[go: up one dir, main page]

Gunung berapi

gunung yang masih aktif dan dapat memuntahkan lava dan lahar
(Dialihkan dari Vulkanik)

Gunung berapi atau gunung api secara umum adalah istilah yang dapat didefinisikan sebagai suatu sistem saluran fluida panas (batuan dalam wujud cair atau lava) yang memanjang dari kedalaman sekitar 10 km di bawah permukaan bumi sampai ke permukaan bumi, termasuk endapan hasil akumulasi material yang dikeluarkan pada saat meletus.[1]

Gunung berapi Mahameru atau Semeru di belakang. Latar depan adalah Kaldera Tengger termasuk Bromo, Jawa Timur, Indonesia.

Gunung berapi di Bumi terbentuk dikarenakan keraknya terpecah menjadi 17 lempeng tektonik utama yang kaku dan mengambang di atas lapisan mantel yang lebih panas dan lunak. Oleh karena itu, gunung berapi di Bumi sering ditemukan di batas divergen dan konvergen dari lempeng tektonik. Gunung berapi biasanya tidak terbentuk di wilayah dua lempeng tektonik bergeser satu sama lain.

Merapi National Park, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan sisanya berada dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah, yaitu Kabupaten Magelang di sisi barat, Kabupaten Boyolali di sisi utara dan timur, serta Kabupaten Klaten , Indonesia[2]

Bahaya dari debu vulkanik adalah terhadap penerbangan khususnya pesawat jet karena debu tersebut dapat merusak turbin dari mesin jet.[3] Letusan besar dapat mempengaruhi suhu dikarenakan asap dan butiran asam sulfat yang dimuntahkan letusan dapat menghalangi matahari dan mendinginkan bagian bawah atmosfer bumi seperti troposfer, tetapi material tersebut juga dapat menyerap panas yang dipancarkan dari bumi sehingga memanaskan stratosfer.

Lebih lanjut, istilah "gunung api" juga dipakai untuk menamai fenomena pembentukan ice volcano (gunung api es) dan mud volcano (gunung api lumpur). Gunung api es biasa terjadi di daerah garis lintang tinggi yang mempunyai musim dingin bersalju.

Gunung berapi terdapat di seluruh dunia, tetapi lokasi gunung berapi yang paling dikenali adalah gunung berapi yang berada di sepanjang busur Cincin Api Pasifik (Pacific Ring of Fire).[1] Busur Cincin Api Pasifik merupakan garis bergeseknya antara dua lempengan tektonik dan lebih, di mana Lempeng Pasifik saling bergesek dengan lempeng-lempeng tetangganya.

Gunung berapi dapat dijumpai dalam beberapa bentuk sepanjang masa hidupnya. Gunung berapi yang aktif mungkin berubah fase menjadi separuh aktif, istirahat, sebelum akhirnya menjadi tidak aktif atau mati.[1] Namun gunung berapi mampu istirahat dalam waktu yang sangat lama, lebih dari ribuan tahun sebelum berubah menjadi aktif kembali.[4]

Letusan gunung berapi terjadi apabila magma naik melintasi kerak bumi dan muncul di atas permukaan. Apabila gunung berapi meletus, magma yang terkandung di dalam kamar magma di bawah gunung berapi meletus keluar sebagai lava, di mana lava ini dapat berubah menjadi lahar setelah mengalir dan bercampur dengan material-material di permukaan bumi. Selain dari aliran lava, kehancuran yang disebabkan oleh letusan gunung berapi.

Ilmu yang mempelajari gunung berapi dinamakan Vulkanologi, di mana ilmu ini mempelajari letusan gunung berapi untuk tujuan memperkirakan kemungkinan letusan yang bisa terjadi dari suatu gunung berapi, sehingga dampak negatif letusan gunung berapi dapat ditekan.

Wilayah pembentukan

sunting

Gunung berapi di Bumi terbentuk dari aktivitas lempeng tektonik di kerak yang saling bergesekan dan menekan satu sama lain. Oleh karenanya gunung berapi banyak ditemukan dekat dengan perbatasan lempeng tektonik. Secara geologis, Wilayah dimana gunung berapi terbentuk dibagi tiga, yaitu:

Batas divergen antar lempeng

sunting

Apabila kedua lempeng tektonik bergerak saling menjauhi satu sama lain, maka kerak samudra yang baru akan terbentuk dari keluarnya magma ke permukaan dasar laut. Wilayah antara kedua lempeng yang saling menjauh ini dinamakan dengan batas divergen.[5] Aktivitas ini lalu akan memunculkan Punggung tengah samudra yang terbentuk dari pendinginan magma yang muncul ke permukaan. Gunung berapi yang terbentuk dari aktivitas ini berada di bawah laut, yang ditandai dengan fenomena Ventilasi hidrotermal. Apabila punggung tengah samudra ini mencuat sampai ke permukaan laut, maka kepulauan vulkanik akan terbentuk, contohnya adalah Islandia.

Batas konvergen antar lempeng

sunting

Berbeda dengan batas divergen yang tercipta dari pergerakan kedua lempeng tektonik yang saling menjauh, Batas konvergen antar lempeng merupakan wilayah dimana dua lempeng atau lebih bertemu lalu saling menekan dan mengalami subduksi sehingga tepian di satu lempeng menindih tepian yang lain.[5] Penindihan lempeng ini ditandai dengan terbentuknya bentang alam berupa palung di dasar laut. Fenomena ini menimbulkan melelehnya material yang terdapat di mantel bumi, sehingga material tersebut menjadi magma dan naik ke permukaan kerak yang tipis. Gunung berapi di wilayah ini terbentuk dari pertemuan antara kedua lempeng kerak samudra atau antara lempeng kerak samudra dan benua. Pertemuan antara kedua lempeng kerak benua biasanya tidak memicu pembentukan gunung berapi dikarenakan kerak benua memiliki ketebalan yang tidak dapat ditembus oleh magma di bawah permukaan. Contoh dari gunung berapi ini adalah jajaran gunung berapi di Cincin Api Pasifik, atau Gunung Etna di Italia.

Titik panas

sunting

Titik panas merupakan suatu wilayah vulkanik dimana magma naik ke permukaan dikarenakan adanya celah di kerak bumi yang memungkinkan pergerakan tersebut. Titik panas dapat ditemukan jauh dari batas antar kedua lempeng tektonik. Pergerakan ini memunculkan gunung berapi yang memiliki ciri letusan efusif yang lemah dimana lava muncul ke permukaan secara halus. Dikarenakan lempeng tektonik terus bergerak secara perlahan, wilayah titik panas dapat membentuk gunung berapi yang berbeda-beda sesuai dengan jalur pergerakan suatu lempeng. Kepulauan Hawaii merupakan kepulauan yang terbentuk dari aktivitas vulkanik di titik panas di Samudra Pasifik.

Jenis gunung berapi berdasarkan bentuknya

sunting
Perisai
Gunung berapi perisai tersusun dari batuan aliran lava yang dengan kekentalan rendah yang membeku, sehingga tidak sempat membentuk suatu kerucut yang tinggi (curam), bentuknya akan berlereng landai, dan susunannya terdiri dari batuan yang bersifat basaltik. Gunung seperti ini umumnya hanya mengalami erupsi efusif yang relatif lemah. Contoh bentuk gunung berapi ini terdapat di kepulauan Hawai, Islandia, dan Afrika Timur.[6]
Kerucut
 
Potongan melintang sebuah stratovulkan (tidak sesuai skala):
  1. Dapur magma
  2. Batuan dasar
  3. Pipa kawah
  4. Dasar gunung
  5. Sill
  6. Dike
  7. Lapisan debu vulkanik
  8. Flank
  9. Lapisan lava yang dimuntahkan oleh gunung berapi
  10. Kepundan
  11. Kerucut parasit
  12. Aliran lava
  13. Vent
  14. Kawah
  15. Awan debu
Stratovulkan (gunung berapi kerucut) tersusun dari tefra dan lava hasil erupsi dengan tipe letusan berubah-ubah sehingga dapat menghasilkan susunan yang berlapis-lapis dari beberapa jenis batuan. Lapisan lava tersebut kemudian terakumulasi hingga membentuk suatu kerucut besar (raksasa) yang terkadang memiliki bentuk tidak beraturan. Gunung Merapi di Yogyakarta, Gunung Fuji di Jepang, Gunung Mayon di Filipina, Gunung Vesuvius, dan Gunung Stromboli di Italia merupakan contoh dari gunung berapi jenis ini.
Lava yang berasal dari stratovulkan umumnya mengandung lebih banyak gas dan silika daripada lava yang dihasilkan oleh gunung berapi tipe perisai. Kombinasi ini menyebabkan lava dari stratovulkan menjadi lebih kental[7] dan menghasilkan lebih banyak abu vulkanik. Gunung berapi tipe stratovulkan juga memiliki lereng yang cukup curam, contohnya Gunung Popocatépetl yang lerengnya memiliki gradien rata-rata sekitar 14,04° (25%) dan gradien maksimum sebesar 32,21° (63%).[8]
Kerucut bara (Cinder cone)
Kerucut bara merupakan gunung berapi yang abu dan pecahan kecil batuan vulkanik menyebar di sekeliling gunung. Sebagian besar gunung jenis ini membentuk mangkuk di puncaknya. Jarang yang tingginya di atas 500 meter dari tanah di sekitarnya.
Kaldera
Kaldera terbentuk dari ledakan yang sangat kuat di masa lalu yang melempar bagian atas dan tepi gunung sehingga membentuk cekungan. Gunung Bromo merupakan jenis ini, dimana kaldera tengger yang ada pada saat ini merupakan hasil letusan besar di masa lalu.
Maar
Maar merupakan gunung berapi dengan ketinggian rendah dan diameter kepundan yang lebar, dimana gunung berapi ini terbentuk dari letusan freatomagmatik yang disebabkan oleh tercampurnya magma dengan air di bawah tanah. Saat tidak aktif, maar biasanya terisi oleh air sehingga tampak seperti sebuah danau biasa.

Klasifikasi gunung berapi berdasarkan aktivitas vulkanik

sunting

Gunung-gunung berapi memiliki perbedaan pada tingkat aktivitasnya. Beberapa gunung berapi dapat meletus beberapa kali dalam setahun, tetapi ada pula yang hanya meletus tiap puluhan ribu tahun sekali.[9]:47 Gunung berapi dapat diklasifikasikan secara informal sebagai aktif, tidur, atau mati, meskipun batasan dari klasifikasi ini tidak begitu jelas.[10]

 
Erupsi Gunung Rinjani pada tahun 1994

Tidak ada konsensus yang mampu mendefinisikan kapan gunung berapi dikatakan "aktif".[11] Umur dari sebuah gunung berapi bervariasi, mulai dari beberapa minggu hingga jutaan tahun.[12] Umur yang panjang ini terkadang jauh melampaui umur manusia atau bahkan peradaban di Bumi. Contohnya, sebuah gunung berapi telah meletus puluhan kali dalam beberapa ribu tahun terakhir, meskipun gunung tersebut saat ini tidak menunjukkan tanda-tanda aktivitas vulkanik. Kondisi ini merupakan contoh gunung yang sebenarnya aktif, tetapi tampak mati bagi manusia yang berumur jauh lebih pendek dibandingkan gunung tersebut.

Ilmuan biasanya menganggap sebuah gunung berapi mengalami erupsi atau akan mengalami erupsi berdasarkan beberapa faktor seperti aktivitas kegempaan, emisi gas dari gunung, dan sebagainya. Sebagian besar ilmuwan menganggap gunung berapi "aktif" apabila gunung tersebut pernah mengalami erupsi dalam kurun waktu 10.000 tahun (masa holosen)—kriteria yang sama juga digunakan oleh Program Global Volcanism Smithsonian. Hingga September 2020, program tersebut mencatat 1420 gunung berapi aktif yang pernah mengalami erupsi pada masa Holosen.[13] Sebagian besar gunung berapi tersebut terletak di Cincin Api Pasifik dan lebih dari 500 juta orang tinggal di dekat gunung berapi.[14]

Dasar lain yang digunakan dalam menentukan apakah gunung berapi aktif atau tidak adalah menggunakan catatan sejarah. Dasar ini sebenarnya menimbulkan masalah baru karena catatan sejarah pada setiap daerah di dunia berbeda-beda. Di Tiongkok dan daerah Mediterania, catatan sejarah mencatat peristiwa yang terjadi hingga 3000 tahun yang lalu, tetapi catatan sejarah di barat laut Amerika Serikat dan Kanada hanya mencatat peristiwa yang terjadi kurang dari 300 tahun yang lalu. Sejarah di Hawaii dan Selandia Baru bahkan hanya mencatat peristiwa yang terjadi sekitar 200 tahun yang lalu.[15] Meskipun demikian, Catalogue of the Active Volcanoes of the World yang diterbikan per bagian oleh Asosiasi Vulkanologi Internasional antara tahun 1951 dan 1975 menggunakan dasar ini untuk menyematkan status aktif pada 500 gunung berapi di dunia.[15]

Hingga tahun 2021, berikut adalah lima dari gunung berapi paling aktif di Indonesia:[16]

Gunung berapi tidur adalah gunung berapi yang tidak pernah tercatat mengalami erupsi, tetapi bisa mengalami erupsi lagi di masa mendatang.[17] Gunung berapi dapat tetap bertahan pada status ini dalam waktu yang lama, seperti Yellowstone yang telah berada pada masa istirahat sejak 70.000 tahun yang lalu.[18] Contoh lainnya adalah Gunung Sinabung yang telah beristirahat setidaknya selama 1200 tahun hingga akhirnya kembali menunjukkan aktivitas vulkanik pada tahun 2010.[19]

 
Gunung Fourpeaked di Alaska yang erupsi pada September 2006 setelah disangka sebagai gunung mati

Gunung berapi mati atau padam adalah gunung berapi yang tidak pernah tercatat mengalami erupsi dan kemungkinan tidak akan mengalami erupsi karena tidak lagi memiliki suplai magma.[17] Contoh dari gunung berapi mati adalah, Gunung Hohentwiel di Jerman, Gunung Shiprock di New Mexico, dan Gunung Zuidwal di Belanda. Istilah gunung mati sebenarnya masih diperdebatkan karena umur gunung jauh lebih panjang daripada umur manusia yang mengamatinya.[20] Beberapa gunung bahkan mengalami erupsi setelah dinyatakan sebagai gunung mati, seperti Gunung Fourpeaked di Alaska yang meletus pada tahun 2006 tanpa adanya catatan aktivitas vulkanik selama masa holosen.[21]

Klasifikasi gunung berapi berdasarkan frekuensi letusan di Indonesia

sunting

Kalangan vulkanologi Indonesia mengelompokkan gunung berapi ke dalam tiga tipe berdasarkan catatan sejarah letusan/erupsinya.[22]

  • Gunung api Tipe A: tercatat pernah mengalami erupsi magmatik sekurang-kurangnya satu kali sesudah tahun 1600.
  • Gunung api Tipe B: sesudah tahun 1600 belum tercatat lagi mengadakan erupsi magmatik namun masih memperlihatkan gejala kegiatan vulkanik seperti kegiatan solfatara.
  • Gunung api Tipe C: sejarah erupsinya tidak diketahui dalam catatan manusia, tetapi masih terdapat tanda-tanda kegiatan masa lampau berupa lapangan solfatara/fumarola pada tingkah lemah.

Skema peringatan gunung berapi di Indonesia

sunting
Tingkatan status gunung berapi di Indonesia menurut Badan Geologi Kementerian ESDM
Status Makna Tindakan
AWAS
  • Menandakan gunung berapi yang segera atau sedang meletus atau ada keadaan kritis yang menimbulkan bencana
  • Letusan pembukaan dimulai dengan abu dan asap
  • Letusan berpeluang terjadi dalam waktu 24 jam
  • Wilayah yang terancam bahaya direkomendasikan untuk dikosongkan
  • Koordinasi dilakukan secara harian
  • Piket penuh
SIAGA
  • Menandakan gunung berapi yang sedang bergerak ke arah letusan atau menimbulkan bencana
  • Peningkatan intensif kegiatan seismik
  • Semua data menunjukkan bahwa aktivitas dapat segera berlanjut ke letusan atau menuju pada keadaan yang dapat menimbulkan bencana
  • Jika tren peningkatan berlanjut, letusan dapat terjadi dalam waktu 2 minggu
  • Sosialisasi di wilayah terancam
  • Penyiapan sarana darurat
  • Koordinasi harian
  • Piket penuh
WASPADA
  • Ada aktivitas apa pun bentuknya
  • Terdapat kenaikan aktivitas di atas level normal
  • Peningkatan aktivitas seismik dan kejadian vulkanis lainnya
  • Sedikit perubahan aktivitas yang diakibatkan oleh aktivitas magma, tektonik dan hidrotermal
  • Penyuluhan/sosialisasi
  • Penilaian bahaya
  • Pengecekan sarana
  • Pelaksanaan piket terbatas
NORMAL
  • Tidak ada gejala aktivitas tekanan magma
  • Level aktivitas dasar
  • Pengamatan rutin
  • Survei dan penyelidikan

Jenis erupsi

sunting

Secara umum, erupsi gunung berapi dibagi menjadi erupsi magmatik, freatomagmatik, dan freatik.

Erupsi magmatik

sunting

Erupsi magmatik disebabkan oleh pelepasan gas akibat peristiwa dekompresi. Magma dengan kekentalan rendah dan sedikit kandungan gas akan menghasilkan erupsi yang relatif lemah. Sebaliknya, magma kental yang memiliki kandungan gas dalam jumlah yang besar dapat menghasilkan erupsi yang kuat. Jenis erupsi berikut merupakan erupsi yang namanya berasal dari peristiwa sejarah:[23]

  • Erupsi Hawaiian adalah erupsi gunung berapi yang memuntahkan lava mafik dengan kandungan gas yang relatif sedikit. Erupsi ini hanya menghasilkan aliran lava cair, tetapi hanya sedikit mengeluarkan tefra. Jenis erupsi ini dapat membentuk gunung berapi landai dengan diameter lebar seperti Gunung Mauna Loa. Nama erupsi ini berasal dari nama gunung-gunung berapi di Hawaii.
  • Erupsi Strombolian memuntahkan magma dengan kekentalan dan kandungan gas yang lebih tinggi daripada erupsi Hawaiian. Erupsi ini memiliki berupa letusan-letusan kecil yang terjadi tiap beberapa menit. Nama erupsi ini berasal dari Stromboli, nama pulau dan gunung berapi di Italia.
  • Erupsi Vulkanian melepaskan magma dengan kekentalan yang lebih tinggi. Nama erupsi ini berasal dari Vulcano, sebuah pulau gunung berapi kecil di daerah Mediterania.[24]:150
  • Erupsi Peléan ditandai dengan aliran piroklastik dari sisi puncak gunung berapi yang runtuh akibat tekanan tinggi atau gempa bumi. Nama erupsi ini berasal dari nama Gunung Pelée.[24]:152
  • Erupsi Plinian merupakan erupsi kuat yang melontarkan tefra dalam jumlah yang besar. Erupsi ini juga dapat melontarkan sebagian besar kerucut gunung dan menyebabkan terbentuknya aliran piroklastik. Nama ini berasal dari nama Plinius Muda yang mencatat erupsi Gunung Vesuvius pada tahun 79 M.
  • Erupsi Krakatoan merupakan erupsi dahsyat yang mampu melontarkan nyaris keseluruhan kerucut gunung. Nama erupsi ini berasal dari nama Gunung Krakatau yang berada di Selat Sunda.

Intensitas erupsi gunung berapi diukur menggunakan Volcanic Explosivity Index (VEI) yang memiliki rentang skala 0 untuk erupsi Hawaiian, hingga skala 8 untuk erupsi megakolosal.[9]:27-31

Erupsi freatomagmatik

sunting

Erupsi freatomagmatik diawali dengan interaksi antara magma dengan air tanah. Akibat adanya perbedaan temperatur yang signifikan, terjadi kenaikan tekanan dalam waktu singkat yang berujung pada ledakan. Ledakan tersebut melontarkan uap air dan pecahan piroklastik ke udara.[25] Tidak seperti erupsi freatik, erupsi freatomagmatik juga melontarkan partikel juvenil.[26]

Erupsi freatik

sunting

Sama seperti erupsi freatiomagmatik, erupsi freatik disebabkan oleh kontak antara air tanah dengan batuan panas atau magma. Ledakan kemudian terjadi akibat adanya peningkatan temperatur air dalam waktu yang singkat. Erupsi ini hanya melontarkan uap dan bagian dari dinding kawah.[27]

Material erupsi

sunting

Material yang dilepaskan oleh gunung berapi saat erupsi dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis:[28]

  1. Gas vulkanik, campuran dari uap air, karbon dioksida, dan belerang (dapat berupa sulfur dioksida, SO2, atau hidrogen sulfida, H2S, tergantung temperatur saat letusan)
  2. Lava, magma yang mencapai permukaan Bumi
  3. Tefra, material padat dengan berbagai bentuk dan ukuran yang dilontarkan ke udara

Gas vulkanik

sunting

Konsentrasi gas vulkanik dari erupsi satu gunung bisa berbeda dari gunung lainnya. Gas vulkanik dapat berupa hidrogen sulfida, sulfur dioksida, hidrogen klorida, dan hidrogen fluorida. Gas lain berupa hidrogen, nitrogen, dan karbon monoksida juga termasuk gas vulkanik yang dierupsikan gunung berapi.[29]

Aliran lava

sunting

Bentuk dan tipe erupsi gunung berapi bergantung pada komposisi lava yang dierupsikannya. Karakteristik paling penting dari magma adalah kekentalan dan jumlah gas yang terlarut di dalamnya. Kedua karakteristik tersebut juga dipengaruhi oleh jumlah kandungan silika pada magma. Magma yang mengandung banyak silika cenderung lebih kental dan mengandung lebih banyak gas daripada magma yang mengandung lebih sedikit kandungan silikanya.[7]

Tefra terbentuk ketika magma yang meletus akibat gas panas yang mengembang dalam waktu yang cepat. Ledakan kuat ini menghasilkan partikel material yang beterbangan dari gunung berapi. Partikel padat dengan diameter kurang dari 2 mm disebut sebagai abu vulkanik.[30]

Dampak terhadap manusia

sunting

Erupsi gunung berapi memberikan bahaya besar bagi peradaban manusia. Meskipun demikian, aktivitas vulkanik juga memberikan manfaat.

Dampak buruk

sunting

Terdapat beberapa peristiwa yang merupakan akibat dari erupsi gunung berapi, seperti aliran piroklastik, lahar, dan emisi karbon dioksida. Aktivitas vulkanik juga menyebabkan beberapa peristiwa lain seperti gempa bumi, fumarol, kolam lumpur, dan geiser. Beberapa peristiwa tersebut sering kali memberikan dampak buruk secara langsung bagi aktivitas manusia.

Gas vulkanik dapat mencapai lapisan stratosfer sehingga dapat membentuk aerosol asam sulfat yang mampu menghamburkan radiasi dari Matahari dan menurunkan temperatur di permukaan Bumi.[31] Hal seperti ini kemungkinan pernah terjadi pada Gunung Huaynaputina sekitar tahun 1600, ketika gas vulkanik di atmosfer menyebabkan terjadinya bencana kelaparan Rusia antara tahun 1601-1603.[32] Reaksi kimia yang terjadi pada aerosol sulfat di stratosfer juga dapat merusak lapisan ozon. Zat asam seperti hidrogen klorida (HCl) dan hidrogen fluorida (HF) dapat jatuh ke permukaan Bumi sebagai hujan asam.[33] Erupsi eksplosif gunung berapi juga dapat melepaskan gas rumah kaca seperti karbon dioksida.

Abu vulkanik yang dilontarkan ke udara dapat membahayakan pesawat, terutama pesawat jet. Partikel yang masuk ke dalam mesin jet dapat meleleh akibat temperatur tinggi dan turbin mesin. Selain itu, abu vulkanik dengan kecepatan tinggi dapat merusak bagian luar pesawat, instrumen navigasi, dan sistem komunikasi.[34] Gangguan-gangguan seperti dapat menyebabkan terganggunya penerbangan akibat penundaan dan pengalihan rute penerbangan.

Musim dingin vulkanik diduga sempat terjadi 70.000 tahun yang lalu ketika terjadinya erupsi dahsyat Gunung Toba di Pulau Sumatra.[35] Peristiwa ini mungkin telah menyebabkan terjadinya leher botol populasi yang memengaruhi genetika manusia zaman sekarang.[36] Pada tahun 1815, erupsi Gunung Tambora menyebabkan anomali iklim global yang dikenal sebagai "Year Without a Summer".[37] Erupsi besar gunung berapi juga kemungkinan telah menyebabkan setidaknya satu peristiwa kepunahan masal.[38]

Dampak baik

sunting

Meskipun erupsi gunung berapi dianggap sebagai bencana yang membahayakan manusia, aktivitas vulkanik di masa lalu dapat mendukung perkembangan sumber daya di sekitarnya. Abu vulkanik yang dilepaskan oleh gunung berapi mengandung zat nutrisi yang dapat menyuburkan tanah.[39] Aktivitas vulkanik juga disertai dengan aliran panas dari dalam Bumi yang dapat dimanfaatkan untuk pembangkit listrik tenaga panas bumi.[40]

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ a b c Nuswantoro, Irwan (2011). Top 10 Di Dunia. Jakarta: Penebar Swadaya Grup. hlm. 15. ISBN 9789797882648. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-10. Diakses tanggal 2020-12-19. 
  2. ^ Yumi, Yumi; Sumardjo, Sumardjo; S. Gani, Darwis; Ginting Sugihen, Basita (2011-09). "MODEL PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN PETANI DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT LESTARI: Kasus Di Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah". Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan. 8 (3): 196–210. doi:10.20886/jsek.2011.8.3.196-210. ISSN 1979-6013. 
  3. ^ Budiyati, Dewi Septiana (2020). IPA untuk SMK/ MAK Kelas X. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. hlm. 32. ISBN 9786020503196. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-10. Diakses tanggal 2020-12-19. 
  4. ^ Bersahabat Dengan Ancaman. 2007: Grasindo. 2007. hlm. 18. ISBN 9789790250468. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-10. Diakses tanggal 2020-12-19. 
  5. ^ a b Samadi, Samadi (2007). Geografi SMA Kelas X. Bandung: Yudhistira. hlm. 76. ISBN 9789797468361. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-10. Diakses tanggal 2020-12-19. 
  6. ^ Keller, Edward A.; DeVecchio, Duane E. (2019-03-29). Natural Hazards: Earth's Processes as Hazards, Disasters, and Catastrophes (dalam bahasa Inggris). Routledge. hlm. 396. ISBN 978-1-351-67370-9. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-10. Diakses tanggal 2021-01-29. 
  7. ^ a b Walther (2008-11-21). Essentials of Geochemistry (dalam bahasa Inggris). Jones & Bartlett Publishers. hlm. 273. ISBN 978-0-7637-8737-0. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-10. Diakses tanggal 2021-01-29. 
  8. ^ Klemetti, Erik (2016-12-07). "Annotated Volcano: A Volcano's Shape Can Tell You How It Will Erupt". Wired (dalam bahasa Inggris). ISSN 1059-1028. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-16. Diakses tanggal 2021-01-29. 
  9. ^ a b Martí Molist, Joan (2017-09-06). Assessing Volcanic Hazard (dalam bahasa Inggris). 1. Oxford University Press. doi:10.1093/oxfordhb/9780190699420.013.32. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-06-30. Diakses tanggal 2021-01-30. 
  10. ^ Geikie, Archibald (1882). Textbook of Geology (dalam bahasa Inggris). Macmillan. hlm. 208. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-10. Diakses tanggal 2021-01-31. 
  11. ^ Williams, Matt (19 September 2016). "What is the difference between active and dormant volcanoes?". phys.org (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-22. Diakses tanggal 2021-01-25. 
  12. ^ Cas, R.; Wright, J. (2012-12-06). Volcanic Successions Modern and Ancient: A geological approach to processes, products and successions (dalam bahasa Inggris). Springer Science & Business Media. hlm. 294. ISBN 978-94-009-3167-1. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-10. Diakses tanggal 2021-01-25. 
  13. ^ Venzke, E., ed. (2013). "Holocene Volcano List". Global Volcanism Program Volcanoes of the World (version 4.9.1). Smithsonian Institution. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-22. Diakses tanggal 30 Januari 2021. 
  14. ^ Doocy, Shannon; Daniels, Amy; Dooling, Shayna; Gorokhovich, Yuri (2013). "The Human Impact of Volcanoes: a Historical Review of Events 1900-2009 and Systematic Literature Review". PLoS Currents (dalam bahasa Inggris). doi:10.1371/currents.dis.841859091a706efebf8a30f4ed7a1901. ISSN 2157-3999. PMC 3644290alt=Dapat diakses gratis . PMID 23857374. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-06-13. Diakses tanggal 2021-01-31. More than 500 million people live within the potential exposure range of a volcano. 
  15. ^ a b Decker, Robert Wayne; Decker, Barbara (1991). Mountains of Fire: The Nature of Volcanoes. Cambridge University Press. hlm. 7. ISBN 978-0-521-31290-5. 
  16. ^ Kahfi, Kharishar (12 Februari 2019). "Mountains rumbling: Five most active volcanoes in the archipelago". The Jakarta Post (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-12-24. Diakses tanggal 2021-01-25. 
  17. ^ a b Nelson, Stephen A. (4 Oktober 2016). "Volcanic Hazards & Prediction of Volcanic Eruptions". Tulane University. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-03-19. Diakses tanggal 5 September 2018. 
  18. ^ Lowenstern, Jacob B; Smith, Robert B; Hill, David P (2006-08-15). "Monitoring super-volcanoes: geophysical and geochemical signals at Yellowstone and other large caldera systems". Philosophical Transactions of the Royal Society A: Mathematical, Physical and Engineering Sciences (dalam bahasa Inggris). 364 (1845): 2062. doi:10.1098/rsta.2006.1813. ISSN 1364-503X. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-21. Diakses tanggal 2021-01-31. 
  19. ^ Andreastuti, Supriati; Paripurno, EkoTeguh; Gunawan, Hendra; Budianto, Agus; Syahbana, Devy; Pallister, John (2019-09-15). "Character of community response to volcanic crises at Sinabung and Kelud volcanoes". Journal of Volcanology and Geothermal Research (dalam bahasa Inggris). 382: 301–303. doi:10.1016/j.jvolgeores.2017.01.022. ISSN 0377-0273. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-22. Diakses tanggal 2021-01-25. 
  20. ^ Asyhad, Moh Habib (14 Februari 2014). "Prof. Dr. Katili: Tak Pernah Ada Gunung Api Mati - Semua Halaman - Intisari". intisari.grid.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-22. Diakses tanggal 2021-01-25. 
  21. ^ Cervelli, P. F.; West, M. (2007-12-01). "The 2006 Eruption of Fourpeaked Volcano, Katmai National Park, Alaska". AGU Fall Meeting Abstracts. 31. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-10. Diakses tanggal 2021-01-31. 
  22. ^ Suryana, Dayat (2012). Bali: Bali dan Sekitarnya. CreateSpace Independent Publishing Platform. hlm. 133. ISBN 9781480078611. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-13. Diakses tanggal 2020-12-19. 
  23. ^ McLeish, Andrew (1992). Geological Science (dalam bahasa Inggris). Nelson Thornes. hlm. 63–64. ISBN 978-0-17-448221-5. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-10. Diakses tanggal 2021-01-29. 
  24. ^ a b Dinwiddie, Robert; Lamb, Simon; Reynolds, Ross (2011-10-03). Violent Earth: Volcanoes, Earthquakes, Hurricanes, Mudslides, Tsunamis (dalam bahasa Inggris). Penguin. hlm. 150–152. ISBN 978-0-7566-8946-9. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-10. Diakses tanggal 2021-01-29. 
  25. ^ "Glossary - Phreatomagmatic eruption". USGS: Volcano Hazard Program. U.S. Geological Survey. 2015-12-23. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-03-15. Diakses tanggal 2021-01-29. 
  26. ^ Houghton, Bruce; White, James D. L.; Van Eaton, Alexa R. (2015-01-01). Sigurdsson, Haraldur, ed. The Encyclopedia of Volcanoes (Second Edition) (dalam bahasa Inggris). Amsterdam: Academic Press. hlm. 538. doi:10.1016/b978-0-12-385938-9.00030-4. ISBN 978-0-12-385938-9. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-11-14. Diakses tanggal 2021-01-29. ...but the presence of small amounts of juvenile ejecta suggests that it was phreatomagmatic. 
  27. ^ "Glossary - Phreatic eruption". USGS:Volcano Hazard Program. U.S. Geological Survey. 2015-12-23. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-05-27. Diakses tanggal 2021-01-29. 
  28. ^ Summerfield, Michael A. (2014-05-12). Global Geomorphology (dalam bahasa Inggris). Routledge. hlm. 113. ISBN 978-1-317-88511-5. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-10. Diakses tanggal 2021-01-29. Eruptions can be of three primary types, each associated with a particular form of ejecta - exhalative (gas), effusive (lava) and explosive (tephra) 
  29. ^ Giggenbach, W. F. (1996). Monitoring and Mitigation of Volcano Hazards (dalam bahasa Inggris). Berlin, Heidelberg: Springer Berlin Heidelberg. hlm. 221. doi:10.1007/978-3-642-80087-0_7. ISBN 978-3-642-80089-4. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-10. Diakses tanggal 2021-01-29. 
  30. ^ Schmidt, R. (1981). "Descriptive nomenclature and classification of pyroclastic deposits and fragments: recommendations of the IUGS Subcommission on the Systematics of Igneous Rocks". Geology. 9: 797. doi:10.1007/BF01822152. ISSN 0016-7835. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-16. Diakses tanggal 27 September 2020. 
  31. ^ Naik, Vaishali; Horowitz, Larry W.; Schwarzkopf, M. Daniel; Lin, Meiyun (2017). "Impact of volcanic aerosols on stratospheric ozone recovery". Journal of Geophysical Research: Atmospheres (dalam bahasa Inggris). 122 (17): 9515–9516. doi:10.1002/2016JD025808. ISSN 2169-8996. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-04-09. Diakses tanggal 2021-01-31. 
  32. ^ Witze, Alexandra (2008-04-11). "The volcano that changed the world". Nature (dalam bahasa Inggris): news.2008.747. doi:10.1038/news.2008.747. ISSN 0028-0836. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-03-11. Diakses tanggal 2021-01-31. 
  33. ^ Martı́nez, M; Fernández, E; Valdés, J; Barboza, V; Van der Laat, R; Duarte, E; Malavassi, E; Sandoval, L; Barquero, J (2000-04-01). "Chemical evolution and volcanic activity of the active crater lake of Poás volcano, Costa Rica, 1993–1997". Journal of Volcanology and Geothermal Research (dalam bahasa Inggris). 97 (1): 136–138. doi:10.1016/S0377-0273(99)00165-1. ISSN 0377-0273. 
  34. ^ Becker, Rachel (2018-02-20). "Why it's dangerous to fly through volcanic ash". The Verge (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-03. Diakses tanggal 2021-01-30. 
  35. ^ Vogel, Gretchen (2018-03-12). "How ancient humans survived global 'volcanic winter' from massive eruption". Science | AAAS (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-07-21. Diakses tanggal 2021-01-31. 
  36. ^ Whitehouse, David (9 Juni 2003). "When humans faced extinction". BBC. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-09-04. Diakses tanggal 30 Januari 2021. 
  37. ^ Klingaman, William K.; Klingaman, Nicholas P. (2013-02-26). The Year Without Summer: 1816 and the Volcano That Darkened the World and Changed History (dalam bahasa Inggris). St. Martin's Publishing Group. hlm. 1. ISBN 978-1-250-01206-7. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-10. Diakses tanggal 2021-01-31. 
  38. ^ Percival, Lawrence M. E.; Ruhl, Micha; Hesselbo, Stephen P.; Jenkyns, Hugh C.; Mather, Tamsin A.; Whiteside, Jessica H. (2017-06-19). "Mercury evidence for pulsed volcanism during the end-Triassic mass extinction". Proceedings of the National Academy of Sciences (dalam bahasa Inggris). 114 (30): 7929, 7934. doi:10.1073/pnas.1705378114. ISSN 0027-8424. PMC 5544315alt=Dapat diakses gratis . PMID 28630294. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-10. Diakses tanggal 2021-01-31. 
  39. ^ Fiantis, Dian; Ginting, Frisa Irawan; Gusnidar; Nelson, M.; Minasny, Budiman (2019/1). "Volcanic Ash, Insecurity for the People but Securing Fertile Soil for the Future". Sustainability (dalam bahasa Inggris). 11 (11): 16–17. doi:10.3390/su11113072. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-23. Diakses tanggal 2021-01-31. 
  40. ^ Deamer, Kacey (9 Februari 2017). "Magma Power: Scientists Drill into Volcano to Harness its Energy". livescience.com (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-30. Diakses tanggal 2021-01-31.