[go: up one dir, main page]

Filioque

Revisi sejak 19 Desember 2012 00.16 oleh JackieBot (bicara | kontrib) (Bot: pt:Cláusula filioque adalah artikel pilihan)

Dalam Teologi Kristiani, klausa Filioque (filioque artinya "dan [dari] putera" dalam Bahasa Latin), adalah klausa penuh perdebatan yang ditambahkan ke dalam Kredo Nicea, yang menjadi perbedaan divisif khususnya antara Gereja Katolik Roma dan Gereja Ortodoks Timur. Klausa ini disisipkan dalam naskah asli Kredo Nicea yang berbunyi "Kami percaya akan Roh Kudus ... yang keluar dari Sang Bapa", sehingga versi yang telah diberi sisipan tersebut kini berbunyi "Kami percaya akan Roh Kudus ... yang keluar dari Sang Bapa dan Sang Putera". Penambahan ini diterima oleh umat Kristiani Katolik Romawi namun ditolak oleh umat Kristiani Ortodoks Timur. Banyak Gereja Katolik Timur tidak menggunakan klausa tersebut dalam kredo mereka, namun mengakui dokrin yang terepresentasi di dalamnya, karena klausa ini adalah dogma dalam iman Katolik Romawi. Sejauh ini Gereja Protestan juga menerimanya. Klausa ini lebih sering disebut "filioque".

Penjelasan mengenai Kredo Nicea

Mengikuti Yoh 15:26b, Konsili Konstantinopel Pertama pada tahun 381 memodifikasi pernyataan Konsili Nicea Pertama tahun 325 dengan menyatakan bahwa Roh Kudus "keluar dari Sang Bapa". Konsili ini tidak membahas secara khusus mengenai asal-usul Roh Kudus. Oleh karena itu Kredo Nicea sering kali disebut Kredo "Nicea-Konstantinopel" atau "Niceno-Constantinopolitana." Kredo ini belum diterima secara resmi sampai Konsili Efesus tahun 431.

Bilamana berpikir tentang Allah sebagai Bapa, Putera, dan Roh Kudus (Trinitas), umat Kristiani mengikuti Yesus (Mat 28:19), sejak awal telah membuat pembedaan-pembedaan penting. Sang Putera dan Roh Kudus dikatakan berasal-usul abadi dari Sang Bapa; Sang Putera, Logos Ilahi yang kekal itu (Yoh 1:1) "digenerasikan" ("dilahirkan" atau "diperanakkan") dari Sang Bapa, sedangkan Roh Kudus "keluar" dari Sang Bapa. Pernyataan-pernyataan ini dibuat dalam pengertian hakikat Allah yang kekal, atau "sebelum segala abad" dalam kata-kata Kredo Nicea.

Di satu pihak, Kredo Nicea dan Alkitab tidak secara eksplisit mengatakan bahwa Roh Kudus keluar dari Sang Putera serta Sang Bapa; jadi, tidak ada pernyataan bahwa ada asal-usul abadi dari Roh Kudus selain dari Sang Bapa. Akan tetapi berbagai kelompok Kristiani termasuk umat Katolik Romawi dan Protestan mendapati bukti implisit akan hal tersebut dalam pernyataan-pernyataan lain mengenai Sang Putera dan Roh Kudus. Sebagai contoh, Perjanjian Baru mengajarkan bahwa Roh Kudus bersaksi tentang Sang Putera (1 Yoh 5:6) dan disebut "Roh Kristus" (Roma 8:9; Roma 15:5; Fil 1:19; 1 Pet 1:11) dan "Roh Sang Putera" (Gal 4:6). Sang Putera, Yesus, juga berkata bahwa Dia akan "berdoa kepada Sang Bapa, dan Dia aka memberikan kepadamu penolong yang lain untuk menyertaimu selama-lamanya, yakni Roh kebenaran" (Yoh 14:16), dan bahwa Dia sendiri akan mengutus Roh Kudus (Yoh 16:7). Para Bapa Gereja menjelaskan lebih lanjut bahwa Sang Bapa, Sang Putera, dan Roh Kudus adalah satu "hakikat" (Bahasa Latin: "substantia", Bahasa Yunani: "ousia") dan memiliki kehendak dan aktivitas yang sama, sehubungan dengan tindakan-tindakan eksternal mereka (Bahasa Latin: actiones ad extra). Tradisi ini selanjutnya ditegaskan kembali baik di Timur maupun di Barat, sepenuhnya disepakati pada Abad Pertengahan oleh para teolog skolastik. Dalam makna "ekonomis" kedua ini, Sang Bapa dikatakan mengutus Roh Kudus kepada kita melalui Sang Putera (Kis 2:33; Titus 3:6). Skolastisisme secara eksplisit ditolak oleh Gereja Timur sebagai bentuk validasi atas doktrin teologis.[1]

Di lain pihak, meskipun Perjanjian Baru mengajarkan bahwa ada hubungan antara Sang Anak dan Roh Kudus, keilahian Sang Anak dan Roh Kudus tidak sepenuhnya jelas dari Kitab Suci semata. Banyak teolog secara historis tidak teryakinkan oleh naskah-naskah Kitab Suci, dan bersedia mengutip Kitan Suci untuk membela penyangkalannya akan Trinitas.

Gereja Ortodoks Timur berkeyakinan bahwa Roh Kudus keluar dari Sang Bapa dan diutus (pada hari Pentakosta) dari Sang Bapa melalui Sang Anak. Gereja Latin di Barat menyatakan bahwa Roh Kudus keluar baik dari Sang Bapa maupun Sang Putera (filioque). Gereja di Roma menggunakan rumusan yang asli sebagaimana rumusan Gereja Ortodoks sampai awal abad ke-11.[2]

Kontroversi Filioque

Gereja Timur berkeberatan atas versi Barat, karena menurut pemahaman mereka, kedudukan Roh Kudus menjadi lebih rendah daripada kedudukan Sang Putera (Yesus Kristus); apabila dikatakan bahwa Roh Kudus itu keluar dari Sang Bapa semata, maka kedudukannya dengan Sang Putera menjadi setara.

Gereja Barat di lain pihak menekankan pada persekutuan kodrati antara Bapa dan Putera. Menurut tata aturan abadi antara pribadi-pribadi ilahi dalam persekutuan kodratiNya, Bapa adalah asal-usul pertama dari Roh Kudus, sebagai pangkal tanpa pangkal, tetapi juga sebagai Sang Bapa dari Sang Putera yang tunggal bersama dengan Dia pangkal yang satu itu yang darinya Roh Kudus berasal. Apabila pandangan yang sah dan saling melengkapi ini tidak ditegaskan secara berat sebelah, maka identitas iman akan kenyataan satu misteri yang diakui dalam iman, tidak dirugikan.

Penambahan Filioque itu sendiri dilatarbelakangi oleh perkembangan sejarah Gereja di Barat dalam menghadapi sisa-sisa pengikut Arianisme yang menolak keilahian Yesus Kristus. Penambahan filioque menegaskan keilahian Yesus. Jadi, jika memang hal ini yang melatarbelakangi penyisipan klausa filioque dalam Kredo Nicea-Konstantinopel itu, maka penyisipan itu sejak semula tidak dimaksudkan untuk menyerang Gereja Timur.

Protes keberatan Gereja-gereja Timur dianggap kurang beralasan oleh Gereja Barat, sehingga pada tahun 1054 terjadilah Skisma Akbar. Kedua kubu saling mengekskomunikasi. Baru pada penutupan Konsili Vatikan II (1965), oleh kedua belah pihak, surat keputusan ekskomunikasi itu dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.

Namun demikian, perdebatan teologis mengenai kata filioque antara Gereja Barat (Katolik Roma) dan Timur (Orthodox) belum juga selesai. Gereja Barat sebenarnya tak pernah memandang penambahan filioque itu sebagai usaha untuk mengurangi makna identitas Sang Bapa sebagai satu-satunya sumber dan asal-usul, justru sebaliknya dianggap sebagai penegasan posisi ajaran Gereja dalam menghadapi sisa-sisa pengikut ajaraan bidaah Arianisme. Panambahan filioque bukanlah penambahan isi wahyu Perjanjian Baru. Filioque merupakan interpretasi yang ingin mengungkapkan bahwa Roh adalah Roh Yesus Kristus (Rom 8:9; Flp 1:19), Roh Tuhan (2Kor 3:17); dan Roh Sang Putera (Gal 4:6). Roh Kudus bukanlah semacam roh rekaan atau pujaan, melainkan Roh yang harus dilihat dan dimengerti menurut pribadi dan karya Yesus Kristus. Hal ini sebenarnya juga diyakini oleh Gereja Timur.

Pada hakikatnya, Gereja Barat dan Timur memiliki iman yang satu dan sama, hanya saja keduanya memiliki rumusan yang berbeda karena konteks sejarah yang berbeda.

Asal-usul

Sebagaimana yang telah diutarakan oleh Johannes Grohe, sebuah konsili regional di Persia pada tahun 410 memperkenalkan salah satu dari bentuk terawal dari filioque dalam kredo Nicea; konsili ini mengajarkan bahwa Roh Kudus keluar dari Sang Bapa "dan dari Sang Putera." Karena berasal dari teologi Kristiani Syria Timur yang kaya itu, maka ekspresi tersebut dalam konteks ini secara otentik bersifat Timur. Oleh karena itu filioque tidak dapat disebut sebagai inovasi Gereja Barat semata-mata, tidak pula sebagai sesuatu yang diciptakan oleh Sri Paus.

Dalam Gereja Barat, St. Augustinus dari Hippo, mengikuti Tertullianus dan Ambrosius, mengajarkan bahwa Roh Kudus keluar dari Sang Bapa dan Sang Putera, meskipun tidak lebih rendah dari keduanya. Teologinya, termasuk teologi Trinitasnya, dominan di Barat sampai Abad Pertengahan. Para Bapa Latin lainnya juga berbicara mengenai Roh Kudus yang keluar baik dari Sang Bapa maupun Sang Putera. Meskipun cara berbicara seperti ini dikenal akrab di Barat, namun tidak dikenal di Wilayah Kekaisaran Romawi Timur yang berbahasa Yunani itu.

Sebagai tambahan pada Kredo Nicea

Meskipun sejak lama sudah ada indikasi-indikasi tentang asal-usul ganda Roh Kudus tersebut, termasuk di dalam Kredo Atanasius serta sebuah epistola dogmatik dari Paus Leo I[3], klausa filioque pertama kali disisipkan dalam Kredo Nicea pada Konsili Toledo III tahun 589.[4] Hal tersebut dilakukan dengan tujuan utama untuk melawan bidaah Arianisme, yang mengajarkan bahwa Sang Putera which taught that the adalah makhluk ciptaan dan yang tersebar luas di kalangan bangsa Jerman. Versi tambahan ini diterima oleh para penguasa Visigoth setempat, yang sebelumnya menganut bidaah Arianisme.

Jadi Filioque diperkenalkan di Barat pertama kali di Spanyol, kemudian di Gallia, namun tidak di Roma, dan bukan oleh inisiatif Sri Paus, karena itu tidaklah akurat jika dikatakan, sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa sejarawan, bahwa "Gereja Katolik" (secara keseluruhan) memperkenalkan filioque ke dalam Misa. Gereja-Gereja Timur, misalnya Gereja Maronit yang sepenuhnya merupakan bagian dari Gereja Katolik, tidak pernah menggunakan filioque. Lagi pula frasa tersebut dipergunakan secara luas di Barat, mengikuti bahasa dari para Bapa Latin, di luar Misa, khususnya di Spanyol dan Gallia. Jadi, lebih akurat jika dikatakan bahwa filioque adalah sebuah ungkapan yang terdapat dalam Gereja Latin. Bagaimanapun juga, pada milenium pertama, yang disebut sebagai "Gereja Katolik" itu adalah Gereja Kristiani yang mencakup baik Gereja Timur maupun Gereja Barat.

Bangsa Frank dan filioque

Sesudah kaum Visigoth, kaum Frank juga menerima klausa filioque sebagai bagian dari Kredo Nicea. Saat itu Bangsa Frank yang dipimpin oleh Pippin Muda dan puteranya Charlemagne sedang mendominasi kekuasaan di dunia Barat. Charlemagne dimahkotai menjadi kaisar pada tahun 800.

Paus Leo III melarang penyisipan klausa "filioque" ke dalam Kredo Nicea sebagaimana yang dilakukan kaum Frank di Aachen pada tahun 809. Dia juga memerintahkan agar mengukirkan Kredo Nicea pada sebuah prasasti perak agar keputusannya tidak dapat diganggu-gugat di kemudian hari. Dia menuliskan kata-kata «HAEC LEO POSUI AMORE ET CAUTELA ORTHODOXAE FIDEI» (Saya, Leo, menempatkan di sini demi kasih dan perlindungan iman ortodoks).[5]

Sekalipun demikian, di kalangan kaum Franks klausa filioque secara luas dianggap sebagai bagian integral dari Kredo Nicea. Banyak orang menyangka bahwa Gereja-Gereja Yunani, yang pada masa itu berada dalam cengkeraman para kaisar dan didominasi bidaah ikonoklasme, telah sesat karena meniadakan klausa tersebut dari Kredo Nicea. Penggunaan Kredo Nicea versi tambahan tadi dianggap normatif dan otentik pada masa itu. Dominasi Bangsa Frank menekan Roma untuk mengadopsi tambahan filioque, namun Roma bertahan dengan versi asli sampai kira-kira dua ratus tahun kemudian.

Permulaan konflik

Kontroversi Photius

Klausa filioque tiba-tiba menjadi pokok bahasan utama dalam kontroversi seputar Photius dari Konstantinopel. Pada tahun 858, Patriark Ignatius dari Konstantinopel tidak disukai Kaisar Byzantium Mikhael III dan dilengserkan dari kedudukannya. Dia digantikan dengan seorang awam bernama Photius, seorang sarjana ulung, sekretaris kekaisaran, dan duta besar Byzantium untuk Baghdad. Ignatius dibuang ke Terebinthos dan dipaksa menanggalkan jabatannya. Kelak Photius bahkan menggelar sebuah sinode yang menyatakan bahwa jabatan Ignatius sebagai patriark itu invalid. Baik Photius maupun Kaisar Mikhael serta para pendukung Ignatius naik banding kepada Paus Nikolas, yang dengan segera memecat dan mengekskomunikasi Photius serta mengakui Ignatius sebagai patriark yang sah pada tahun 863.

Photius, dengan dukungan Kaisar Mikhael, menolak keputusan Paus. Untuk menarik keberpihakan Gereja-Gereja Timur, dia mengeluarkan Ensiklik kepada Para Patriark Timur yang mengutuk Gereja Latin karena perbedaan-perbedaan adat-kebiasaan, dan terutama karena klausa filioque, yang dinilainya bidaah. Klausa filioque menjadi unsur terpenting, karena mengalihkan isu dari yurisdiksi dan adat-kebiasaan ke salah satu dogma. Pada tahun 867, dia menghimpun sebuah sinode yang mengekskomunikasi Paus Nikolas dan mengutuk "kesesatan" Gereja Latin.

Tindakan Photius sangat memengaruhi relasi antara Gereja Timur dan Gereja Barat, karena dialah teolog pertama yang mengangkat klausa filioque menjadi sebuah isu perdebatan dan menunding Roma sebagai bidaan dalam permasalahan tersebut. Alur kritikan ini selanjutnya makin bergaung dan menjadikan rekonsiliasi antara Timur dan Barat sulit dicapai. Photius diakui sebagai seorang santo oleh Gereja Ortodoks Yunani.

Bangsa Frank di Roma

Sepanjang abad ke-9 dan abad ke-10, para paus menolak mengadopsi klausa filioque. Posisi ini berkhir pada tahun 1014, tatkala Raja Jerman Henrikus II berkunjung ke Roma untuk dimahkotai menjadi kaisar. Di masa itu, kepausan sangatlah lemah dan agar mampu terus bertahan, Sri Paus membutuhkan dukungan militer dari kaisar.

Henrikus mendapati bahwa kredo tidak diucapkan dalam Misa di Roma, tidak seperti di negeri-negeri Bangsa Frank. Maka atas permintaannya, Paus Benediktus VIII mengatur agar Kredo diucapkan sesudah pembacaan Injil, dan klausa filioque digunakan dalam Misa di Roma untuk pertama kalinya.

Skisma Akbar dan upaya-upaya rekonsiliasi

Pada tahun 1054 argumen mengenai filioque berkontribusi kepada Skisma Akbar antara Timur dan Barat. Ada banyak isu yang terlibat, sebagian besar berdasar atas kesalahpahaman antara tradisi Yunani dan tradisi Latin, serta temperamen panas dari para antagonis. Legatus paus Kardinal Humbertus dari Silva Candida, yang diutus Paus Leo IX ke Konstantinopel untuk mengusahakan kesepakatan dengan pihak Timur, justru mengekskomunikasi Patriark Mikhael Kerularius, yang dibalas patriark tersebut dengan mengekskomunikasi Humbertus.

Selama bertahun-tahun, sebagian besar umat Ortodoks Timur dan Katolik Romawi sendiri tidak berpikir bahwa telah terjadi skisma di antara mereka; karena tak satupun Gereja yang telah mengekskomunikasi Gereja lain. Banyak umat Kristiani Slavia menganggap keseluruhan episode tersebut sebagai perselisihan antar pribadi. Lagi pula validitas dari ekskomunikasi atas Patriark Mikhael patut dipertanyakan, karena Paus Leo yang memberi wewenang kepada Humbertus, telah wafat sebelumnya.

Faktor-faktor penghambat

Pada tahun 1274, Konsili Lyon II, yang dihadiri Patriark Konstantinopel, mengatakan bahwa Roh Kudus keluar dari Sang Bapa dan Sang Putera, sejalan dengan filioque dalam Kredo Nicea versi Latin pada masa itu. Kenangan pahit akan penjarahan Konstantinopel tahun 1204 oleh pasukan Perang Salib menjadikan kebanyakan umat Kristiani Byzantium tidak menginginkan rekonsiliasi dengan pihak Barat. Pada tahun 1282, Kaisar Byzantium Mikhael VIII Palaeologus mangkat, dan Patriark Yohanes XI, yang mendukung rekonsiliasi dengan Gereja Latin, dipaksa lengser; persatuan-kembali gagal dicapai.

Hampir sepanjang abad ke-14, terdapat dua kubu kepausan yang saling mengekskomunikasi. Skisma Barat akhirnya diakhiri dalam Konsili Constance, namun pada masa itu pihak Timur sulit sekali untuk mengadakan rekonsiliasi dengan Gereja Barat yang sedang mengalami perpecahan di dalam tubuhnya itu. Lagi pula, pada pertengahan abad itu, sepertiga warga Eropa Barat tewas akibat Wabah Hitam. Orang-orang lebih memikirkan bagaimana untuk bertahan hidup dari pada memikirkan persatuan Gereja.

Konsili Florence

Pada abad ke-15, Kaisar Byzantium Yohanes VIII Palaeologus, Yosef, Patriark Konstantinopel, dan uskup-uskup lain dari Timur melakukan perjalanan ke Italia Utara untuk menghadiri Konsili Florence dengan harapan dapat berekonsiliasi dengan Roma dan mendapatkan bala bantuan negara-negara Barat untuk melawan serbuan Kerajaan Ottoman.

Sesudah melewati diskusi yang ekstensif, di Ferrara, selanjutnya di Florence, mereka mengakui bahwa beberapa Bapa Latin berbicara mengenai prosesi Roh Kudus dengan cara yang berbeda dari cara para Bapa Yunani. Karena konsensus para Bapa dianggap dapat dipercaya, sebagai kesaksian akan iman bersama, dan karena Kaisar Byzantium benar-benar butuh bantuan militer dari Barat, maka kredo versi Latin dengan tambahan klausa filioque itu dianggap tidak sesat dan bukan suatu hambatan menuju pemulihan persekutuan penuh. Kaisar sungguh-sungguh berharap mendapatkan bala bantuan dari pihak Barat guna menghadapi ancaman Ottoman sehingga menekan beberapa uskup Timur untuk menandatangani dekrit persatuan antara Timur dan Barat, Laetentur Coeli pada tahun 1439.

Dengan demikian dalam waktu singkat, secara resmi dan di hadapan publik, Gereja Katolik Romawi dan Gereja Ortodoks Timur telah bersatu kembali. Konsili Florence membantu menetapkan sebuah prinsip fundamental: Gereja haruslah satu dalam keyakinan-keyakinan esensialnya, namun boleh berbeda dalam budaya, adat-kebiasaan, dan ritusnya. Permasalahan klausa filioque pada masa itu dipandang tidaklah merusak keseragaman iman tersebut.

Sekalipun demikian, tak lama kemudian rekonsiliasi yang dicapai di Florence itu hancur. Salah seorang di antara para uskup Ortodoks peserta konsili itu, Markus dari Efesus, menolak menandatangani dekrit tersebut dengan alasan bahwa Roma sesat sekaligus skismatik karena menerima klausa filioque serta klaim yurisdiksi universal dari Sri Paus atas Gereja. Banyak umat dan uskup Ortodoks lainnya menolak persatuan itu. Bagi banyak pihak di Barat, kesepakatan Florence dipandang sebagai suatu tindak pemaksaan teologi skolastik, serta sebagai suatu upaya habis-habisan untuk meminta pertolongan.

Bala tentara Barat yang dijanjikan itu terlambat tiba untuk dapat mencegah jatuhnya Konstantinopel ke tangan Bangsa Turki pada tahun 1453. Sejak saat itu, Bangsa Turki berusaha memperlebar perpisahan dari Barat, yang dipandang sebagai ancaman terhadap dominasi militer dan politik Islami. Patriark Konstantinopel kini tunduk di bawah kehendak penguasa Muslim; Gereja Timur tak lagi merdeka.

Sekalipun kontroversi filioque telah resmi terselesaikan baik bagi pihak Ortodoks maupun Katolik Romawi, resolusi di Florence tidak sepenuhnya diterima atau pun bertahan lama.

Klausa Filioque dalam Teologi Para Bapa Gereja

Filioque dan Doktrin Trinitas

Klausa filioque menjadi bagian integral dari sebagian teologi Barat mengenai Trinitas karena ajaran-ajaran para Bapa Gereja Barat seperti St. Augustinus dari Hippo, Anselmus dari Canterbury dan Thomas Aquinas berisi pernyataan-pernyataan bahwa Roh Kudus keluar dari Sang Bapa dan Sang Putera. Para Bapa Gereja Timur, seperti St. Yohanes dari Damaskus dan Gregorius Palamas, melestarikan tradisi Kredo asli yang dikeluarkan di Konstantinopel pada tahun 381 dan oleh karena itu filioque terasa asing bagi teologi Gereja Timur. Para teolog di Timur seperti Patriark Photius berkeberatan atas ajaran yang diekspresikan filioque, karena bertentangan dengan doktrin yang berterima dan alkitabiah. Mereka berpendapat bahwa karena Roh Kudus keluar dari Sang Bapa dan Sang Putera maka terdapat dua sumber keilahian, padahal di dalam Allah Yang maha Esa itu hanya boleh terdapat satu sumber keilahian atau ketuhanan saja.

Para teolog Barat menjawab keberatan ini dengan mengatakan bahwa Roh Kudus keluar dari Sang Bapa dan Sang Putera "selayaknya dari satu sumber."[6] Akan tetapi pihak Timur sekali lagi berkeberatan dengan alasan formulasi ini akan menggabungkan dan membaurkan pribadi Sang Bapa dan pribadi Sang Putera. Mereka juga berpendapat bahwa jika Sang Bapa dan Sang Putera sama-sama merupakan sumber keilahian dan hanya Roh Kudus yang tidak demikian, artinya status Roh Kudus menjadi relatif lebih rendah dari pada Sang Bapa dan Sang Putera. Meskipun demikian, guna membela tradisi Barat, Thomas Aquinas berpendapat bahwa Roh Kudus adalah baik Roh dari Sang Bapa maupun Roh dari Sang Putera, dan bahwa Sang Bapa dan Sang Putera sudah termasuk dalam eksistensi Roh Kudus, sehingga menjadikan klausa filioque sebagai suatu kebutuhan teologis.[7] Dia menemukan perbedaan pribadi mereka dalam hubungan oposisi mereka (Sang Bapa secara aktif menggenerasi Sang Putera dan menspirasi Roh Kudus, Sang Putera secara pasif digenerasi dari Sang Bapa dan secara aktif menspirasi Roh Kudus, Roh Kudus secara pasif dispirasi dari Sang Bapa dan dari Sang Putera sehingga dengan demikian menghubungkan ketiga pribadi tersebut dalam hubungan oposisi, yang membedakan mereka satu sama lain) dan dia menemukan kesetaraan-penuh mereka dalam hakikat ilahiah mereka yang sama.[8] Karena Aquinas memandang kuasa untuk men-spirasi (atau menghembuskan) Roh Kudus sebagai sesuatu yang berasal dari hakikat ilahi maka ia menganggap bahwa kemampuan itu tentunya dimiliki bersama oleh Sang Bapa dan sang Putera.[6]

Meskipun demikian, para teolog Timur berpendapat bahwa jika esensi ilahi itu sendiri merupakan sumber keilahian di dalam Allah, maka akan timbul masalah baru: orang akan beranggapan bahwa Roh Kudus keluar dari diriNya sendiri, karena Roh Kudus tentunya tidaklah terpisah dari esensi ilahi tersebut. Namun para teolog skolastik Barat seperti Anselmus dari Canterbury dalam karyanya Monologion, menggunakan Kitab Suci dan akal budi untuk menanggapi pokok bahasan tersebut serta menunjukkan bahwa memang terdapat suatu urutan prosesi dalam Keallahan yang mengatur prosesi Roh Kudus dari diriNya sendiri.

Sekalipun ada argumen-argumen para Bapa Barat tersebut, klausa filioque dan teologi yang terkait dengannya di Barat, tetaplah tidak dapat diterima di Gereja Timur. Hal ini terjadi karena para teolog utama Gereja Timur memahami perbedaan-perbedaan antar pribadi Trinitas itu sedemikian rupa sehingga mengharuskan prosesi Roh Kudus itu hanya dari Sang Bapa semata. Yohanes dari Damaskus, dalam karyanya Eksposisi yang Tepat dari Iman Ortodoks berpendapat bahwa perbedaan antara Sang Putera dan Roh Kudus terdapat dalam kekhasan cara mereka berasal-usul dari Sang Bapa, yang merupakan satu-satunya penyebab yang tak berasal-usul bagi kedua Pribadi Ilahi lainnya. Dia menerangkan bahwa Sang Putera secara unik "lahir" dari Sang Bapa sedangkan Roh Kudus itu "keluar" dari Sang Bapa, serta bahwa perbedaan antara kedua cara berasal-usul tersebut tidak dapat difahami oleh manusia[9].

Mendamaikan tradisi Timur dan tradisi Barat

Para teolog Barat seperti Anselmus dari Canterbury dan Thomas Aquinas mengkritik pihak Timur karena tidak cukup menjelaskan hubungan dan urutan kekal antara Sang Putera dan Roh Kudus. Aquinas berpendapat bahwa jika benar bahwa Roh Kudus itu secara kekal "keluar dari" Sang Putera maka sampai tingkat tertentu Roh Kudus itu mesti pula secara kekal "berasal dari" Sang Putera, sebagainya yang dinyatakan oleh klausa filioque[10]. Akan tetapi hubungan antara Sang Putera dan Roh Kudus dijelaskan oleh para Bapa Timur dengan cara yang tidak perlu melibatkan filioque. Yohanes dari Damaskus menyatakan bahwa digenerasinya Sang Putera dan diprosesinya Roh Kudus itu terjadi bersamaan, dan bahwa Roh Kudus secara kekal keluar dari Sang Bapa dan hinggap pada Sang Putera.[9]. Teolog modern dari Gereja Ortodoks Timur, Dumitru Stăniloae melihat adanya sebuah jawaban yang lebih lengkap mengenai hubungan antara Sang Putera dan Roh Kudus ini dalam teologi dari Gregorius Palamas, karena dia mendapati dalam teologi Palamas terdapat gagasan bahwa Roh Kudus keluar dari Sang Bapa dan hinggap pada Sang Putera lalu kembali dari Sang Putera dalam wujud kasihnya akan Sang Bapa.[11].

Posisi saat ini

Gereja Ortodoks Timur

Hingga hari ini Gereja Ortodoks menggunakan Kredo Nicea-Konstantinopel tahun 381 tanpa filioque. Gereja-Gereja Timur berulang kali telah menolak frasa tersebut karena menganggapnya sebagai sebuah interpolasi yang tidak sah, suatu contoh dari apa yang mereka anggap sebagai kesewenang-wenangan pihak barat.

Baik Patriark Photius pada tahun 862 maupun Patriark Kerularius pada tahun 1054 menuduh pihak Barat sebagai bidaah karena mengintroduksi filioque dalam Kredo. Pada umumnya, kecuali selama jeda rekonsiliatif pada tahun 1274 dan 1439, yakni di saat Konsili Lyons II dan Konsili Florence, banyak umat Ortodoks telah mengulangi tuduhan bidaah mereka sampai sekarang. Di lain pihak, sejak abad ke-13, umat Ortodoks lainnya telah menunjukkan bahwa tak satu pun konsili ekumenis yang pernah mengutuk segenap Gereja Barat dan mengekskomunikasi anggota-anggotanya. Oleh karena itu, menurut hemat mereka, kaum Latin seharusnya tidak ditolak dari komuni karena ada filioque dalam kredo mereka.

Patriark Ortodoks Gregorius II dari Siprus, pengganti sekaligus penentang dari pendukung filioque pasca-Lyon Yohanes XI, mengajukan sebuah rumusan berbeda yang dianggap sebagai sebuah "jawaban" yang Ortodoks terhadap filioque, meskipun rumusan itu tidak memiliki status sebagai doktrin Ortodoks yang resmi. Gregorius berbicara mengenai suatu manifestasi kekal dari Roh Kudus oleh Sang Putera. Dengan kata lain, dia berpandangan bahwa Sang Putera secara kekal memanifestasikan (memperlihatkan) Roh Kudus.

Pada umumnya, bahkan sampai masa Konsili Florence, karya-karya tulis para Bapa Latin tidak banyak diketahui oleh khalayak pembaca di Timur, karena bahasanya tidaklah dimengerti. Oleh sebab itu formulasi filioque, di samping maknanya, tidaklah benar-benar difahami di Timur. Sampai sekarang, beberapa praktik Barat masih dikutuk sebagai kesesatan oleh sementara orang di Timur, bahkan adat-kebiasaan disipliner seperti keharusan selibat bagi para imam, atau cara pembaptisan dengan pencurahan air, bukannya penenggelaman sebanyak tiga kali. Berulang kali filioque dikedepankan sebagai contoh pertama dari bidaah.

Meskipun demikian, pada tahun-tahun terakhir ini, beberapa teolog Ortodoks telah memandang filioque dari sudut pandang baru, sudut pandang rekonsiliasi Timur dan Barat. Theodore Stylianopoulos, salah satunya, memberikan pandangan kesarjanaan yang ekstensif secara umum mengenai diskusi kontemporer seputar klausa filioque. Dua puluh tahun setelah pertama kali menulis buku The Orthodox Church, Metropolitan Kallistos dari Diokleia berujar bahwa dia telah berubah pikiran; kini dia menganggap permasalahan filioque sebagai masalah yang terutama bersifat semantik. Banyak warga Gereja Ortodoks merasa bahwa dengan menurunkan arti penting dari filioque, Metropolitan Kallistos telah menerima ajaran bidaah yang terkandung di dalamnya, yang nyata-nyata bertentangan dengan perkataan Kristus dalam Injil, dan telah dikutuk secara spesifik oleh Gereja Ortodoks. Jadi, bagi sebagian umat Ortodoks, klausa filioque, yang masih menjadi pokok konflik, sama sekali bukanlah halangan bagi terjalinnya persekutuan penuh antara Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks jika isu-isu lainnya telah terselesaikan. Bagi sebagian lainnya, filioque tetap merupakan ajaran bidaah fundamental yang menceraikan Timur dengan Barat.

Gereja Katolik Roma

Pada tahun 1274, dalam Konsili Lyon II, Gereja Katolik Romawi mengutuk orang-orang yang "berani menyangkal" bahwa Roh Kudus keluar dari Sang Bapa dan Sang Putera. Beberapa waktu yang lalu, banyaj teolog Katolik Romawi telah menulis mengenai filioque, dengan maksud ekumenis. Yves Congar, O.P., berpendapat bahwa formulasi yang berbeda-beda itu dapat dipandang bukan sebagai hal-hal yang saling bertentangan melainkan saling melengkapi. Irenee Dalmais, O.P. menunjukkan bahwa Timur dan Barat masing-masing memiliki pneumatologi, teologi tentang Roh Kudus, yang berbeda namun saling melengkapi. Avery Dulles, S.J., menelusuri sejarah kontroversi filioque dan menimbang-nimbang pro dan kontra atas beberapa kemungkinan bagi rekonsiliasi.

Secara resmi, Gereja Katolik Romawi tidak memaksakan pengucapan filioque pada pihak Timur. Gereja-Gereja Katolik Timur, misalnya umat Katolik Byzantium Melkit, dan Ruthenia tidak memasukkan filioque dalam kredo. Kelompok-kelompok lainnya yang kembali dalam persekutuan dengan Gereja Katolik Romawi mengajukan syarat bahwa mereka akan kembali dalam persekutuan dengan Roma jika mereka tidak diwajibkan menyertakan rumusan "dan Sang Putera" dalam pengucapan kredo mereka. Secara umum Gereja-Gereja Katolik Timur berpemahaman bahwa filioque dimengerti dengan cara yang selaras dengan tradisi-tradisi Timur.

Dalam banyak liturgi, bilamana berkonselebrasi dengan para uskup Timur, Sri Paus mendaraskan Kredo Nicea tanpa filioque. Paus Paulus VI dan Paus Yohanes Paulus II berpandangan bahwa naskah kredo tahun 381 sepenuhnya benar, serta penggunaan filioque dalam liturgi-liturgi Timur tidaklah tepat.

Yang cukup penting untuk disimak adalah klarifikasi filioque yang baru-baru ini dikeluarkan oleh Dewan Kepausan bagi Promosi Kesatuan Kristiani. Perumusan dokumen ini dilakukan atas permintaan khusus dari Uskup Roma. Judulnya Tradisi Yunani dan Tradisi Latin Berkenaan dengan Prosesi Roh Kudus.[12]

Diskusi-diskusi dan pernyataan-pernyataan bersama

Pergeseran kebijakan yang jarang diketahui dari pihak Katolik Roma dalam kelanjutan kisah kontroversi ini dapat disimak dalam seuah dokumen resmi yang dipublikasikan pada tanggal 6 Agustus 2000 dan disusun oleh Paus Benediktus XVI, ketika masih menjabat sebagai Kardinal Joseph Ratzinger, prefek dari Kongregasi Doktrin Iman, dengan dibantu oleh sekretaris kongregasi tersebut saat itu yakni Kardinal Tarcisio Bertone. Dokumen ini, Dominus Iesus, (Kalimat Latin yang artinya "Tuhan Yesus"), dengan sub judul "Perihal Kebersatuan dan Universalitas berkeselamatan dari Yesus Kristus dan Gereja" berisi sikap yang luar biasa, karena dalam versi Latin resmi dari dokumen ini,[13] (paragraf kedua pada bagian pertama), klausa filioque diam-diam dilewatkan tanpa bahasan maupun komentar. Dokumen ini menjadi bertambah penting seiring peralihan jabatan penyusunnya dari kardinal menjadi Paus.

Klausa filioque menjadi pokok bahasan utama dalam pertemuan ke-62 dari Konsultasi Teologis Ortodoks-Katolik Amerika Utara, bulan Juni 2002. Hasilnya, diduga kini pihak Ortodoks sudah dapat menerima suatu filioque "ekonomis" yang menyatakan bahwa Roh Kudus, yang berasal dari Sang Bapa semata itu, diutus bagi Gereja "melalui Sang Putera" (seagai Sang Parakletus), namun hal ini bukanlah doktrin resmi Ortodoks. Pada bulan Oktober 2003, Badan Konsultasi tersebut mengeluarkan sebuah kesepakatan bersama, Filioque: Sebuah Isu Pemecah-Belah Gereja?, yang berisi suatu tinjauan ekstensif dari Kitab Suci, sejarah, dan teologi. Rekomendasi-rekomendasinya meliputi, sebagai contoh:

  1. Bahwasanya semua pihak yang terlibat dalam dialog tersebut serta-merta mengakui keterbatasan-keterbatasan kemampuan kami untuk membuat asersi-asersi definitif mengenai hidup pribadi Allah.
  2. Bahwasanya, di kemudian hari, dengan adanya kemajuan dalam saling memahami yang telah timbul dalam dasawarsa-dasawarsa terakhir, umat Ortodoks dan Katolik berhenti memberi label bidaah pada tradisi-tradisi dari pihak lain dalam hal prosesi Roh Kudus.
  3. Bahwasanya para teolog Ortodoks dan Katolik makin jelas membedakan antara identitas ilahiah dan hipostatis dari Roh Kudus (yang merupakan suatu dogma yang diterima oleh Gereja-Gereja kami) dan cara Roh Kudus berasal-usul, yang masih menunggu resolusi ekumenis yang sepenuhnya dan bersifat final.
  4. Bahwasanya pihak-pihak yang terlibat dalam dialog mengenai isu tersebut membedakan, sedapat mungkin, isu-isu teologis mengenai asal-usul Roh Kudus dari isu-isu eklesiologis mengenai primasi dan otoritas doktrinal dalam Gereja, bahkan di saat kami membahas kedua permasalah tersebut dengan serius, secara bersama-sama.
  5. Bahwasanya dialog teologis antara Gereja-Gereja kami juga secara hati-hati membicarakan status dari konsili-konsili mutakhir yang diadakan dalam kedua Gereja kami setelah ketujuh konsili yang secara umum diterima sebagai konsili ekumenis.
  6. Bahwasanya Gereja Katolik, sebagai konsekuensi dari nilai dogmatis yang normatif dan yang tak terbatalkan dari Kredo tahun 381, hanya menggunakan naskah Yunani asli dalam membuat terjemahan-terjemahan Kredo tersebut bagi keperluan katekese dan liturgi.
  7. Bahwasanya Gereja Katolik, mengikuti konsensus teologis yang makin berkembang, khususnya pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan oleh Paus Paulus VI, menyatakan bahwa pengutukan yang dilakukan dalam Konsili Lyons II (1274) atas orang-orang "yang berani menyangkal bahwa Roh Kudus keluar secara kekal dari Sang Bapa dan Sang Putera" tidak berlaku lagi.

Dalam penilaian badan konsultasi terseut, persoalan filioque tidak lagi menjadi sebuah isu "Pemecah-Belah Gereja", yakni isu yang dapat merintangi rekonsiliasi penuh dan komuni penuh. Adalah bagian para uskup Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks untuk meninjau karya ini dan membuat keputusan apapun yang tepat.

Rangkuman

Klausa filioque pada mulanya timbul sebagai upaya untuk memperjelas hubungan antara Sang Putera dan Roh Kudus, guna melawan ajaran bidaah bahwa Sang Putera lebih rendah dari Sang Bapa karena Sang Putera tidak menjadi sumber dari Roh Kudus. Tatkala filioque mulai digunakan di Spanyol dan Gallia di Barat, Gereja-Gereja setempat tidaklah menyadari bahwa bahasa prosesi mereka tidak dapat diterjemahkan dengan baik ke dalam bahasa Yunani. Baik dalam kontroversi Photius maupun dalam Konsili Florence, para Bapa Yunani tidaklah akrab dengan isu-isu linguistik.

Asal-muasal filioque di Barat terdapat dalam karya-karya tulis Bapa-Bapa Gereja tertentu di Barat dan terutama dalam situasi anti-Arian pada abad ke-7 di Spanyol. Dalam konteks ini, filioque merupakan sarana untuk menegaskan kepenuhan keilahian baik dari Roh Kudus maupun dari Sang Putera. Filioque bukanlah sekedar masalah menetapkan hubungan dengan Sang Bapa dan keilahian-Nya; filioque adalah masalah penegasan atas pernyataan iman Katolik bahwa baik Sang Putera maupun Roh Kudus sama-sama memiliki kepenuhan hakikat Allah.

Ironisnya, sikap anti-Arian serupa juga sangat memengaruhi perkembangan liturgi di Timur, sebagai contoh, adanya doa bagi "Kristus Allah kita", suatu ungkapan yang kelak digunakan juga di Barat. Dalam kasus ini, musuh bersama, yakni Arianisme, telah menimbulkan efek-efek yang mendalam dan luas jangkauannya, dalam reaksi ortodoks baik di Timur maupun di Barat.

Isu filioque telah menjadi satu-satunya poin teologis yang nyata dari perselisihan antara Gereja Timur dan Gereja Barat. Semua perbedaan lain antara kedua belah pihak tidaklah bersifat teologis; perbedaan-perbedaan tersebut tidak menyangkut Allah, melainkan menyangkut aspek manusiawi dan duniawi dari Gereja, serta lebih merupakan masalah yurisdiksi dan interpretasi kanonik.

Masalah-masalah politik Gereja, konflik-konflik otoritas, perbedaan etnis, kesalahpahaman linguistik, persaingan perorangan, dan motivasi-motivasi sekuler semuanya terkombinasi dalam berbagai cara untuk memisahkan Timur dan Barat. Di antara masalah-masalah tersebut, yang paling menonjol adalah isu infabilitas kepausan dan isu primasi kepausan. Pembatalan terhadap klausa filioque di pihak Gereja Barat pada dasarnya akan merongrong kedua isu tadi, karena filioque telah diumumkan ex cathedra oleh para paus.

Lebih dari satu kali, permasalahan filioque digunakan untuk menegaskan perpecahan. Kini, dengan bertumbuhnya semangat cinta-kasih, sesuai kehendak Kristus, agar hanya ada satu kawanan (Yoh 10:16; Yoh 17:22), boleh jadi permasalahan filioque akan terselesaikan, sehingga Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks dapat berdamai.

Referensi

Ada banyak karya tulis dengan topik filioque; oleh karena itu karya-karya tulis di bawah ini adalah yang selektif. Seiring berlalunya waktu, daftar di bawah ini akan perlu disesuaikan.

  • "Filioque", Oxford Dictionary of the Christian Church. Oxford, 1997, halaman 611.
  • David Bradshaw. Aristotle East and West: Metaphysics and the Division of Christendom. Cambridge: Cambridge University Press, 2004, halaman 214-220.
  • John St. H. Gibaut, "The Cursus Honorum and the Western Case Against Photius", Logos 37 (1996), 35-73.
  • Elizabeth Teresa Groppe. Yves Congar's Theology of the Holy Spirit. New York: Oxford University Press, 2004. Khususnya lihat halaman 75-79, untuk rangkuman dari karya tulis Congar mengenai filioque. Congar secara luas dianggap sebagai eklesiolog Katolik Romawi terpenting dari abad ke-20. Dia turut berperan dalam penyusunan beberapa dokumen Vatikan II. Yang terpenting dari semuanya, dia merupakan tokoh penting dalam asosiasi pneumatologi dan eklesiologi di Barat, suatu hal yang baru.
  • Richard Haugh. Photius and the Carolingians: The Trinitarian Controversy. Belmont, MA: Nordland Publishing Company, 1975.
  • Joseph Jungmann, S.J. Pastoral Liturgy. London: Challoner, 1962. Lihat "Christ our God", halaman 38-48.
  • James Likoudis. Ending the Byzantine Greek Schism. New Rochelle, New York: 1992. An apologetic response to polemical attacks. Buku ini cukup bermanfaat karena inklusinya atas naskah-naskah dan dokumen-dokumen penting; khususnya lihat ungkapan-ungkapan dan karya-karya tulis Tomas Aquinas, O.P., Demetrios Kydones, Nikos A. Nissiotis, dan Alexis Stawrowsky. Pilihan bibliografinya sangat bagus. Penulis memperlihatkan bahwa permasalahan filioque hanya difahami sebagai bagian dari permasalahan mengenai primasi kepausan dan tidak dapat dibahas lepas dari eklesiologi.
  • Bruce D. Marshall, "'Ex Occidente Lux?' Aquinas and Eastern Orthodox Theology", Modern Theology 20:1 (January, 2004), 23-50. Mengemukakan kembali pandangan-pandangan Aquinas, teristimewa mengenai pengilahian dan rahmat, serta pandangan-pandangan para kritikus Ortodoksnya. Penulis berpendapat bahwa Aquinas mungkin memiliki perspektif yang lebih akurat dibanding para kritikusnya, mengenai permasalahan-permasalahan sistematis dari teologi yang berpautan dengan persoalan filioque.
  • John Meyendorff. Byzantine Theology. New York: Fordham University Press, 1979, halaman 91-94.
  • Aristeides Papadakis. Crisis in Byzantium: The Filioque Controversy in the Patriarchate of Gregory II of Cyprus (1283-1289). New York: Fordham University Press, 1983.
  • Aristeides Papadakis. The Christian East and the Rise of the Papacy. Crestwood, NY: St. Vladimir's Seminary Press, 1994, halaman 232-238 dan 379-408.
  • Duncan Reid. Energies of the Spirit: Trinitarian Models in Eastern Orthodox and Western Theology. Atlanta, Georgia: Scholars Press, 1997.
  • A. Edward Siecienski. The Use of Maximus the Confessor's Writing on the Filioque at the Council of Ferrara-Florence (1438-1439). Ann Arbor, Michigan: UMI Dissertation Services, 2005.
  • Malon H. Smith, III. And Taking Bread: Cerularius and the Azyme Controversy of 1054. Paris: Beauschesne, 1978. Karya tulis ini masih bermanfaat guna memahami keterasingan budaya dan teologi timur dan Barat menjelang pergantian milenium. Kini terbukti bahwa masing-masing pihak tidak memahami pihak lainnya; baik para antagonis Yunani maupun Latin menganggap praktik mereka normatif dan otentik.
  • Timothy [Kallistos] Ware. The Orthodox Church. New edition. London: Penguin, 1993, halaman 52-61.
  • Timothy [Kallistos] Ware. The Orthodox Way. Revised edition. Crestwood, New York: 1995, halaman 89-104.
  • [World Council of Churches] /Conseil Oecuménique des Eglises. La théologie du Saint-Esprit dans le dialogue œcuménique Dokumen # 103 [Iman dan Peraturan]/Foi et Constitution. Paris: Centurion, 1981.

Pranala luar

Umum

Asal-usul Historis

Gereja Ortodoks

  • George Dragas, "The Manner of Reception of Catholic Converts into the Orthodox Church" Dengan menelusuri riwayat penerimaan tersebut, penulis membuat poin penting bahwa praktik membaptis-ulang orang-orang Katolik meluas pada abad ke-13, setelah penjarahan Konstantinopel oleh pasukan Perang Salib. Bahkan cara pembaptisan dengan menyelamkan calon babtis sebanyak satu kali, sebagaimana yang dipraktikkan di Barat, kerap dipandang invalid. Di Rusia, kata penulis, pembaptisan-ulang semacam itu merupakan sebuah praktik yang universal; hal tersebut, katanya, pastilah ditransfer dari Gereja Yunani. Meskipun demikian, sebuah sinode pda tahun 1484 hanya mengharuskan krisma (urapan), serta penolakan atas filioque dan praktik-praktik Barat lainnya, seperti penggunaan roti tidak beragi untuk Ekaristi. Baik dalam pembaptisan-ulang maupun krisma, kaum Latin diperlakukan sebagaimana kaum bidaah yang hendak bertobat.
  • Ecumenism and Heresy Di sini terdapat sederet daftar pranala, yang memberikan posisi-posisi Ortodoks yang anti-ecumenical dan posisi-posisi yang lebih bersifat irenik. Khususnya lihat situs-situs di mana penulisnya adalah Komunitas Suci Gunung Athos, John Meyendorff, dan David Armstrong.
  • "Papal Primacy". dalam artikel ini, Emmanuel Clapsis menyajikan sebuah studi dengan sumber-sumber pustaka yang mencukupi dalam konteks di mana permasalahan filioque dapat diselesaikan: sebuah eklesiologi komuni, dengan pemahaman yang diperbaharui mengenai primasi Uskup Roma. Sebagaimana yang dikatakan Kardinal Ratzinger, kita dapat kembali pada pemahaman akan primasi tersebut sebagaimana adanya pada milenium pertama; yang akan memberikan suatu dasar bagi rekonsiliasi antara Gereja Ortodoks dan Gereja Katolik.
  • "The True Faith" Di sini Romo Chrysostom mengimbau agar berdoa guna terselesaikannya konflik dan polemik yang berkepanjangan itu.
  • "Apostolic Christianity and the 23,000 Western Churches - 6. The Great Schism" Di sini Steven Kovacevich merinci kesesatan-kesesatan dalam format Tanya-Jawab, teristimewa filioque, yang telah memicu Skisma Akbar.

Gereja Katolik

Selayang pandang

  • Kutipan dari buku Mass of the Roman Rite Dalam buku ini, Joseph Jungmann, S.J. menerangkan pentingnya peranan Kristus sebagai perantara dalam liturgi, yang jauh berkurang di Timur, karena adanya anti-Arianisme, kekuatan reaktif yang sama dengan yang telah menimbulkan filioque di Spanyol.

Gereja Lutheran

Diskusi-diskusi dan pernyataan-pernyataan mutakhir

Catatan kaki

  1. ^ http://www.orthodoxinfo.com/inquirers/hierotheos_difference.aspx
  2. ^ Barbero, Allesandro, 2004, Charlemagne: Father of a Continent. Allan Cameron, trans. Berkeley, CA: University of California Press
  3. ^ Ep. 15, c. 1
  4. ^ "Filioque Controversy". 2007-05-02. Diakses tanggal 2007-06-10. 
  5. ^ VITA LEONIS, LIBER PONTIFICALIS (Ed.Duchene, TII, p.26)
  6. ^ a b Aquinas, Thomas. Summa Theolologiae, Part I, 36.4. 
  7. ^ Aquinas, Thomas. Summa Theolologiae, Part I, 36.2. 
  8. ^ Aquinas, Thomas. Summa Theolologiae, Part I, 36.2. 
  9. ^ a b Damascus, John of. An Exact Exposition of the Orthodox Faith, Chapter XIII, (p.9 in Nicene and Post-Nicene Fathers, vol. 9, edited by Philip Schaff). 
  10. ^ Aquinas, Thomas. Summa Theolologiae, Part I, 27 and 36.2 Answer paragraph 4. 
  11. ^ Staniloe, Dumitru. Theology and The Church (p. 29 in Saint Vladimir's Seminary Press edition Translated by Robert Barringer). 
  12. ^ "THE GREEK AND LATIN TRADITIONS REGARDING THE PROCESSION OF THE HOLY SPIRIT". Diakses tanggal 2007-09-05. 
  13. ^ Dominus Iesus

Lihat pula

Templat:Link FA