu | |
Jaran | ? | Jaran | Titihan | Kuda | |
Jare | Cape | Jare | Criyos | Kata (Ucap) | Cirebonan : "Cape sinten?" (Kata (ucap) siapa?) |
Jenggot | ? | Jenggot | Gumbala | Jenggot | |
Jêriji | ? | Driji | Racikan | Jari | |
Jero | Lebet | Jero | Lebet | Dalam | |
Jingkat | ? | Kaget | Kejot | Terkejut | |
Joget | ? | Joged | Beksa | Goyang | |
Kabar / Warta | Wartos | Kabar / Warta | Wartos | Berita | |
Kabeh | Sedaya | Kabeh | Sêdaya / Sedantên | Semua | |
Kabênêran | Kalêrêsan | Kabêran | Kêlêrêsan | Kebetulan | |
Kaca | Kaca | Paningalan | Kaca | ||
Kae | Punika | Iku/Kaen/Kuwen | Punika | Itu (Dekat dengan si Pembicara) | |
Kali / Lêpên | Benawi | Kali / Lêpên | Benawi | Sungai | |
Kalung | ? | Kalung | Sangsangan | Kalung | |
Kandha | ? | Kandha | Sanjang | Bercerita | |
Kanggo | Kangge | Kanggo | Kangge | Untuk | |
Karang | Kawis | Karang | Kawis | Karang | |
Karena | Kêrantên | Merga | Amarga/ Keranten | Karena | |
Kari | Kantun | Kari | Kantun | Sisa (Tinggal Terakhir) / Tertinggal / Terakhir | Kantun-kantun (akhirnya) |
Karo | Kaliyan | Karo | Kaliyan | Bersama | Teng bioskop kalian sinten inggih? (Di bioskop bersama siapa, ya?) |
Karo | Sareng | Karo / Sareng | Marang/Dhumateng | Dengan | (Garam sareng Gendhis dicampur mawon Kang! = "Garam dengan Gula dicampur aja Kang!") |
Katon | Kêtingal | Katon | Kêtingal | Dapat dilihat | |
Katok / Cangcut | Lancing | Katok | Lancing | Celana dalam | |
Kaweruh | Kaweruh | Seserepan | Pengetahuan | ||
Kaya / ala-ala | Kados | Kaya | Kados | Seperti | (Kados Mekoten = Sepeti Begitu / Seperti Itu) |
Kayu | Kajeng | Kayu | Kajeng | Kayu | |
Kebanjur | ? | Kebanjur | Kelajeng | Tersiram | |
Kêbo | ? | Kêbo | Maesa | Kerbau | |
? | ? | Kêdêr | Ewed | Bingung | |
Kelanjutan | ? | Kelanjutan | Kelanjêngan | Kelanjutan | |
Kelapa | ? | Kelapa | Kerambil | Kelapa | |
? | ? | Keliru | Klentu | Keliru | |
Kembang | Sekar | Kembang | Sekar | Bunga | |
Kêmit | ? | Kêmit | Pakuncen | Jaga (Tugas Jaga) | Kêmit Desa (Orang yang menjaga Desa) |
Kêmul | Singep | Kêmul | Singep | Selimut | |
Kên / Kahin / Jarit | ? | Jarit | Sinjang | Kain | |
Kene | Riki | Kene / Mrêne | Riki | Sini | |
Kêponakan | ? | Kêponakan | Kêpênakan | Keponakan | |
Kêpriben | Kêpripun | Kêpriben Kepriwe | Kadhos Pundi / Kêpripun | Bagaimana | |
Kêramas | Jamas | Kramas | Jamas | Keramas | |
Kêrasan / Bêtah | ? | Krasan | Kraos | Betah | |
Kêringet | Riwe | Kêringet | Riwe | Keringat | |
Kêris | ? | Keris | Duwung | Keris | |
Kêrtas | Delanceng | Kertas | Dalancang | Kertas | Cirebonan : "Daluwang" (Kertas yang terbuat dari Kulit Kayu) |
Kêtara | Ketara | Ketawis | Jelas | ||
Kêtemu | Kêpanggih | Kêtemu | Kêpanggih | Bertemu | |
? | ? | Ora Karuan | Kêtowon | Percuma / tidak dilayani dengan baik | |
Kêyok | ? | Kalah | Kawon | Kalah | Kekalahan (Cirebon : Kasoran) |
Kien | Puniki / Kih | ênya /kie / Kien / Kih | Puniki / Niki | Ini | |
Kijing | Sekaran | Kijing | Sekaran | Gilang Makam | |
Kira | Kinten | Kira | Kinten | Kira (Perkiraan) | Kinten-Kinten (Kira-Kira) |
Kirim | ? | Kirim | Kintun | Kirim | |
Klambi | Rasukan | Kêlambi | Rasukan | Pakaian | |
Kongkon | Kengken | Kongkon | Kengken | Suruh | |
Kuburan | Pasarean | Kuburan | Pasarean | Kuburan | |
Kudu | Kedah | Kudu / Mesti | Kedah | Harus | |
Kuku | ? | Kuku | Kenaka | Kuku | |
Kulon | Kulen | Kulon | Kulen / Kulwan | Barat | |
Kumat | Kumat | Kimat | Kumat | ||
Kumpul | Kêmpal | Kumpul | |||
Kuna | Kina | Kuna | Kina / Kawi | Kuno | |
Kuning | Jener | Kuning | Jenar | Kuning | |
Kuping | Talinga | Kuping | Talingan | Telinga | |
Kurang | Kirang | Kurang | Kirang | Kurang | |
Kuwasa | ? | Kuwasa | Kuwaos | Kuasa | |
? | ? | Kuwatir | Kuwaos | Khawatir | |
Kuwayang | ? | Kebayang | Kewayang | Terbayang | |
Kuwe | Kuh / Puniku | Kuwen | Kuh / Puniku | Itu | (Jauh dari si pembicara) |
Lahiran | ? | Bayian / Lairan / Mbrojol | ? | Melahirkan | |
Lain | Dudu / Sanes | Dudu | Sanes | Bukan | |
Laka | Botên wêntên | Langka / Laka / Ora ana | Mbotên wêntên / Mboten Wontên | Tidak Ada | |
Laki | ? | Laki | Jalih | Suami | |
Lama | Dangu | Lawas / Suwe | Lami / Dangu | Lama | |
Lamun | Bilih | Lamon / Yen | Bilih | Seandainya | |
Lamun | ? | Lamona | Umpami | Umpama | |
Lanang | Jali / Jaler | Lanang | Jaler | Laki-laki | |
Larang | Hawis | Larang | Awis | Mahal | |
Lenga | Lenga | Lisa | Minyak | ||
Lenga Latung | ? | Lenga Lantung | Lisa Lantung | Minyak tanah | |
Lêwih | Langkung | Luwih | Langkung | Lebih | |
Lima | Gangsal | Lima | Gangsal | Lima | |
Lunga | ? | Lunga / Melaku / Miyang | Kesah | Pergi | |
Lupa | Lêpat | Klalen / Ora Kelingan | Kesupen | Lupa | |
Luru | ? | Luruh | Ngilari | Cari | |
Luru | Nggulati | Luru / Goleti | Nggelati | Cari | |
Mabok | Mêndhêm | êndhêm | Mêndhêm | Mabuk | |
Maca | ? | Maca | Maos | Baca | |
Manfaat / Faedah | Guna | Manfaat / Faedah /Meguna | Gina | Manfaat | |
Mangan | Dahar | Mangan | Maem | Makan | |
Mangkat | ? | Mangkat / Miyang | Tindak / Tumindak | Berangkat | |
Maning | ? | Maning / Mênêh | Malih | Lagi | |
Manjing | ? | Mlêbu / Manjing | Mlebet | Masuk | |
Mata | ? | Mata | Soca | Mata | |
Mati | Pejah | Modhar / Mati | Pejoh | Mati | |
Mayid | Laywan | Jisim | Layon | Jenazah | |
Melu | ? | Melu | Milet | Ikut | |
Mencleng | ? | Nganclêng | Nganclêng | Lompat | |
Mêngana | Mrika | Mêngana / Mana / Mrana | Mêrika | Kesana | |
Mênê | ? | Mrêne / Mênê | Mêriki | Kesini | |
Mêngkonon | ? | Mêngkonon / Mêngkono | Mèngkontên/Mêkotên | Begitu | |
Mêtu | Medal | Mêtu / Mbudal | Mbêdhal | Keluar | |
Mlaku | ? | Mlaku | Mlampah | Berjalan | |
Mlayu | ? | Mêlayu | Mêlajeng | Lari | |
Mungkin | ? | Sokat | Sokat | Mungkin | |
Nang / Ning | Teng | Ning | Teng / Ing | Di (Tempat) | |
Nang Arep | ? | Ning Arep | Ing Lajeng | Di Depan | |
Nang Isor | Teng Andap | Ning Isor | Teng Andap / Ing Andap | Di Bawah | |
Nang kana | Teng Riku | Ning Kono | Teng Kono / Ing Kono | Di situ | |
Nang Mendhi | Teng Pundi | Ning êndi | Teng Pundi / Ing Pundi | di mana | |
Nini | ? | Nini | Bude | Nenek | |
Ngaji | ? | Ngaji | Ngaos | Mengaji | |
Nginum | Ngombe | Nginung / Ngombeh | Minum | ||
Nguyu | ? | Nguyu | Nyeni | Kencing | |
Olih | ? | Olih | Angsal | Mendapat | |
Omong | Gunêm | Catur | Ngendika / Gunêm | Bicara | |
Pada | ? | Pada | Sami | Sama | |
Pada bae | ? | Pada bae | Sami mawon | Sama saja | |
Pancal | ? | Tendang | |||
Papat | ? | Papat | Sêkawan | Empat | |
Parêk | ? | Parêk / Cêdhak | Cakêt | Dekat | |
Pasar | Pêkên | Pasar | Pêken | Pasar | |
Pate | Padem | Paten | Padêm | Padam | |
Pati | ? | Nemen / Pati | Patos | Terlalu | Beli Pati Doyan (Tidak Terlalu Suka) |
Payung | ? | Payung | Pajeng | Payung | |
Pêrabot | Pêranti | Abah | Pirantos | Perabotan | |
Pêrcaya | Pêrcantên | Pêrcaya | Pêrcayanipun | Percaya | |
Lawang | Kontên | Lawang | Kontên | Pintu | Lawang arep (Pintu Depan), Lawang Gada (Pintu Gerbang)keramas |
Pira | ? | Pira | Pintên | Berapa | |
Piring | ? | Ajang | Ambeng | Piring | |
Polah | ? | Akeh polah | Sêlêwa | oleh / laku | akeh polah (banyak perlakuan, banyak tingkah) |
Punten | Hampura | Sêpurane / Ngapurane | Nyuwun Pangapuntên | Maaf | |
Purun | ? | Arep / Purun | Lajeng | Mau | Panjenengan purun?(kamu mau?) |
Putih | Pethak | Putih | Pethak | Putih | |
Rabi / Kurên | Istri | Bojo | Sekurên | Istri | Sekurên = Sejodoh |
Rada | Rabi | Rada | ? | Agak | Rada Manis (agak manis) |
Rewel | ? | Rewel | ? | Cerewet | |
Ro / Rua | Kalih | Loro | Kalih | Dua | |
Rungu | Pireng | Ngêrungu | Mireng / Midhanget | Dengar | Ngrungu, Mireng (Mendengar) |
Sabên | ? | Sabên | Unggal | Setiap | |
Salah | ? | Salah | Sawon | Salah | |
Sambut | Sambêt | Nyelang | Sambat | Pinjam | |
Sapa | ? | Sapa | Sinten | Siapa | (Kaliyan Sinten? "Sama Siapa?") |
Sawah | ? | Sawah | Sabin | Sawah | |
Sedang | Siweg | Nglakoni | Siweg | Sedang (Melakukan) | (Siweg Punapa? "Sedang Apa") |
Sega | Sêkul | Sega | Sêkul | Nasi | |
Sejen | Liya | Sejên | Liya | Lain | (Mangga diterasken Liya-liya ae = "Silahkan diteruskan lain-lainnya") |
Sekien | Sêniki | Sekiên | Sêniki | Sekarang | |
Sekiki | Benjing | Sukiki / Sêsuk / Mbesuk | Benjing | Besok | |
Senajan / Ari | Menawi | Senajan | Menawa /Menawi | Walau | |
Seneng | Bungah | Seneng / Berag | Bingah / Bungah | Senang | |
Setitik | Sakedik | Setitik | Sêkedik | Sedikit | |
Siji | Tunggal | Siji | Sêtunggal | Satu | |
Sira | Panjenengan | Slira / Sira / Sampêyan | Panjênêngan | Anda | |
Sira | Panjênêngan | Kowe / Slira | Sampeyan / Panjênêngan | Kamu | |
Srog | Mangga | mangga | Sumangga | Silahkan Ambil | Cirebonan : "Ya Asrog (Silahkan Ambil)" |
Suwe | ? | Suwe | Lami | Lama | |
Ya | Mangga | êndhang / Mangga | Sumangga | Silahkan | Cirebon : "Ya Asrog (Silahkan Ambil)" |
Taken | Dangu | Takon | Taken / Dangu | Tanya | Andangu (Bertanya) |
Tamu | ? | Tamu | Sema | Tamu | |
Tanduk | Singat | Tanduk | Singat | Tanduk | |
Teka | Dugi | Teka | Dugi | Tiba | |
Telu | ? | Telu | Tiba | Tiga | |
? | ? | Panggon | Panggen | Tempat | |
Terus | Teras | Nutugna | Nêrusêna | Teruskan | |
? | ? | Genah | Tilari | Tinggal | |
Tua | Sepuh | Tua | Sepuh | Tua | |
Tuku | ? | Tuku | Tumbas | Beli | |
Tur | Tunten | Bacut | Lajeng | Selanjutnya | |
Turu | Kilem / Tilem / Kulem | Turu | Sare / Tilem | Tidur | |
Umah | Griya | Umah | Griya | Rumah | |
Untap | ? | Dêlagdag | Nguntap | Durhaka | |
Upai | ? | ngupai / Upai | Sukani | Beri | Ngupai, Nyukani (Memberi) |
Urip | ? | Urip | Gesang | Hidup | |
Uwis | Sampun | Uwis / Pêragat | Sampun | Sudah | |
Wadon | Istri | Wadon | Istri | Perempuan | |
Waktu | Sela | Waktu / Sela Wektu | Waktos / Wentos | Waktu | |
Wanci | Wayah | Wanci | Wayah | Saat | |
Wareg | Tuwuk | Wareg | Tuwuk | Kenyang | |
Wong | Tiyang | Uwong / Menungsa | Tiyang | Orang | |
Wulan | Sasi | Wulan | Sasi | Bulan | |
? | Kajaba | ? | Kajaba | Kecuali | |
? | Lan | Lan / Ambi | Marang / Dhumateng | Dan | |
? | Jentik | Jentik | Jentik | Kelingking | |
? | Leb | Ditutup | Dileb | "Dileb = Ditutup" (Penggunaan Pada "Pintu") | |
? | Maksad | Maksude | Maksadipun | Maksud | (Maksadipun = Maksudnya) |
? | Wiraos | Ngomong | Wiraos | Bicara | |
Belajar | Sinau / Ginau | Belajar | Sinau / Genau / Ginau | Belajar | |
? | Kah | Iku | Meriku | Itu | (dekat dari si pembicara) |
? | Waras | Bregas | Waras | Sehat | |
? | Bethek | Adang | Bethak | Menanak Nasi | |
? | Serat | Jungkat | Serat | Serabut / Serat | |
? | ? | Kengulu | Kajang | Bantal |
Ragam dialek
[sunting | sunting sumber]Pada masa pemerintah Hindia Belanda, asisten Residen Cirebon J. N Smith pernah meneliti tentang ragam kosakata bahasa Cirebon yang ada di wilayah karesidenan Cirebon dan hasil penelitiannya diterbitkan pada tahun 1926, dalam penelitiannya ia juga memasukan contoh cerita rakyat yang ditulis menggunakan bahasa Cirebon (pada masa tersebut J. N. Smith menyebutnya sebagai Javansch dialect van Cheribon),[42] berikut kutipan kisah yang ia masukan dalam hasil penelitiannya ;
Ana wong doewè anak wadon sidji, aranè si Bawang Poeti. Bareng anoe bokè mati, bapaè rabi maning, doewè anak wadon aranè si Bawang Abang. Ning sawidji dina si Bawang Poeti dikongkon basoe tjangkir ning baé kewalon; tjangkir toli digawa dïbasoe ning pinggir kali; lagi di-basoei tjangkirè mroetjoet ketjemploeng ning djero kali. Bawang Poeti balik wewara ning baè kewalon; baè kewalon njèwot, si Bawang Poeti dioembangi entok bresi sarta dikongkon-gogoni. Bawang Poeti loenga ning pinggir kali ketemoe lagan iwak wader. Bawang Poeti takon ning iwak wader bari nembang:
Iwak wader, iwak wader nemoe beli tjangkir kita, do tjètjè, do tjètjè, ala boedak katitjian.
Artinya, Ada seseorang memiliki anak perempuan satu, (yang) satu namanya bawang putih. Kemudian ibunya meninggal, bapaknya kawin lagi, punya anak perempuan namanya bawang merah. Pada suatu hari bawang putih disuruh mencuci cangkir oleh ibu tirinya. Cangkir tersebut terus dibawa dicuci di pinggir sungai. Lagi dicuci gelasnya terlepas masuk ke dalam sungai. Bawang putih pulang dan memberitahu ibu tirinya, ibu tirinya marah. Si bawang putih dimarahj habis-habisan serta disuruh mencarinya. Bawang putih pergi kepinggir sungai bertemu dengan ikan wader. Bawang putih bertanya ke ikan wader sambil bernyanyi
Iwak wader... iwak wader tahu gelas aku tidak... duh cece... duh cece... Ala anak kacician.[42]
Nurdin M. Noer, ketua Lembaga Basa lan Sastra Cirebon berpendapat bahwa bahasa Cirebon memiliki setidaknya ada beberapa dialek, yakni dialek Dermayon (dikenal juga sebagai bahasa Indramayuan), Jawareh (Jawa Sawareh; bahasa Jawa Separuh), Plered, dan Gegesik (Cirebon barat laut).[15] Sedangkan menurut Dini Zahrotud Diniyah, bahasa Cirebon yang dituturkan di Cirebon memiliki beberapa dialek, diantaranya dialek Arjawinangun, Dermayon, Campuran (Jawa Sawareh), dan Kuningan.[46] Sebesar 59% masyarakat Cirebon menggunakan bahasa Cirebon dialek Arjawinangun, sebanyak 16% menggunakan dialek Campuran, sebanyak 6% menggunakan dialek Dermayon dan Kuningan. Dari 47 penutur bahasa Cirebon, 32 diantaranya adalah penutur dialek Arjawinangun. Selebihnya sebanyak 15 orang adalah penutur dialek Dermayon, Campuran, dan Kuningan.
Hendrik Blink dalam buku berjudul Nederlandsch Oost- en West-Indië, geographisch, ethnographisch en economisch beschreven yang diterbitkan pada tahun 1905, menjelaskan bahwa bahasa Cirebon yang ketika itu disebut sebagai Cheribonsch Javansch, menguasai wilayah penuturan yang sangat luas bahkan hingga jauh ke timur. Sedangkan Hendrik Blink juga mengkategorikan wilayah Indramayu sebagai wilayah percampuran bahasa di mana wilayah Indramayu diapit oleh wilayah bahasa Sunda dan bahasa Cirebon.[47]
Dialek Indramayu (Dermayon)
[sunting | sunting sumber]Hendrik Blink mengkategorikan wilayah Indramayu sebagai wilayah percampuran bahasa di mana wilayah Indramayu diapit oleh wilayah bahasa Sunda dan bahasa Cirebon,[47] berkenaan dengan perbedaan kosakata diantara bahasa Cirebon standar dengan dialek Indramayu menurut Ajip Rosidi (seorang budayawan Cirebon) perbedaan tersebut tidak mencapai 30% sehingga dalam kajian kebahasaan sebenarnya ragam bahasa Cirebon yang ada di Indramayu belum bisa dikatakan sebagai sebuah dialek.[2]
Ayatrohaedi dalam penelitiannya, menjelaskan bahwa di Indramayu hanya terdapat sekitar sebelas desa yang berbahasa Sunda di mana empat desa diantaranya merupakan desa dengan status enclave bahasa Sunda karena dikelilingi oleh desa-desa yang berbahasa Cirebon.[28]
Dialek Jawareh (Jawa Sawareh)
[sunting | sunting sumber]Dialek Jawareh atau disebut juga sebagai Jawa Sawareh adalah dialek dari bahasa Cirebon yang berada disekitar perbatasan Kabupaten Cirebon dengan Brebes, atau sekitar Perbatasan dengan Kabupaten Majalengka dan Kuningan. Dialek Jawareh ini merupakan gabungan dari bahasa Cirebon yang bercampur dengan bahasa Jawa dan bahasa Sunda.[48]
Dialek Arjawinagun
[sunting | sunting sumber]Dialek Arjawinangun merupakan dialek yang dituturkan oleh masyarakat Cirebon di daerah kecamatan Arjawinangun, kabupaten Cirebon. Dialek ini cenderung masih asli dan tidak terpengaruh bahasa lain meskipun tidak bisa dikategorikan sebagai bahasa Cirebon yang baku. Dialek ini juga merupakan dialek yang paling banyak digunakan oleh masyarakat di Kota Cirebon.[46]
Dialek Plered, Panguragan, dan Cirebon Lor
[sunting | sunting sumber]Dialek Plered dan Cirebon Lor merupakan dialek bahasa Cirebon yang digunakan di wilayah sebelah barat dan utara Kabupaten Cirebon, serta Krangkeng, Indramayu. Dialek ini dikenal dengan cirinya yaitu penggunaan huruf "o" yang kental, misalkan pada Bahasa Cirebon standar menggunakan kata "sira", dialek Kabupaten Cirebon bagian Barat dan Utara (Kapetakan,Suranenggala), dan Krangkeng, Indramayu ini menggunakan kata "siro" untuk mengartikan "kamu", kata "apa" menjadi "apo", ora menjadi "oro", "gawa" (membawa) menjadi "gawo", "sapa" menjadi "sapo", dan "jendela" menjadi "jendelo". Penutur dialek yang menempati kawasan barat dan utara Kabupaten Cirebon ini lebih mengekspresikan dirinya dengan sebutan "Wong Cirebon", berbeda dengan Penduduk Kota Cirebon yang menggunakan bahasa Cirebon standar (sira) yang menyebut diri mereka sebagai "Tiang Grage", walaupun antara "Wong Cirebon" dan "Tiang Grage" memiliki arti yang sama, yaitu "orang Cirebon".[48]
Parikan dialek Plered (Pantun Cirebon)
[sunting | sunting sumber]Berbalas pantun atau Parikan dalam bahasa Cirebon dialek Plered antara Widudung Hamdan, Sipo, dan Wahyu Pawaka.
Widudung Hamdan
Uwoh srikayo dipaih tawas |
Biji srikaya diberi tawas |
Sipo
Angon wedus ning jagat dermayu |
Menggembala kambing di wilayah Indramayu |
Widudung Hamdan
Ano sego dimot ning kardus |
Wahyu Pawaka
Isuk-isuk tuku srabi |
Pagi-pagi beli serabi |
Widudung Hamdan
Miyang neng Grage tuku penganan |
Berangkat ke Grage membeli makanan |
Wahyu Pawaka
Uler gendon ngreketi pelem |
Widudung Hamdan
Gawe adon-adon kanggo gawe apem |
Membuat adonan untuk membuat apam |
Dialek Gegesik
[sunting | sunting sumber]Dialek Gegesik merupakan dialek yang digunakan di wilayah Cirebon Barat wilayah Utara disekitar Kecamatan Gegesik, dialek Gegesik sering digunakan dalam bahasa pengantar Pewayangan oleh Dalang dari Cirebon dan kemungkinan dialek ini lebih halus ketimbang dialeknya "Wong cirebon" sendiri.[49]
Perbandingan antar dialek bahasa Cirebon
[sunting | sunting sumber]Cirebon Baku | Arjawinangun | Indramayu | Plered | Gegesik | Pekaleran* | Indonesia |
---|---|---|---|---|---|---|
ana | ana | ana | ano | ana | ana | ada |
apa | apa | apa | apo | apa | apa | apa |
bapa | bapa/mama | bapa | mama | bapa/mama | bapak | bapak |
bli | bli | ora | bli | bli/oro | bli/ora | tidak |
dulang | dulang | dulang | dulang | muluk | suap | makan |
elok | lok | sokat | lok | sok | ilok | pernah |
isun | isun/kita | reang | isun/kito | isun/kita | nyong/kita | saya |
kula | kula | kula | kulo | kula/kami | kula | saya/kami |
laka | laka/langka | laka | langko | laka | laka/langka | tidak ada |
mamang | mamang | mamang | mang | mang | mamang/amang | paman |
salah | salah | salah | salo | salah | salah | salah |
sewang | sewong | sewong | sewong | sewong | sewang/ewang | seorang |
sokiki | kiki/sokiki | kiki/sokiki | mengke | sokiki | isuk | besok |
- Dialek Pekaleran digunakan di Kabupaten Majalengka bagian utara, oleh karenanya disebut Pekaleran (sebelah utara), wilayah utama penggunanya ada di Kecamatan Kertajati, Jatitujuh, Ligung, Sumberjaya, sementara wilayah sekitarnya seperti Kecamatan Leuwimunding, Palasah, Jatiwangi, Dawuan, Kasokandel, Sukahaji, dan Sindang merupakan wilayah percampuran antara bahasa Sunda dialek Majalengka dengan bahasa Cirebon dan Banyumasan yang dikenal dengan bahasa Jawareh (Jawa Sewareh).
Kongres bahasa Cirebon
[sunting | sunting sumber]Kongres Bahasa Cirebon pertama kali dicetuskan secara resmi oleh sekitar 70-an orang yang terdiri dari para budayawan, pakar dan pengajar bahasa, seniman dan kaum intelektual yang menghadiri seminar sehari "Dialog Interaktif Bahasa Cirebon" yang diselenggarakan di kota Cirebon atas kerjasama Pikiran rakyat, Mitra Dialog dan Forum Dialog Budaya Cirebon (FDBC), Wali kota Cirebon yang pada saat itu dijabat oleh bapak Subardi segera menyatakan dukungan penuh terhadap rencana penyelenggaraan Kongres Bahasa Cirebon.
Dalam seminar sehari tersebut di antaranya dihadiri oleh ;
- Dr. H. Dadang Dally, M.Si (Kadisdik Jawa Barat)
- Drs. H. Zakaria Mahmud (Rektor Universitas Swadaya Gunung Jati - UNSWAGATI)
- Drs. H. Wahyo, M.Pd (Kadisdik kota Cirebon)
- Drs. H. Zaenal Abidin, M.Si (Kadisdik kabupaten Cirebon)
- Ahmad Sybubanuddin Alwi (Budayawan)
- Saptaguna (Budayawan)
- H. Nurdin M. Noer (Kepala Balitbang Mitra Dialog)
- Drs. Made casta, M.Pd (Budayawan dan Karikaturis)
- Drs. Wasikin Marzuki atau Ki Jatira (Pemimpin Mitra Dialog)
Rektor Universitas Swadaya Gunung Jati (UNSWAGATI) Drs. Zakaria Mahmud merupakan orang pertama yang mula-mula mengemukakan usulan diadakannya Kongres Bahasa Cirebon.
"Perlu ada Kongres Bahasa Cirebon. Kongres Bahasa Cirebon merupakan momentum bagi tumbuhnya kesadaran bersama dalam pelestarian dan pengembangan bahasa Cirebon. Melalui Kongres Bahasa Cirebon, bahasa Cirebon juga bisa menjadi alternatif kebahasaan. Bahkan ke depan, bahasa Cirebon bisa ikut memengaruhi bahasa nasional,"
Wali kota Cirebon bapak Subardi yang mendukung ide ini kemudian menyatakan,
Kongres Bahasa Cirebon menjadi penanda bahwa masyarakat Cirebon dari berbagai latar belakang, sepakat dengan satu hal, yakni penegasan bahwa bahasa Cirebon sebagai salah satu identitas khas dari keberadaan budaya (kultur) Cirebon. Cirebon ini memiliki kekhasan budaya. Cirebon bukan Sunda, juga bukan Jawa, tetapi Cirebon dengan kekhasannya. Mengangkat khazanah bahasa, berarti mengangkat pula kultur Cirebon yang spesifik. Siapa lagi yang akan mengapresiasi khazanah lokal itu kalau bukan masyarakat Cirebon itu sendiri,"
Disela-sela dukungan yang ada, Drs. Made Casta M.Pd juga angkat bicara mengenai fenomena kebahasaan ini, di mana telah terjadi pembunuhan bahasa (linguacide) oleh bahasa Indonesia yang merupakan bahasa lingua-franca yang ditetapkan secara politis terhadap bahasa-bahasa daerah, termasuk bahasa Cirebon yang jika tidak dilestarikan akan segera menemui kepunahannya.
Karena kekeliruan politik bahasa itu (red: bahasa Indonesia) menjadikan bahasa lokal, termasuk Cirebon bisa mengalami kepunahan, tingkat apresiasi masyarakat akan terus mengalami degradasi, karena itu dibutuhkan kajian dari aspek sosial-budaya untuk pelestarian dan pengembangan.
Harus dicari benang merah pengembangan bahasa lokal dari aspek hubungan dialektikanya dengan masyarakat. Pendekatannya mencerminkan dialektika antara bahasa dengan kompentensi sosiokultural. Sekarang ini, kurikulum dan pembelajaran bahasa Cirebon masih menekankan pada kompetensi linguistik. Sistem tata bahasa Jawa yang diseleraskan dengan pengistilahan dalam bahasa Indonesia begitu kuat didesakan kepada para siswa. Padahal itu terlepas dari konteks sosial-budayanya. Harusnya dibangun kurikulum dan pembelajaran bahasa Cirebon yang berpusat pada lingkup sosial budaya siswa atau student centred. Tanpa itu,
semua akan sia-sia,"
Pada acara "Dialog Interaktif Bahasa Cirebon" tersebut disepakati bahwa Kongres Bahasa Cirebon pertama akan diadakan pada tahun 2006.[50]
Kongres Bahasa Cirebon pertama
[sunting | sunting sumber]Kongres Bahasa Cirebon pertama (KBC I) dilaksanakan sebagai tindak lanjut dari hasil kesepakatan seminar sehari "Dialog Interaktif Bahasa Cirebon" yang diselenggarakan di kota Cirebon.
Kongres Bahasa Cirebon pertama bertujuan untuk memperkuat posisi bahasa Cirebon dan mendukung upaya-upaya pelestariannya.
Kongres Bahasa Cirebon kedua
[sunting | sunting sumber]Kongres Bahasa Cirebon kedua (KBC II) diadakan selama tiga hari yang sejak tanggal 26 - 28 Juni 2013 di Hotel Prima kota Cirebon dengan tema Dedangdan basa, mengkuhaken budaya (memperbaiki bahasa, memperkokoh budaya)
Salah satu target yang ingin dicapai dengan kongres bahasa Cerbon saat ini yakni, segera mewujudkan wacana dibukanya program studi bahasa Cerbon di perguruan tinggi swasta maupun negeri, setidaknya yang ada di wilayah Cirebon. Berdasarkan survey, penutur bahasa Cerbon cukup banyak mencapai 4 juta. (Supali Kasim - Ketua Panitia Kongres Bahasa Cirebon kedua sekaligus Budayawan Indramayu)
Pra-Kongres Bahasa Cirebon kedua
[sunting | sunting sumber]Sebelum diadakanya Kongres Bahasa Cirebon kedua, pada tanggal 3 - 4 Desember 2012 diadakan terlebih dahulu pra-Kongres Bahasa Cirebon yang berbentuk saresehan (acara silaturahmi), dalam teks sambutan, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan menyatakan bahwa ia sangat menghargai dan mengapresiasi masyarakat yang masih peduli untuk memelihara, melestarikan dan mengembangkan bahasa Cirebon dalam kehidupannya pada era globalisasi ini.[52]
Sementara, Prof. Dr. H. Wahyudin Zarkasih yang merupakan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat dalam makalah bahasa Cirebon miliknya yang berjudul Melu Ngurip-urip lan Ngembangaken Basa Cerbon menyatakan, kebijaksanaan pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam hal mengembangkan dan memelihara bahasa Cirebon itu merupakan landasan untuk menyusun program dan kegiatan yang intinya perencanaan strategis Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat dan tugas pokok, fungsi, rincian tugas Balai Pengembangan Bahasa Daerah dan Kesenian sebagai UPTD Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat.
Tim perumus pra-Kongres Bahasa Cirebon di antaranya merekomendasikan untuk melaksanakan Kongres Bahasa Cirebon kedua (KBC II) pada tahun 2013 agar lebih bermanfaat bagi perkembangan bahasa Cirebon.[53]
"Dari hasil kegiatan ini diharapkan akan lebih tergali lagi potensi bahasa Cirebon dan akan bermanfaat bagi perkembangan bahasa Cirebon itu sendiri," (Wiyana Sundari - Kabid Kebudayaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat
Peserta kongres Bahasa Cirebon kedua
[sunting | sunting sumber]Peserta Kongres Bahasa Cirebon kedua diikuti sekitar 150 orang yang berasal dari unsur seperti guru, dosen, ustad, seniman, budayawan, jurnalis, legislatif, eksekutif dan penggiat bahasa Cirebon.
Selain dari wilayah kota dan kabupaten Cirebon serta kabupaten Indramayu, para peserta juga datang dari wilayah utara kabupaten Majalengka yang dikenal dengan nama pakaleran, wilayah kabupaten Subang dan kabupaten Karawang.
Narasumber yang hadir pada Kongres Bahasa Cirebon kedua di antaranya ;
- Ajip Rosidi (Budayawan)
- Hj. Anna Sophanah (Bupati Indramayu)
- Drs. H. Ano Sutrisno, M.Si (Wali kota Cirebon)
- Drs. H. Dedi Supardi, M.M (Bupati Cirebon)
- Prof. Dr. H. Wahyudin Zarkasyi, CPA (Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat)
Rekomendasi Kongres Bahasa Cirebon kedua
[sunting | sunting sumber]Kongres Bahasa Cirebon kedua yang diselenggarakan pada tanggal 26 - 28 Juni 2013 menghasilkan keputusan dua belas butir rekomendasi yang dirumuskan oleh tim perumus yang beranggotakan Made Casta (ketua), Raffan Hasyim (sekretaris), Adin Imadudin (anggota), Nurdin M. Noer (anggota)dan Supali Kasim (anggota sekaligus budayawan indramayu)terkait upaya-upaya pelestarian dan pengembangan bahasa Cirebon, butir-butir rekomendasi tersebut ditulis dengan bahasa Cirebon, berikut rekomendasinya[54].[55]
Pemréntah Propinsi Jawa Barat, Kabupaten/Kota Cirebon lan Indramayu nglakukaken pamengkuhan status basa Cerbon ngliwati penetepan Peraturan Daerah, Peraturan Bupati/Wali kota lan Keputusan Bupati/Wali kota perkawis pelanggengan basa, sastra lan carakan.
(Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Kabupaten/Kota Cirebon dan Indramayu melakukan penguatan terhadap status bahasa Cirebon melalui penetapan Peraturan Daerah, Peraturan Bupati/Wali kota dan Keputusan Bupati/Wali kota berkenaan upaya pelestarian bahasa, sastra dan aksara carakan Cirebon)
Pemréntah Propinsi Jawa Barat, Kabupaten/Kota Cirebon lan Indramayu madahi plaksanan penelitiyan-penelityan perkawis basa, sastra lan carakan Cerbon kanggé mantepaken keajegan basa Cerbon kanggé ngangsalaken legitimasi ilmiyah minangka wujud prancanan sumber data pelanggengan lan ngembangaken basa Cerbon.
(Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Kabupaten/Kota Cirebon dan Indramayu mewadahi pelaksanaan penelitian-penelitian berkenaan bahasa, sastra dan aksara carakan Cirebon untuk menguatkan posisi bahasa Cirebon guna mendapatkan legitimasi ilmiah sebagai wujud perencanaan sumber data pelestarian sekaligus menyembangkan bahasa Cirebon)
Pemréntah Propinsi Jawa Barat, Kabupaten/Kota Cirebon lan Indramayu netepaken basa Cerbon, minangka basa padinan/bagongan lan bebasan.
(Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Kabupaten/Kota Cirebon dan Indramayu menetapkan bahasa Cirebon sebagai bahasa sehari-hari/bagongan dan bebasan)
Pemréntah Propinsi Jawa Barat, Kabupaten/Kota Cirebon lan Indramayu swagata (menjamin) kalaksanané piwulangan basa Cerbon, teng kubengan kaluwarga, masyarakat lan sekolah awit undagan SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA kelayan nganggé kecaketan budaya, boten nganggé kecaketan wewengkon pulitik (geopolitik) ingkang bakal nrubusaken rasa ingkang boten adil.
(pemerintah Provinsi Jawa Barat, Kabupaten/Kota Cirebon dan Indramayu secara bersama-sama menjamin pelaksanaan pengajaran bahasa Cirebon di lingkungan keluarga, masyarakat dan sekolah mulai dari tingkatan SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA secara bersinergi guna menumbuhkan kedekatan budata, tidak untuk menumbuhkan kedekatan wilayah politik (geopolitik) yang akan memunculkan rasa tidak adil)
Pemréntah Propinsi Jawa Barat, Kabupaten/Kota Cirebon lan Indramayu swagata (menjamin) kasediyaané buku teks lan buku penunjang piwulangan basa Cerbon ingkang selaras sareng kebutuhan.
(Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Kabupaten/Kota Cirebon dan Indramayu secara bersama-sama menjadim tersedianya buku bacaan dan buku penunjang pengajaran bahasa Cirebon yang selaras dengan kebutuhan)
Pemréntah Propinsi Jawa Barat, Kabupaten/Kota Cirebon lan Indramayu netepaken lan megaraken sarta nrubusaken bebasaan Cerbon, pamberdayan waktos-waktos bebasaan basa Cerbon lan nyukani pengajénan dumateng pelanggeng, pegiyat minangka piyambek utawi lembaga lan seniman ingkang nggadahi prestasi.
(Pemenrintah Provinsi Jawa Barat, Kabupaten/Kota Cirebon dan Indramayu menetapkan dan menghidupkan kembali serta memunculkan bahasa cirebon tingkat bebasan, mengadakan waktu-waktu wajib berbahasa Cirebon dan memberikan apresiasi terhadap para pelestari, penggiat perorangan atau lembaga dan seniman yang memiliki prestasi)
Pemréntah Propinsi Jawa Barat, Kabupaten/Kota Cirebon lan Indramayu nyambungaken pamengkuhan Lembaga Basa lan Sastra Cerbon (LBSC) saking aspek organisasi kelembagaan lan program-program dedamelan.
(Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Kabupaten/Kota Cirebon dan Indramayu melanjutkan penguatan Lembaga Basa lan Sastra Cirebon (LBSC) dari aspek-aspek organisasi kelembagaan hingga program-program kerja)
Unggal pengguron inggil (perguruan tinggi) lan lembaga penelitiyan/kajiyan ngembangaken peran Tri Dharmanipun kanggé mundhakaken aji basa Cerbon sacara kaélmuwan ngliwati pinten-pinten dedamelan ingkang selaras.
(Setiap perguruan tinggi dan lembaga penelitian/kajian mengembangkan peran Tri Darma-nya untuk memuliakan nilai luhur bahasa Cirebon secara keilmuan melalui berbagai program kerja yang selaras)
Media massa ambika rubrik lan madetaken rubrikasi, program utawi dedamelan pelanggengan lan pangembangan basa Cerbon.
(Media massa menyediakan rubik dan memperkaya rubrikasi, program atau usaha pelestarian dan pengembangan bahasa Cirebon)
Masyarakat penganggé basa Cerbon kedah mundhakaken rasa anderbéni lan tanggungjawab dumateng pelanggengan lan pangembangan basa Cerbon, teng kubengan kluwarga lan tundunan sosial budaya masyarakat.
(Masyarakat pengguna bahasa Cirebon harus meningkatkan rasa memiliki dan tanggung jawab terhadap pelestarian dan pengembangan bahasa Cirebon di lingkungan keluarga dan dilingkungan pergaulan sosial budaya masyarakat)
Pesantrén-pesantrén kedah ngunggulaken penganggéyan basa Cerbon teng selebeté komunikasi lan basa ater-ater piwulangan.
(Pesantren-pesantren harus menguatamakan penggunaan bahasa Cirebon di dalam berkomunikasi dan sebagai bahasa pengantar dalam pengajaran)
Keraton-keraton Cirebon ngutamakaken pengayoman, bedaran lan pangembangan naskah-naskah, kempalan-kempalan sosial minangka wujud pelanggengan pangembangan basa Cerbon.
(keraton-keraton Cirebon harus mengutamakan upaya perlindungan, penelitian dan pengembangan naskah-naskah, tempat berkumpul masyarakat sebagai wujud pelestarian pengembangan bahasa Cirebon)
Pengembangan dan pelestarian
[sunting | sunting sumber]Pengembangan dan pelestarian bahasa Cirebon menurut Imam Miftahul Jannah (aktifis bahasa Cirebon) dikatakan masih minim, sebagai contohnya adalah hanya diberikannya waktu satu jam bagi muatan lokal bahasa Cirebon sementara pelajaran bahasa Inggris diberikan waktu lebih banyak ketimbang bahasa Cirebon yang merupakan bahasa ibu.[56]
Penerjemahan Al-Qur'an dalam bahasa Cirebon
[sunting | sunting sumber]Pada tahun 2020 dengan diketuai oleh Dr. H. Ahmad Yani, M.Ag dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syekh Nurjati proses penerjemahan al Qur'an ke dalam bahasa Cirebon berlangsung, sepanjang 2020 telah berhasil diterjemahkan sebanyak 10 juz al Qur'an, diantara para ahli yang tergabung dalam tim penerjemahan Al Qur'an ke dalam bahasa Cirebon terdapat nama K.H. Ahsin Sakho Muhammad dari pesantren Dar Al Tauhid (Arjawinangun) yang merupakan lulusan Doktoral dari Madinah, selain ia, tim juga diperkuat oleh Mukhtar Zaedin yang merupakan seorang budayawan Cirebon.[57]
Validasi Al Qur'an dalam bahasa Cirebon
[sunting | sunting sumber]Kegiatan penerjemahan Al Qur'an ke dalam bahasa Cirebon telah memasuki tahap validasi yang diselenggarakan pada tanggal 28-30 Juni 2022 di Kuningan.[58]
Penetapan hari penggunaan bahasa Cirebon
[sunting | sunting sumber]Pelestarian bahasa Cirebon dalam lingkungan Pemerintah Daerah kota Cirebon ditandakan dengan ditetapkannya hari Selasa sebagai hari pengunaan bahasa Cirebon. Pada hari Selasa, menurut Agus Sukmanjaya selaku kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) kota Cirebon, bahasa Cirebon dipergunakan sebagai bahasa pengantar dalam apel Pemerintah Daerah dan dialog antar pekerjanya termasuk dialog dalam grup Whatsapp.[59]
Pelestarian Era Digital dan Media Sosial
[sunting | sunting sumber]Bahasa Cirebon pada setiap masanya memiliki model pelestarian yang beragam, termasuk pada era digital dan media sosial. Salah satu yang cukup menonjol adalah apa yang dilakukan oleh situs kamuscirebon.com. Selain fungsi utamanya sebagai kamus (investasi kosakata) di dalamnya juga menambahkan blog sebagai penjang informasi terkait dengan bahasa cirebon. Menariknya kamus cirebon online ini menancapkan satu tujuan utama adalah untuk membantu siapapun yang ingin bersentuhan langsung dengan Bahasa Cirebon, baik untuk kebutuhan akademis ataupun hanya sebagai tambahan kosa-kata dalam komunikasi sehari-hari.[60]
Selain bentuk kamus digital, pelestarian bahasa Cirebon juga dilakukan secara digital dengan pembuatan aplikasi permainan berwawasan tebakan kosakata-kosakata dalam bahasa Cirebon, aplikasi tersebut dinamakan Badekan basa Cerbon dan dibuat oleh Muhammad Anis Al Hilmi dan tim[61][62]
Catatan kaki
[sunting | sunting sumber]- ^ Hanya mencakup Kabupaten dan Kota Cirebon, Kabupaten Indramayu dan sebagian utara Kabupaten Majalengka dan Subang.
- ^ Kata Cêrbon sendiri hanya sebatas fonologi. Secara ortografis, dalam Rikasara dan Carakan tetap ditulis "Cirebon".
- ^ Bahasa Cirebon merupakan dialek bahasa Jawa.
Referensi
[sunting | sunting sumber]
|
Catatan
[sunting | sunting sumber]- ^ Berdasarkan penjelasan dalam Wyakarana Tata Bahasa Cirebon dinyatakan bahwa bahasa Cirebon berasal dari bahasa Sansekerta dengan tidak mengabaikan kata-kata serapan yang berasal dari bahasa Arab, Cina, Portugis, Jawa dan Belanda