Sinagoge

Ada berbagai teori mengenai asal mula sinagoge, yakni sebagai berikut.^[6]

Tradisi Yahudi menyebutkan akar sinagoge dimulai sejak zaman Musa, atau bahkan pada zaman para bapa bangsa Israel.^[6] Flavius Yosefus dan Philo menyatakan bahwa sinagoge didirikan oleh Musa sebagai tempat orang-orang Yahudi mendengarkan Taurat seminggu sekali.^[6] Targum Onkelos menyatakan Yakub sebagai pelayan sinagoge (Kejadian 25:27), sedangkan Targum Yonatan mengatakan bahwa Yitro mengajak Musa untuk mengajarkan umat Israel mengenai doa-doa yang harus diucapkan di dalam sinagoge-sinagoge mereka.^[6] Kemudian Targum Tawarikh mengartikan bukit pengorbanan yang ada di Gibeon sebagai suatu sinagoge.^[6]

Ada teori dari Julian Morgenstern bahwa sinagoge mulai berdiri di Israel sebagai akibat dari Reformasi Yosia, yakni ketika mezbah-mezbah dan bukit-bukit pengorbanan dari tradisi religius non-Yahudi dihancurkan.^[6] Menurut Morgenstern, kuil-kuil di pelosok Israel terus dipakai sebagai tempat pertemuan keagamaan pada hari Sabat dan pada saat perayaan-perayaan Yahudi.^[6] Pendapat lain diberikan J. Weingreen yang menyanggah pendapat Morgenstern dengan alasan bahwa reformasi Yosia telah menghancurkan kuil-kuil di pelosok juga.^[6] Menurutnya, Yosia mendirikan tempat-tempat lain sebagai ganti kuil-kuil tersebut untuk peribadahan rakyat.^[6] Akan tetapi, teori Weingreen ini dipandang lemah sebab tidak memiliki bukti dari riwayat reformasi Yosia.^[6]

R.W. Moss mengajukan pendapat bahwa sinagoge telah ada sebelum masa Pembuangan ke Babilonia abad ke-6 SM.^[6] Ia menyatakan bahwa pada mulanya sinagoge merupakan sekolah dan instansi pemerintahan setempat sebelum berkembang menjadi pusat ibadah pada masa Pembuangan.^[6]

Ada beberapa ahli yang menyatakan asal mula sinagoge pada zaman Makabe atau setelah penghambatan zaman Makabe.^[6] Hal tersebut didasarkan pada bukti-bukti arkeologis yang menyatakan bahwa pada abad ke-3, sinagoge belum dikenal di Palestina.^[6] Bukti arkeologis menyatakan sinagoge tertua yang peninggalannya ditemukan di Palestina berasal dari abad ke-1 M.^[6] Akan tetapi, teori ini lemah sebab pemberontakan Makabe tampaknya berkaitan erat dengan sinagoge, yang mana dikatakan bahwa salinan-salinan Taurat direbut dan dibakar oleh musuh, sehingga membuktikan bahwa sinagoge telah ada sebelum pemberontakan Makabe.^[6]

Kebanyakan ahli mendukung pendapat bahwa sinagoge mula-mula berdiri di pembuangan di Babel yakni sejak abad ke-5 SM.^[5][6][7] Argumentasi dari para ahli didasarkan pada jauhnya orang-orang Yahudi dari Bait Suci yang merupakan pusat ibadah mereka, padahal mereka perlu mempertahankan identitas iman mereka di Babel yang merupakan tempat asing.^[6] Karena itu, orang-orang Yahudi mulai berkumpul di rumah-rumah mereka sendiri dan membahas Kitab Suci secara teratur, serta melakukan perayaan kurban dan perayaan lainnya di tempat-tempat tertentu dan hal itulah yang akhirnya menjadi asal mula sinagoge.^[6] Argumentasi ini didukung dengan kenyataan bahwa harapan untuk kembali ke tanah air Palestina masih terjaga di kalangan umat Yahudi walaupun telah hidup dalam pembuangan selama puluhan tahun.^[6] Selain itu, Taurat masih dipertahankan penggunaannya, bahkan mendapat bentuknya yang semakin formal pada masa Pembuangan tersebut.^[6] Salah satu catatan mula-mula mengenai umat berkumpul bersama untuk membahas Firman Allah tertulis dalam Kitab Yehezkielpasal 8:1.^[8]

Melihat informasi yang menyinggung tentang sinagoge, dapat disimpulkan bahwa sinagoge telah lama ada sebelum masa Perjanjian Baru.^[6] Yesus Kristus kerap kali mengunjungi sejumlah sinagoge di Galilea (misalnya dalam Injil Markus pasal 1). Di dalam catatan Perjanjian Baru, sinagoge telah ada di mana-mana, baik di Palestina maupun di luar Palestina.^[6] Pada waktu Paulus dan rekan-rekannya pertama kali mengunjungi suatu kota di wilayah Roma, mereka mula-mula mengunjungi sinagoge setempat. Di dalam bukti arkeologis lainnya, terdapat bukti adanya sinagoge di Mesir pada abad ke-3 SM, dan tentu saja bukan yang pertama didirikan di situ.^[6]

Pada masa pasca-Pembuangan, institusi Bait Suci dikembangkan kembali dan menjadi pusat keagamaan orang-orang Yahudi.^[3] Akan tetapi, peran sinagoge-sinagoge tetap penting sebagai tempat persekutuan orang-orang Yahudi di perantauan.^[3] Karena itulah, orang-orang Yahudi di luar Palestina biasa mengumpulkan persembahan tahunan untuk mendukung peribadahan di Bait Suci, terlebih bagi mereka yang tidak dapat datang ke Bait Suci untuk mengikuti ritus tahunan.^[3] Selain itu, sinagoge juga berperan untuk mempertahankan identitas Yahudi di perantauan melalui pembacaan Kitab Suci, doa-doa, dan perayaan hari besar Yahudi.^[3]

Perkembangan sinagoge juga amat dipengaruhi oleh perkembangan kaum Farisi pada abad ke-2 SM.^[6] Pada waktu itu, orang-orang yang dapat membaca serta menafsirkan Taurat adalah kaum Farisi, sehingga mereka berperan besar di dalam persekutuan-persekutuan lokal di kalangan rakyat Yahudi.^[6] Hal yang sama terjadi ketika Bait Suci dihancurkan tahun 70 M dan umat Yahudi tersebar ke tempat-tempat lain.^[6] Kelangsungan identitas Yahudi menjadi tergantung pada kaum Farisi, yang disebut juga rabi sebab hanya mereka yang dapat membaca dan menafsirkan Taurat.^[6] Mereka berperan penting di dalam sinagoge-sinagoge lokal di tempat-tempat orang Yahudi tinggal.^[6] Pada masa itulah, studi terhadap Taurat, doa-doa, dan perbuatan baik menggantikan ritus Bait Suci dan persembahan kurban.^[5] Peran penting sinagoge dan rabi masih berlangsung hingga masa kini.^[5]

Sepanjang sejarah Yahudi, sinagoge-sinagoge dibangun oleh bermacam-macam orang, seperti para orang-orang raya maupun kaum-kaum tertentu.^[9] Misalnya, sinagoge-sinagoge Sephardi yang didirikan oleh kaum Sephardi yang mengungsi ke kota-kota besar, di mana sudah terdapat jemaah-jemaah Yahudi.^[9] Umat Yahudi Eropa Timur dicirikan oleh adanya kloiz (harfiah, "tempat berkumpul") di mana jemaah yang seprofesi beribadah bersama-sama. Jadi, ada kloiz penjahit, kloiz pemikul air, dan seterusnya.^[9] Satu kloiz yang sampai sekarang masih dilekati nama tersebut adalah Sinagoge Breslov di Uman, Ukraina, yang mengakomodasi ribuan jamaah pada acara Breslover tahunan Rosh Hashana kibbutz (pertemuan doa).^[9] Sinagoge ini disebut "Kloiz Baru" untuk membedakannya dari "Kloiz Lama", yang dibangun oleh Nathan dari Breslov pada 1834.^[9]

Ada ahli yang berpendapat bahwa pendidikan keagamaan berupa pembacaan dan penafsiran Taurat merupakan fungsi utama dari sinagoge.^[6] Diketahui bahwa di sinagoge, Taurat tidak hanya dibicarakan dan dibahas pada waktu kebaktian, tetapi juga di dalam kurikulum pendidikan sehari-hari.^[6] Selain itu, pelajaran mengenai hal-hal umum juga diberikan di sinagoge.^[4]

Sinagoge juga menjadi tempat bagi calon-calon anggota baru agama Yahudi yang berasal dari non-Yahudi.^[10] Di dalam kitab-kitab Perjanjian Baru orang-orang seperti itu disebut dengan istilah "orang-orang yang takut akan Allah".^[10] Karena itu, dapat disimpulkan bahwa sinagoge juga menjadi tempat pendidikan bagi calon-calon agama Yahudi, namun tentu saja ini tergantung situasi dan peraturan masing-masing sinagoge.^[10]

Ada pula ahli-ahli lain yang berpendapat bahwa fungsi utama sinagoge adalah dalam hal peribadahan.^[4] Ibadah-ibadah dilangsungkan di situ pada hari Sabat dan hari-hari besar lainnya.^[4] Pusat ibadah adalah pembacaan Taurat, dan seluruh desain dan suasana ruangannya diarahkan kepada pembacaan tersebut.^[4] Selain itu, sinagoge juga berfungsi sebagai tempat doa pada jam-jam doa Yahudi, dan dengan berkiblat ke arah Yerusalem.^[6]

Selain fungsi pendidikan dan peribadahan, sinagoge juga berfungsi sebagai tempat pertemuan-pertemuan masyarakat untuk membicarakan masalah-masalah sosial, politik, maupun keagamaan.^[6] Karena itu, sinagoge juga dapat menjadi tempat pengadilan (bandingkan Matius 10:17 dan Kisah Para Rasul 26:11).^[6]

Arkôn adalah petugas utama di sinagoge yang menjadi kepala dan berperan penting di dalam semua kegiatan yang berlangsung.^[4] Tugas utamanya adalah mengatur ketertiban sinagoge dan umat yang berkumpul di situ, serta mengawasi ibadah yang berlangsung.^[6]

Khazzân adalah petugas yang bertanggung jawab atas tugas-tugas kasar hingga tugas pengawasan secara umum, termasuk juga melakukan tugas-tugas administratif.^[6] Ia bertugas merawat gedung sinagoge, perabot-perabot, kitab-kitab sinagoge.^[4] Ia juga yang berdiri di atas gedung sinagoge dan memproklamasikan mulainya hari Sabat dan masa-masa raya.^[4]

Syelîakh Sibûr bertugas untuk mengucapkan doa di dalam ibadah.^[6] Syarat-syarat seorang Syelîakh Sibûr adalah aktif, dewasa, kepala keluarga, tidak kaya, bukan pedagang, mempunyai suara nyaring, dan pandai mengajar.^[6] Ada kemungkinan bahwa pada awalnya Syelîakh Sibûr bukanlah jabatan melainkan seorang yang dipanggil khusus untuk melakukan tugas-tugas tersebut.^[6] Sering terjadi bahwa posisi ini dirangkap oleh Khazzân, sehingga akhirnya lambat laun kedua jabatan itu melebur menjadi satu sehingga istilah Khazzân dan Syelîakh Sibûr disamakan begitu saja.^[6]

Ibadah di dalam sinagoge memiliki unsur-unsur syema, doa, pembacaan Taurat dan kitab-kitab Nabi, dan pengucapan berkat.^[6]

Syema merupakan suatu pengakuan iman orang Yahudi yang berisi keyakinan akan keesaan Tuhan (Ulangan 6:4-5).^[6] Di dalam kitab-kitab Injil, Yesus mengutip syema untuk menjawab pertanyaan, "hukum manakah yang terutama di dalam Taurat?"^[6]

Doa yang diucapkan dinamakan syemoneh ezreh atau delapan belas berkat.^[6] Bentuknya yang definitif disusun pada tahun 110 M, namun beberapa kalimat permulaannya disusun setelah runtuhnya kota Yerusalem tahun 70 M.^[6] Untuk mengucapkan doa, umat berdiri dan pada akhir doa mereka mengucapkan 'amin'.^[6]

Pembacaan Taurat mengikuti pola tertentu yang berlangsung selama tiga tahun sehingga setelah tiga tahun seluruh Taurat telah dibaca seluruhnya.^[6] Pembacaan kitab-kitab Nabi ada, namun belum memiliki pola tertentu sehingga pemilihan bacaan diserahkan kepada yang bertugas membacanya.^[6]

Di Palestina, pembacaan Taurat diikuti dengan penerjemahan teks bacaan tersebut ke dalam bahasa Aram.^[4] Kemudian di dalam sinagoge-sinagoge di perantauan luar Palestina, pembacaan Taurat diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani.^[4] Orang yang menerjemahkan haruslah orang yang dianggap mampu sebab ada peraturan yang ketat mengenai akurasi teks-teks Kitab Suci.^[4]

Sesudah nas Kitab Suci dibacakan, kadang-kadang ada yang bertugas menguraikan isinya. Akan tetapi, uraian tersebut bukanlah merupakan bagian wajib dari ibadah.^[6] Di dalam teks-teks Perjanjian Baru hal ini terlihat dari kisah di mana Yesus dan Paulus diundang untuk menguraikan Kitab Suci di sinagoge tertentu (Matius 4:13 3, 13-34, Kisah Para Rasul 13:15).^[6]

Ibadah ditutup oleh petugas yang mengucapkan berkat setelah diberi isyarat oleh Khazzân.^[6] Ada yang menganggap bahwa tradisi tersebut berasal dari ritus Bait Suci.^[6] Petugas berdiri menghadap umat, sedangkan umat berdiri dengan tangan terangkat setinggi bahu, sambil mengulangi, kata demi kata, apa yang diucapkan oleh petugas.^[6]

Mengenai peran perempuan di dalam sinagoge, masih terjadi perdebatan, termasuk mengenai peran perempuan di dalam ibadah.^[4] Philo mencatat bahwa di sinagoge Aleksandria, perempuan dipisahkan dari laki-laki, dan menempati ruangan luar (serambi) sedangkan kaum laki-laki menempati ruang dalam.^[4] Akan tetapi, melalui penemuan dua puluh inskripsi (tulisan yang terpahat pada batu) dari sinagoge Yahudi kuno, diketahui nama perempuan-perempuan yang menjadi anggota-anggota terkemuka serta pemimpin-pemimpin di komunitas-komunitas Yahudi.^[3] Hal ini menunjukkan situasi sosial pada masa itu bahwa pada tempat dan waktu tertentu, perempuan juga dapat menempati posisi yang tinggi dalam kehidupan religius komunitas Yahudi.^[3]