[go: up one dir, main page]

Lompat ke isi

Achmad Hudan Dardiri

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Achmad Hudan Dardiri
Bupati Jombang 11
Masa jabatan
1978–1983
PresidenSoeharto
GubernurSoenandar Prijosoedarmo
Sebelum
Pendahulu
R. Soedirman
Sebelum
Wali Kota Pasuruan 9
Masa jabatan
1969–1975
PresidenSoeharto
GubernurR.P. Mohammad Noer
Sebelum
Pendahulu
Soejono
Pengganti
Harjono
Sebelum
Informasi pribadi
Lahir(1924-04-07)7 April 1924
Malang, Hindia Belanda
Meninggal26 Juni 2007(2007-06-26) (umur 83)
Malang, Indonesia
Suami/istriEmma Yuliasma (meninggal 1998)
Niken Mudrikah
ProfesiMiliter, Guru
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Achmad Hudan Dardiri (7 April 1924 – 26 Juni 2007) adalah Bupati Jombang yang menjabat pada periode 1979-1983 dan Wali Kota Pasuruan yang menjabat pada tahun 1969 hingga 1975.

Kehidupan awal

[sunting | sunting sumber]
Hudan Dardiri muda

Masa kecil Hudan bersama orang tua dan saudara-saudaranya tersebut ia jalani dengan penuh keprihatinan dan hidup dalam kesederhanaan. Ia masuk sekolah semacam Madrasah di daerah Jagalan. Di sela-sela waktu senggang ia belajar mengaji secara intensif kepada Sutan Hasan Halim, yang kemudian menjadi bapak angkatnya karena Hudan kecilbegitu disayanginya dan lantaran kepandaian dan ketekunannya dalam belajar. Ia juga aktif mengikuti kegiatan kepanduan pramuka yang kelak dunia kepramukaan ini digelutinya hingga di usia lanjut. Di samping bersekolah di Madrasah, ia juga masuk Sekolah Rendah (SR) dari tahun 1930 sampai 1938. Kemudian masuk Sekolah Guru Muallimin dari 1938 sampai 1941.

Lalu ia masuk sekolah Taman Dewasa pada 1943. Saat itu bimbingan dari seorang tokoh muslim lokal, Kyai Haji Sukri, telah mampu menambah wawasan keislaman Hudan dan memberi pengaruh besar dalam kepemimpinannya kelak. Dalam kesemangatan belajar di usia remaja hingga dewasa itu, Achmad Hudan Dardiri tak menyia-nyiakan waktu untuk berleha-leha dan bermalas-malasan. Selain didikan dari kedua orang tuanya yang keras dan berdisiplin tinggi, ia juga mendapatkan pengajaranyang ketat dan asuhan yang penuh perhatian serta gemblengan untuk memegangi prinsip hidup dan agama dari Kyai Haji Sukri dan Sutan Hasan Halim. Didikan dari mereka sangatlah bermanfaat dalam membentuk karakter dan jati dirinya. Karena itu, salah satu keahliannya yang cukup disegani adalah kemampuannya dalam menguasai 3 bahasa asing dengan lancar, yakni bahasa Inggris, bahasa Belanda, dan bahasa Arab, selain bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Di samping itu, didikan dari para guru-gurunya untuk bertabligh dan menyiarkan Agama Islam baik di pelosok desa maupun di daerah sekitar tempat tinggalnya sangatlah ditekankan. Hal ini sebagai media penggemblengan dakwah dan pembentukan jadi diri sebagai muslim yang baik ia jalankan dengan sungguh-sungguh dan sepenuh jiwa raga.

Pada masa Perang Kemerdekaan, Achmad Hudan Dardiri masuk kesatuan Chu Gakko (penerjemah) pada 1944 sampai 1947. Dan melanjutkan studinya hingga ke Universitas Brawijaya dari tahun 1964 sampai tahun 1966, dengan mengambil Fakultas Hukum, dan lulus dengan predikat Sarjana Muda.

Keluarga dan leluhur

[sunting | sunting sumber]

Ayah kandungnya bernama Haji Achmad Dardiri, lahir tahun 1860 di Malang. Ia merupakan seorang pegawai di wilayah Regentschap Malang, dan pensiun pada tahun 1960, berpendidikan HIS, dan ikut berorganisasi di perkumpulan Nahdlatul Ulama pada tahun 1926. Sang ayahanda ini meninggal pada tahun 1978.

Jika dirunut silsilah keluarga dari garis Haji Achmad Dardiri, keluarga Hudan ini memiliki persambungan darah hingga ke Raja Majapahit. Runutan silsilahnya seperti berikut: Raja Majapahit berputra: Batara Katong. Betara Katong berputra: Sunan Drajad. Sunan Drajad berputra: Kyai Tegal Arum I. Kyai Tegal Arum I memiliki putra: Kyai Tegal Arum II. Kyai Tegal Arum II berputra: Kyai Terongrancang. Kyai Terongrancang berputra: Kyai Joyosetiko I. Kyai Joyosetiko I memiliki putra: Kyai Musahal. Lalu Kyai Musahal berputra: B.A. Marman. Kemudian B.A. Marman memiliki anak: R.A. Nap. Selanjutnya R.A. Nap berputri R.A. Napsiah. Lalu R.A. Napsiah berputra: Soekasah Sosroamijoyo. Dan Soekasah Sosroamijoyo memiliki putra Achmad Dardiri, yang kemudian memiliki putra yang pertama bersebut Achmad Hudan Dardiri.[1]

Sementara ibu kandung Hudan bernama Siti Aminah, lahir pada tahun 1910, di Malang, di Jl. Tongan Gang I/ 287. Kemudian pindah rumah di Jl. Arief Margono 19. Rumah yang terakhir ini merupakan rumah keluarga Hudan di mana semua kerabat dan sanak-familinya sering berkumpul dan bersilaturahmi. Sang ibu, sebagaimana sang ayah Hudan, dahulunya juga mengikuti organisasi berupa perkumpulan Muslimat NU pada tahun 1932, sebagai suatu bentuk pengayaan dan penghayatan dalam bersosial dan dalam pengembangkan keilmuan Agama Islam.

Perkawinan Haji Hudan Dardiri dengan Siti Aminah melahirkan 12 putra-putri. Dan Achmad Hudan Dardiri adalah anak pertama mereka. Lalu saudara-saudaranya secara berurutan adalah sebagai beikut:

  1. Chusussiyah (tinggal di Blitar).
  2. Chusussiyati (tinggal di Malang).
  3. Miskiyah (tinggal di Surabaya).
  4. Zuriyah (tinggal di Jakarta).
  5. Charirotul Fuad (tinggal di Malang).
  6. Gatot Muhdil Islam Dardiri (tinggal di Malang).
  7. Hamid Dardiri (tinggal di Malang).
  8. Tuning Nurul Badriyah (tinggal di Malang)
  9. Lukman Hakim Dardiri (tinggal di Malang).
  10. Farida (tinggal di Malang).
  11. Ninik Chairani (tinggal di Malang).

Riwayat perjuangan Achmad Hudan Dardiri dalam membela tanah air pada masa pergolakan Perang Kemerdekaan adalah Perang Kemerdekaan, di Pulau Jawa, tahun 1945-1950, sebagai Penyelidik Militer Khusus. Perang Kemerdekaan, di Jawa Timur, tahun 1947-1948, di Markas Besar Pertempuran TCDT. Perang Kemerdekaan, di Malang dan Blitar, tahun 1947-1950, TRIP. DE17/Det I.

Pendidikan

[sunting | sunting sumber]

Sebagai pendidik, ia berpengalaman menjadi Guru Madrasah tingkat swasta, tahun 1941-1942, di Blitar, Guru SMP, tahun 1947-1950, di Blitar, Guru swasta SMA Muhammadiyah, tahun 1949-1957, di Blitar, Guru tingkat Taman Dewasa, tahun 1950-1957, di Blitar, Guru tingkat Taman Madya, tahun 1957-1966, di Malang, SMA Negeri 1 Malang (1951-1957), SMA Negeri 2 Malang (1957-1966), SMKA Malang (1952-1960), SHD Malang (1960-1966), PGSLP Malang (sebagai dosen, 1955-1966), KPAA Malang (1961-1966), IKIP Malang (sebagai dosen, 1957-1966). Guru di instansi Departemen Agama di SGAI/PGAA Malang (1953-1958), SGHI Malang (1953-1956), IAIN (sebagai dosen, 1960-1966). Guru di Departemen Kehakiman, pada instansi Kejaksaan (1953-1956), KMCA dan Dosen IAIN Malang (1960-1967). Rektor IKIP PGRI Jatim, di instansi Yayasan PGRI (1975-1985). Rektor IKIP PGRI Surabaya (1985- sekitar 1996). Pj. Rektor UNIPA Surabaya (1998-1999).

Menjadi Wali Kota

[sunting | sunting sumber]
Hudan Dardiri sebagai Wali Kota Pasuruan

Semenjak menjabat sebagai Wali kota Pasuruan pada tahun 1969-1975, ia mengembangkan semangat toleransi dan demokrasi baik di kalangan pemerintahan maupun kepada warga Pasuruan. Pasuruan yang merupakan daerah yang memiliki potensi budaya dan sumber alam yang luar biasa. Keberagaman masyarakatnya juga mencerminkan kerukunan yang terjalin dengan baik. Etnis tionghoa dan Arab terbilang cukup banyak. Toleransi antar etnis dan antar agama menjadi prioritas yang dicanangkan A. Hudan Dardiri, selain pengembangan dan pembangunan dalam sektor pemerintahan dan kebutuhan publik secara luas. Dalam menjalankan tugas-tugas kenegaraan itu ia berumah dinas di kompleks balai kota Pasuruan di Jl. Balaikota No. 12, Pasuruan.

Salah satu toleransi yang dikembangkan sebagai bentuk kesadaran bagaimana memahami dan menghayati nilai-nilai Agama Islam terbukti dalam suatu peristiwa yang terjadi di Masjid Agung Pasuruan. Saat itu persiapan shalat Jumat hendak dilaksanakan. Masjid ini merupakan masjid terbesar. Pemangku dan takmir masjid kebanyakan dipegang oleh orang-orang keturunan Arab. Tradisi khutbah dengan menggunakan bahasa Arab ada di sini. Suatu hari, pada tahun 1969, Hudan melaksanakan Jumatan di Masjid ini. Ia datang lebih awal sebelum jamaah lain. Ia langsung menuju dan duduk di shaf terdepan. Tiba-tiba muncul seoarang takmir bertampang dan berperawakan Arab menemuinya dan memintanya untuk bergeser ke belakang. Si takmir itu mengatakan bahwa shaf depan hanya untuk penggede dan syaikh-syaikh Arab saja. Hudan terkaget sejenak. Ia tertegun, namun dengan senyum santun ia mengangguk dan berbalik menuju shaf paling belakang.

Jemaah mulai banyak. Shaf-shaf mulai terisi penuh. Azan dikumandangkan. Khotib yang muncul adalah orang keturunan Arab. Berkhutbah dengan menggunakan bahasa Arab. Tak sampai 20 menit khutbah selesai. Wiridan sebentar. Lalu salah satu takmir lain mengumumkan bahwa Wali kota Pasuruan yang baru sedang ikut bershalat Jumat di masjid tersebut dan diminta ke mimbar podium untuk memberikan semacam pidato kecil. Hudan yang sedari awal datang yang digeser duduk ke shaf paling belakang lantas maju ke depan. Dengan baju dan celana panjang yang sederhana serta berkopyah hitam ia membelah shaf para jamaah dengan merunduk permisi, penuh hati-hati dan sopan.

Di atas mimbar itu Hudan menyampaikan rasa terima kasihnya yang tak terhingga kepada seluruh masyarakat Pasuruan yang telah menerima dirinya sebagai Wali kota. Ia mengharapkan dukungan warganya untuk membantu dalam proses pembangunan di segala bidang. Menghimbau kepada segenap masyarakat untuk tetap menjalin kebersamaan antar pemeluk agama dan etnis. Ia menyinggung sedikit sebelum soal khutbah yang disampaikan khotib, mengucapkan wassalam dari mimbar itu. “Apakah sedoyo jamaah Jumat mangertos nopo ingkang dipun sampaikan khotib kolo wau?” (apakah jamaah sekalian mengerti apa yang disampaikan khatib tadi) Tanyanya kepada seluruh jamaah. Semua jamaah diam. Para penggede warga Arab terutama takmirnya juga tak angkat bicara. “Jika semuanya jamaah mengerti khutbah dengan menggunakan bahasa Arab, ya monggo saja. Tetapi jika tidak paham, untuk apa khutbah bahasa Arab itu dijadikan khutbah rutin setiap Jumat? Maka, alangkah baiknya jika khutbah yang rutin tersebut juga diselingi dengan bahasa Jawa atau dengan bahasa Indonesia. Ini sekadar saran saya, sebagai warga Pasuruan sebagaimana panjenengan sedoyo. Semoga ada kebaikan dan manfaatnya di kemudian hari.” Begitulah Hudan menutup pidato pendeknya.

Menjadi Bupati

[sunting | sunting sumber]
Hudan bertemu dengan Presiden Soeharto saat kegiatan Pramuka

Pengusulan dirinya sebagai Bupati Jombang lewat Departeman Dalam Negeri pada 1978, diawali ketika masa itu Hudan menempati posisi sebagai anggota DPRD Tingkat I di Malang, Jawa Timur. Jadi sekitar 2 tahun setelah dia bertugas sebagai Wali kota Pasuruan. Proses pemilihan kepala daerah saat itu berupa penunjukan langsung dari pusat, yang praktiknya sering melalui pengajuan dari sejumlah pejabat penting di jajaran kepolisian maupun kemiliteran. Saat itu Hudan secara langsung ditawari oleh Pak Witarmin, Pangdam V Brawijaya, Surabaya, untuk mengemban tugas kenegaraan sebagai Bupati Jombang. Tawaran tersebut diapresiasi dengan baik dan dipersiapkan proses legitimasinya secara prosedural. Sejak itulah, terhitung mulai tahun 1978 hingga tahun 1983, A. Hudan Dardiri memimpin dan bertugas mengabdikan dirinya sebagai Bupati Jombang.

Roda pemerintahan dijalankan sebagaimana yang seharusnya dan semaksimal mungkin. Hal yang paling pokok tentunya mengacu pada terwujudnya masyarakat Jombang yang sejahtera, agamais dan bertoleransi. Dengan visi utama mewujudkan pemerintahan yang baik, meningkatkan kualitas hidup masyarakat, membangun struktur perekonomian yang kukuh, mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan, yaitu pembangunan yang dilaksanakan tidak semata untuk mengejar pertumbuhan, namun bagaimana pertumbuhan yang ada sekaligus dapat dirasakan secara merata hasilnya oleh semua lapisan masyarakat dengan tetap mempertimbangkan faktor alam dan lingkungan sekitarnya.

Fokus yang menjadi prioritas pembangunan yang dicanangkan dan digerakkan Hudan kala itu adalah pembangunan di wilayah infrastruktur jalan dan irigasi. Ini mengingat wilayah Jombang sebagai daerah agraris. Fokus urgensif di bidang pembangunan jalan di beberapa wilayah yang belum tergarap secara optimal mulai dia tingkatkan dengan perbaikan yang signifikan, tentu terlebih dahulu dengan melihat serta mengevaluasi persoalan-persoalan mendasar yang ada. Dalam hal pertanian, dia menitikberatkan pada sektor irigasi yang baik. Karena ini merupakan persoalan penting bagi para petani. Pada masa itu ia membuat terobosan berupa pembuatan sumur bor di daerah yang dipertimbangkan nyata-nyata kesulitan air. Pengairan yang lancar tidak semua didapat oleh para petani. Wilayah-wilayah tertentu yang menjadi ujung sentral penggarapannya adalah di daerah Kabuh, Puri Semanding, Plandaan, Sumberjo, Kebon Dalem (Bareng), Kepuh Rejo bagian selatan. Juga pembenahan dan pembuatan bendungan air di daerah Jati Banjar (Ploso) dan Talun Kidul di Kecamatan Sumobito.

Banyak penghargaan yang telah diraih Hudan di sepanjang hidupnya. Di antaranya adalah: Bintang Gerilya, Bintang Mahaputra, Bintang Melati, Dharma Bakti, Pancawarsa, dan penghargaan dari BKKBN.

Pernikahan, Masa tua dan kematian

[sunting | sunting sumber]
Foto pernikahan Hudan Dardiri dan Emma Yuliasma
putra-putri Hudan Dardiri

Pada tahun 1950-an Achmad Hudan Dardiri berkenalan dengan seorang gadis asal Solok, Sumatera Barat, ketika ia ikut andil bergerilya pada masa Perang Kemerdekaan RI, di Blitar. Di kota kelahiran Bung Karno tersebut, kedua insan ini menjalin hubungan erat. Saat itu sang gadis, yang kemudian dikenalnya dengan nama Emma Yuliasma, yang lahir di Solok, Minangkabau, Sumatera Barat, pada 8 Juli 1925, juga bertugas dalam barisan Palang Merah Indonesia dan membantu di bagian logistik para gerilyawan. Asmara dua sejoli ini makin bertumbuh pada masa pergolakan itu. Penuh romantisme dan cita-cita luhur demi membela tanah tumpah darah, bangsa dan negara. Perkenalan sampai hubungan cinta itu akhirnya membuat mereka bersepakat untuk menjalinnya secara lebih serius dalam sebuah pernikahan.

Selang beberapa waktu kemudian, persiapan dan saling anjangsana antar dua keluarga pun berlangsung dengan mematangkan berbagai rencana perkawinan. Maka pada 9 September 1951, mereka resmi menikah. Emma Yuliasma selanjutnya, sebagai istri, selalu mendukung perjuangan suaminya di medan tempur. Mendampingi sang suami dengan penuh kasih sayang. Mengasuh anak-anak mereka hingga dewasa. Ia kemudian menekuni profesi sebagai bidan. Kemudian masuk Organisasi Golkar dan Ikatan Bidan Indonesia pada 1957-1969.

Mertua Achmad Hudan Dardiri adalah Abdul Manan Sutan Bagindo yang lahir pada tahun 1889, dari Minangkabau. Ia adalah seorang pegawai air minum kota di daerah Solok. Pensiun pada tahun 1954, dan meninggal pada tahun 1968. Sedangkan ibu mertuanya bernama Hajah Nuriyah, dari Minangkabau juga. Namun keduanya bercerai pada tahun 1930. Hajah Nuriyah ini meninggal pada tahun 1994.

Dari perkawinan tersebut, lahirlah putra-putri A. Hudan Dadiri dengan Emma Yuliasma. Mereka adalah: Asrul Kemal Dardiri (lahir 21 Agustus 1952), Indah Agustina (lahir 19 Agustus 1954), Aida Dani Asma (lahir 22 Februari 1956), Islana Gadis Yulidani (lahir 13 Agustus 1958), dan Amidar Nurma Winarti (lahir 4 Januari 1962), Indira Damayanti (lahir 17 Januari 1965).

Pada masa tuanya Hudan tinggal bersama keluarganya di Jl. Raya Langsep No. 49, Malang. Menjalani kehidupan bersahaja dan ikut meramaikan masjid di lingkungan sekitar sebagai bagian dari takmir masjid. Ketika pada 1998 dia ditinggal sang istri tercinta, Emma Yuliasma, dia sungguh sangat terpukul hebat. Namun semua itu dia pasrahkan pada Yang Maha Kuasa. Anak-anak dia merasa sedih juga dan menyarankan sang Bapak untuk menikah lagi. Menikah di sini dengan maksud bukan sebagaimana manusia berumur 40-50-an yang masih bersemangat untuk membina keluarga baru dan melahirkan anak. Pura-putri dia menyarankan itu sekadar untuk sebagai pendamping masa tua. Sebagai teman ngobrol dan bertukar rasa. Hal ini dianggap juga untuk mengurangi kepikunan dan saling menjaga di saat-saat tertentu.

Tentu anak-anaknya tidak sembarang pilih. Mereka mengetahui dan memilih yang tepat untuk calon istri sang Bapak. Tersebutlah sosok Niken Mudrikah. Ia juga sudah sepuh sepantaran Hudan. Ia ajukan perempuan ini. Ternyata Hudan tidak menyangka, bahwa Niken adalah kekasihnya dahulu di Malang, namun mereka tidak bersambung hubungan. Niken menikah dengan orang lain dan memiliki beberapa putra dan cucu. Sudah lama juga Niken ditinggal suaminya. Hudan menyetujui niat baik anak-anaknya tersebut. Lalu mereka dinikahkan secara sederhana pada tahun 1999. Bu Niken mendampingi Hudan yang lahir pada 7 April 1924 ini, sampai dia wafat di Malang pada Selasa Wage, pukul 04.00 WIB, 26 Juni 2007.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Gatot Muhdi Islam Dardiri dan Setiabakti, Silsilah Keluarga Besar Buyut Nihayah dan Buyut Nafsiyah, Edisi I, Januari 2000, Malang.
Jabatan politik
Didahului oleh:
Soejono
Wali Kota Pasuruan
1969–1975
Diteruskan oleh:
Harjono
Didahului oleh:
R. Soedirman
Bupati Jombang
1978–1983
Diteruskan oleh:
Noeroel Koesmen