[go: up one dir, main page]

Vandana Shiva (bahasa Hindi: वंदना शिवा: lahir 5 November 1952) adalah cendekiawan, aktivis lingkungan, dan penulis anti-globalisasi India.[2] Shiva yang saat ini tinggal di Delhi telah menulis lebih dari 20 buku. Karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia.[3]

Vandana Shiva
LahirVandana Shiva
5 November 1952 (umur 72)
Dehra Dun, Uttar Pradesh (saat ini Uttarakhand), India
KebangsaanIndia
AlmamaterUniversitas Panjab, Chandigarh
Universitas Guelph
Universitas Western Ontario
PekerjaanFilsuf, aktivis lingkungan, penulis, pembicara profesional, aktivis sosial
PenghargaanRight Livelihood Award (1993)
Sydney Peace Prize (2010)
Fukuoka Asian Culture Prize (2012)
Situs webwww.navdanya.org
IMDB: nm0794476 X: drvandanashiva Youtube: UCtIFurmp3Wo20cyKe_Ol16w Last fm: Vandana+Shiva Musicbrainz: 2f5c6fcd-2d7a-49ae-b51b-bc088dc91f7e Discogs: 471152 Allmusic: mn0000260624 Modifica els identificadors a Wikidata
Video-Statement (2014)

Ia merupakan salah satu pemimpin dan anggota dewan International Forum on Globalization (bersama Jerry Mander, Edward Goldsmith, Ralph Nader, Jeremy Rifkin, et al.) dan tokoh gerakan solidaritas global yang dikenal dengan sebutan gerakan alter-globalisasi.[4] Ia mendukung nilai-nilai tradisional seperti yang pernah dipaparkannya dalam buku Vedic Ecology karya Ranchor Prime. Ia adalah anggota komite ilmiah Fundacion IDEAS, wadah pemikir Partai Sosialis Spanyol.[5] Ia juga merupakan anggota International Organization for a Participatory Society.[6] Pada tahun 1993, Shiva dianugerahi Right Livelihood Award dan sejumlah penghargaan lainnya.

Shiva merupakan kritikus terhadap gagasan revolusi hijau dan ekonomi hijau. Bersama aktivis lainnya, ia mendirikan organisasi yang berfokus pada aktivisme sosial dan lingkungan hidup, Navdanya, yang berbasis di India. Ia seorang penulis aktif yang telah menulis lebih dari 20 judul buku. Shiva juga aktif mengkritik sepak terjang perusahaan multinasional dan organisasi multilateral seperti WTO, IMF, dan Bank Dunia yang telah berperan aktif dalam perampasan sumber daya negara-negara berkembang.[7]

Kehidupan awal dan pendidikan

sunting

Vandana Shiva lahir di Dehradun, India pada 1952. Ia memiliki ketertarikan pada fisika dan kemudian mengambil jurusan fisika di universitas. Ia kemudian mengambil program doktoral filsafat sains di Universitas Western Ontario, Kanada pada 1978. Shiva pertama kali terlibat dalam gerakan lingkungan ketika bergabung dengan Gerakan Chipko, yakni gerakan perempuan pedesaan India yang berupaya melawan penebangan pohon.[8]

Pada 1982, Shiva membentuk sebuah organisasi riset yang berfokus pada keberlanjutan dan keadilan sosial bernama Research Foundation for Science, Technology, and Natural Resource Policy, yang kemudian berganti nama menjadi Research Foundation for Science, Technology, and Ecology. Pada 1991, ia mendirikan organisasi non-profit Navdanya, yang berarti "sembilan benih" dalam bahasa Hindi. Organisasi ini bertujuan untuk melindungi pertanian tradisional dan keanekaragaman hayati varietas tanaman lokal.[8]

Aktivisme

sunting
sunting

Shiva mendirikan organisasi Navdanya yang berawal dari gerakan. Organisasi ini telah membuat ratusan bank benih dan mengumpulkan ribuan varietas tanaman lokal. Bank benih ini kemudian dikelola oleh komunitas lokal dan didistribusikan pada para petani. Petani juga dianjurkan untuk berbagi benih dan pengetahuan. Selain itu, Navdanya berbagi pengetahuan terkait risiko pestisida dan mendukung pertanian organik. Navdanya juga mengelola tanah pertanian yang juga difungsikan sebagai pusat pertanian. Ruang lingkup Navdanya kini telah diperluas dengan semakin banyaknya gerakan dan proyek yang ditangani.[7]

Kritik terhadap Revolusi Hijau

sunting

Di buku berjudul "The Violence of the Green Revolution", Shiva mengkritik kebijakan Revolusi Hijau yang marak digunakan sejak 1970an di seluruh dunia. Pada awalnya, Revolusi Hijau dianggap dapat mendorong revolusi di bidang pertanian dan memenuhi kebutuhan pangan bagi umat manusia di seluruh dunia melalui berbagai pengembangan teknologi dan teknik budidaya. Namun, pada kenyataannya Revolusi Hijau telah membawa banyak dampak buruk bagi pertanian dan situasi petani saat ini lebih buruk dibanding sebelum munculnya revolusi. Shiva mengadvokasi gerakan pertanian yang kembali ke cara-cara tradisional yang diadaptasi dengan kondisi lokal tanpa merusak kondisi lingkunan dan sosial masyarakat. Shiva berpendapat bahwa gerakan bekerja dengan alam akan mengurangi kelaparan dan kemiskinan. Pertanian tradisional dan varietas benih lokal memberikan hasil yang lebih baik dibanding organisme termodifikasi secara genetik.[7][8]

Perlawanan terhadap paten benih

sunting

Vandana Shiva memimpin perlawanan terhadap benih tanaman, terutama di India. Ia melihat bahwa penggunaan paten dan kontrol korporasi terhadap benih adalah bentuk kekerasan kepada para petani. Melalui undang-undang dan peraturan terkait benih, paten, dan hak cipta, negara dan korporasi membangun imperialisme baru yang berbasis biologi. Di bukunya yang berjudul Making Peace With The Earth, Shiva banyak menceritakan kondisi para petani di berbagai belahan dunia yang mengalami kesulitan akibat paten benih yang dikuasai oleh perusahaan raksasa pertanian seperti Monsanto.[7]

Menurut Shiva, kekerasan pada petani termanifestasi melalui tiga hal. Pertama, pembajakan biologis (biopiracy) di mana paten membajak keanekaragaman hayati dan pengetahuan lokal. Kontribusi petani pada pembenihan dihapuskan, bahkan petani semakin kesulitan mengembangkan varietas sendiri. Varietas benih yang telah dikembangkan secara alami sekarang dipatenkan atas nama inovasi dan diklaim oleh korporasi sebagai "penemuan" mereka. Kedua, paten menghasilkan royalti atas dasar teknologi dan pembaruan. Produsen benih seperti Monsanto memaksa petani untuk membayar royalti atau lisensi atas penggunaan benih mereka, hingga menyebabkan banyak petani yang terjerat utang. Ketiga, organisme termodifikasi genetik (GMO) telah mengontaminasi tanah-tanah pertanian dan merugikan ribuan petani. Pengembangan varietas GMO telah menghilangkan keragaman varietas benih di seluruh dunia dan menghancurkan hak-hak petani atas pangan dan penghidupan.[7]

Secara singkat, para petani tidak diizinkan untuk mengembangkan varietas benih mereka sendiri, melainkan harus membelinya dari produsen benih yang mematok harga mahal. Benih-benih ini telah dimodifikasi secara genetik sehingga hanya bisa ditanam satu kali atau kehilangan efektivitasnya lagi ketika ditanam ulang. Petani harus terus-menerus mengeluarkan uang untuk membeli benih dan pupuk yang dipasok perusahaan-perusahaan ini. Ketika terjadi wabah penyakit atau gagal panen, petani lah yang menanggung sebagian besar kerugiannya.[7]

Sebagai contoh, ketika petani India membudidayakan kapas Bt, awalnya varietas kapas ini memang menjanjikan keuntungan. Namun, varietas ini ternyata tidak efektif terhadap hama, sehingga petani menggunakan pestisida dan insektisida untuk melawannya. Penggunaan benih GMO, pestisida, dan insektisida mendorong biaya dan menekan penghasilan petani hingga banyak petani yang terlilit utang dan bunuh diri. Tercatat lebih dari 270.000 petani kapas bunuh diri dari 1995 hingga 2014.[9] Sebagian aktivitas, termasuk Shiva, berargumen kasus bunuh diri massal ini tidak terlepas dari peningkatan biaya akibat penggunaan benih GMO dan pestisida. Oleh karena itu, Vandana Shiva dan organisasinya menolak segala jenis paten atau hak cipta atas benih tanaman dan mendorong terciptanya demokratisasi pangan dan pertanian.[7]

Salah satu kontribusi besar Shiva pada bidang ekologi politik dan politik lingkungan adalah ekofeminisme, yakni sebuah perspektif tentang keterkaitan perempuan dengan alam semesta, di mana perempuan adalah bagian penting dalam upaya perlindungan dan penyelamatan bumi. Di banyak negara di dunia dan India, perempuan memainkan peran penting dalam pertanian, di mana perempuan secara tradisional dilibatkan dalam setiap tahap pertanian, sejak penanaman hingga panen. Perempuan juga punya peran tradisional dalam pengolahan makanan dan minuman untuk seluruh anggota keluarga. Di banyak negara, perempuan adalah pihak yang paling rentan terhadap kerusakan lingkungan seperti erosi, kelangkaan air, dan kelangkaan makanan.[7][8]

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ "Sustaining Life". Saving Species. 23 December 2011. BBC Radio 4. Diakses tanggal 18 January 2014. 
  2. ^ Who's Who of Women and the Environment – Vandana Shiva Diarsipkan 2012-10-28 di Wayback Machine. United Nations Environment Programme (UNEP)
  3. ^ "Vandana Shiva's Publications". Diakses tanggal 2011-02-24. 
  4. ^ Chattergee, D.K. (2011). Encyclopedia of Global Justice, A-I Vol. 1. ISBN 9781402091599. Diakses tanggal 2014-10-22. 
  5. ^ "Vandana Shiva-WOMAN OF ACTION". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-10-22. Diakses tanggal 2014-10-22. 
  6. ^ International Organization for a Participatory Society – Interim Committee Retrieved 2012-09-25
  7. ^ a b c d e f g h Shiva, Vandana (2023). Berdamai dengan Bumi: Kejahatan Korporasi dan Masa Depan Sumber Daya, Pangan, dan Tanah. Diterjemahkan oleh Sari, Kumala. Yogyakarta: Penerbit Independen. 
  8. ^ a b c d Erdős, László (2019). Green Heroes: From Buddha to Leonardo DiCaprio. Springer. hlm. 187–192. ISBN 978-3-030-31806-2. 
  9. ^ "India's farmer suicides: are deaths linked to GM cotton? – in pictures". the Guardian (dalam bahasa Inggris). 2014-05-05. ISSN 0261-3077. Diakses tanggal 2024-07-20. 

Pranala luar

sunting

Templat:Pemenang Sydney Peace Prize