[go: up one dir, main page]

Pokok gambir

(Dilencongkan daripada Gambir)

Gumpalan ekstrak air panas dari daun dan ranting pokok gambir (Jawi: ݢمبير) digunakan untuk perubatan tradisional dan bahan rempah mengunyah sirih.[1] Nama sainsnya Uncaria gambir. Gambir sangat sesuai ditanam di Limapuluh Kota, Pesisir Selatan di pulau Sumatera, Indonesia. Gambir dihasilkan pula dari tumbuhan U. acida.

Gambir
Uncaria gambir
Pengelasan saintifik
Alam:
Divisi:
Kelas:
Order:
Keluarga:
Genus:
Spesies:
U. gambir
Nama binomial
Uncaria gambir
Roxb.
Gambir di Banda Aceh

Pemerian

sunting

Uncaria gambir berupa tumbuhan perdu setengah merambat/atau memanjat[2] dengan percabangan memanjang dan mendatar; batang menyegi empat—terutama ketika muda—dan dipersenjatai dengan duri-duri yang melengkung seperti kait. Daun-daun tunggal, berhadapan, agak seperti kulit, bujur menjorong lebar, (6-)9-12(-15) cm x (3.5-)5-7(-8) cm, pangkalnya membundar atau bentuk jantung, hujungnya meruncing, permukaan tidak berbulu (licin), dengan tangkai daun pendek. Bunganya tersusun majemuk dalam bongkol dengan diameter (3.5-)4–5 cm; mahkota berwarna merah muda atau hijau; kelopak bunga pendek, mahkota bunga berbentuk corong (seperti bunga kopi), benang sari lima. Buah berupa kapsula dengan dua ruang, panjang 14–18 mm, berbiji banyak, bersayap, dan bertangkai hingga 20 mm.[2][3][4]

Ekologi dan budidaya

sunting

Gambir telah lama ditanam di Semenanjung Melayu, Singapura,[5] dan Indonesia (Sumatra, Jawa, Bali, Kalimantan, dan Maluku).[3][5] Asal usulnya diperkirakan dari Sumatra dan Kalimantan,[5] di mana jenis-jenis liarnya didapati tumbuh di alam.[3] Rumphius melaporkan bahwa tumbuhan ini telah ditanam orang di Maluku pada pertengahan abad ke-18,[3] namun sumber lain meyakini bahwaa perdagangannya di kawasan Tanah Melayu telah berlangsung sejak abad ke-17[5]

Gambir liar kerap didapati di hutan sekunder. Ia tidak tumbuh di wilayah yang kering, tetapi juga tidak tahan dengan penggenangan. Tumbuh baik hingga ketinggian 200 m, gambir boleh hidup hingga ketinggian 1,000 m dp laut.[3] Gambir ditanam juga di dataran rendah.[2]

Iklim yang cocok untuk budidaya gambir adalah iklim tipe B2 menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson. Gambir berproduksi dengan baik pada jenis tanah podsolik merah kuning sampai merah kecoklatan. Ketinggian tempat yang sesuai antara 100–500 m dpl dengan curah hujan sekitar 3.000 – 3.353 mm pertahun (Anonim, 2000 dalam Noor Roufiq dkk, tt.).[6]

Pada masa lalu gambir dihasilkan dari Sumatera Barat, Riau, Bangka, Belitung dan Kalimantan Barat (Heyne, 1987), namun kini utamanya diproduksi oleh Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Jambi dan Bengkulu dengan sekitar 90% produksi gambir Indonesia dihasilkan dari Provinsi Sumatera Barat dan Riau (Roswita, 1998). Negara tujuan utama eksport gambir Indonesia adalah India dan Singapura.[6]

Produk

sunting
 
Gambir dari Pasar Anyar, Bogor

Gambir adalah ekstrak air panas dari daun dan ranting tanaman gambir yang diendapkan dan kemudian dicetak dan dikeringkan, yang berfungsi sebagai pengelat.[2] Hampir 95% produksi dibuat menjadi produk ini, yang dinamakan betel bite atau plan masala. Bentuk cetakan biasanya silinder, menyerupai gula merah. Warnanya coklat kehitaman atau kekuningan. Gambir (dalam perdagangan antarnegara dikenal sebagai gambier) biasanya dikirim dalam kemasan 50 kg. Bentuk lainnya adalah bubuk atau "biskuit". Nama lainnya adalah catechu, gutta gambir, catechu pallidum (pale catechu).

Kegunaan

sunting

Kegunaan utama adalah sebagai komponen menyirih, yang sudah dikenal masyarakat kepulauan Nusantara, dari Sumatra hingga Papua sejak paling tidak 2.500 tahun yang lalu. Diketahui, gambir merangsang keluarnya getah empedu sehingga membantu kelancaran proses pencernaan di perut dan usus. Fungsi lain adalah sebagai pelbagai campuran mengubati sakit seperti merawat luka bakar, sakit kepala, cirit-birit, berak berdarah,[2] seriawan, serta sakit kulit (dibalurkan). Gambir digunakan pula sebagai bahan penyamak kulit dan bahan pewarna tekstil.[3] Sifat kelat gambir ditemukan pula pada kayu Acacia catechu (Leguminosae), yang bisa ditemukan di India dan Semenanjung Melayu.[2]

Fungsi yang tengah dikembangkan juga adalah sebagai bahan pelekat kayu lapis atau papan partikel.[7] Penghasilan produk ini bersaing dengan bahan pelekat kayu lain berasaskan kulit kayu Acacia mearnsii, kayu Schinopsis balansa, serta kulit kacang Caesalpinia spinosa .

Kandungan

sunting

Kandungan yang utama dan juga dikandung oleh banyak anggota Uncaria lainnya adalah flavonoid (terutama gambiriin), katekin (sampai 51%), zat penyamak (22-50%), serta sejumlah alkaloid (seperti gambirtannin) dan turunan dihidro- dan okso-nya.[8]

Sukatan penyediaan gambir yang dibenarkan terakam dalam Ekstra Farmakope Indonesia 1974 sebagai Catechu EFI (Gambir EFI), dengan kandungan isi d-katekin 7-33% dan asam katekutanat (sejenis tanin) 22-50%. Pemakaian utamanya sebagai astringensia.[9] Gambir juga mengandung katekin (cyanidol-3) digunakan sebagai anti-histamina bersama ubatan anti-alahan lain. Ia Bisa digunakan sebagai hepatitis dan luka pada hati, yang bisa digunakan sebagai obat di sana.[2]

Rujukan

sunting
  1. ^ Rooney, Dawn F. (1993). Betel Chewing Traditions in South-East Asia. Kuala Lumpur: Oxford University Press. m/s. 26. ISBN 0-19-588620-8.
  2. ^ a b c d e f g Dharma, A.P. (1987). Indonesian Medicinal Plants. hal.79 – 80. Jakarta:Balai Pustaka. ISBN 979-407-032-7.
  3. ^ a b c d e f ICRAF AgroForestryTree Database: Uncaria gambir Diarkibkan 2014-02-25 di Wayback Machine
  4. ^ Brown, O.P. 1878. The Complete Herbalist, section Gambir Plant (Uncaria Gambir) Diarkibkan 2023-03-21 di Wayback Machine
  5. ^ a b c d Singapore Infopedia: Gambier Diarkibkan 2013-07-06 di Wayback Machine.
  6. ^ a b Noor Roufiq, dkk. tt. Status Teknologi Budidaya dan Pengolahan Gambir Diarkibkan 2013-09-18 di Wayback Machine. Balittro, Bogor.
  7. ^ Kompas.com: Papan Tiruan Temuan Unand Layak Dipakai Diarkibkan 2022-03-07 di Wayback Machine. Berita Jumat, 7 Maret 2008 | 07:26 WIB
  8. ^ Hiller, K. & MF. Melzig. 2007. Die große Enzyklopaedie der Arzneipflanzen und Drogen. Elsevier, Heidelberg.
  9. ^ Sutrisno, R.B. 1974. Ihtisar Farmakognosi: 224. Jakarta: Pharmascience Pacific.

Bacaan lanjut

sunting

Pautan luar

sunting