Predestinasi
Predestinasi, dalam teologi, adalah doktrin yang menyatakan bahwa semua peristiwa di alam semesta ini telah ditentukan oleh Allah, biasanya dikaitkan dengan nasib akhir dari jiwa seseorang.[1] Penjelasan tentang predestinasi umumnya berusaha menjawab paradoks kehendak bebas, di mana kemahatahuan Allah tampaknya tidak kompatibel dengan kehendak bebas manusia. Dalam penggunaan ini, predestinasi dapat dianggap sebagai bentuk dari determinisme religius; dan umumnya predeterminisme, juga dikenal sebagai determinisme teologis.
Sejarah
suntingPeriode pra-Kristen
suntingBeberapa orang telah berargumen bahwa Kitab Henokh mengandung wawasan dunia yang deterministik yang digabungkan dengan dualisme.[2] Kitab Yobel tampaknya mengharmonisasi atau mencampurkan doktrin kehendak bebas dan determinisme.[3]
Yesus bin Sirakh mengafirmasi kehendak bebas, di mana Allah mengizinkan sebuah pilihan atas yang baik atau jahat di hadapan manusia dan mereka dapat memilih salah satu.[4]
Periode Perjanjian Baru
suntingTerdapat beberapa ketidaksepakatan di antara para ahli mengenai pandangan predestinasi dari Yudaisme abad pertama Masehi, dari mana Kekristenan muncul.[butuh rujukan] Yosefus menuliskan selama abad pertama bahwa ketiga sekte Yahudi utama berlainan pendapat mengenai hal ini. Ia berargumen bahwa kaum Eseni dan Farisi berargumen bahwa providensia Allah mengatur semua peristiwa manusia, tetapi kaum Farisi tetap berpendapat bahwa manusia mampu memilih antara benar dan salah. Ia menuliskan bahwa kaum Saduki tidak memiliki doktrin providensia.
Ahli biblika N. T. Wright berargumen bahwa penggambaran Yosefus tentang kelompok-kelompok ini adalah salah, dan bahwa perdebatan Yahudi yang dirujuk oleh Yosefus harus dilihat sebagai berhubungan dengan pekerjaan Allah untuk membebeaskan Israel daripada sebagai pertanyaan filosofis mengenai predestinasi. Wright menegaskan bahwa kaum Eseni merasa cukup untuk menanti Allah membebaskan Israelm sedangkan kaum Farisi percaya bahwa orang-orang Yahudi harus bertindak dalam kerja sama bersama Allah.[5] John Barclay menanggapi bahwa penggambaran Yosefus merupakan sebuah penyederhanaan yang berlebihan dan kemungkinan memang ada perbedaan yang kompleks antara kelompok-kelompok ini yang mungkin mirip dengan yang digambarkan Yosefus.[6] Francis Watson juga telah berargumen atas dasar 4 Ezra, sebuah dokumen dari abad pertama Masehi, bahwa kepercayaan Yahudi terhadap predestinasi terutama berkaitan dengan pilihan Allah untuk menyelamatkan beberapa individu Yahudi.[7]
Pandangan dari cabang Kekristenan
suntingArminianisme
suntingArminian berpendapat bahwa predestinasi Allah berdasarkan pra-pengetahuan Allah. Mereka percaya bahwa Allah memilih orang-orang yang Ia "tahu lebih dahulu" mau percaya untuk diselamatkan, sehingga pra-pengetahuan Allah itu didasarkan pada syarat atau kondisi yang dibentuk oleh manusia.
Lutheranisme
suntingLutheran meyakini bahwa umat pilihan dipredestinasi untuk keselamatan.[8] Tidak seperti Calvinis, Lutheran tidak percaya pada predestinasi untuk kebinasaan atau reprobasi.[9] Sebaliknya, Lutheran mengajarkan hukuman kekal adalah hasil dari dosa-dosa orang fasik, penolakan terhadap pengampunan dosa, dan ketidakpercayaan.[10] Sikap Martin Luther terhadap predestinasi diatur dalam On the Bondage of the Will, yang diterbitkan pada tahun 1525. Buku ini dipublikasikan oleh Luther dalam menanggapi risalah yang diterbitkan oleh Desiderius Erasmus tahun 1524 dikenal sebagai On Free Will. Luther mendasarkan pandangannya pada Efesus 2:8-10, yang mengatakan: "Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri. Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya."
Calvinisme
suntingCalvinis berkeyakinan bahwa Allahlah yang menetapkan takdir kekal terhadap orang-orang: ada yang mendapat keselamatan oleh kasih karunia, sementara sisanya akan menerima penghukuman kekal atas semua dosa mereka, terutama dosa asal mereka. Yohanes Calvin memikirkan secara mendalam sesuatu yang ada di Alkitab dan tidak bisa dimungkiri lagi, yakni adanya anugerah yang tidak dapat ditolak dan pemilihan yang terbatas. Anugerah kepada manusia yang dipilih Tuhan tidak mungkin dapat ditolaknya, karena sudah dipilih oleh Tuhan berdasarkan kedaulatan Tuhan bukan karena kebaikan atau kelebihan apapun dari manusia tersebut, maka mulai dari itu pemilihan Allah kepada manusia tersebut terbatas tergantung kepada kedaulatan Allah. Apakah hal ini adil? Yang disebut adil adalah setiap orang yang jatuh dalam dosa pasti harus binasa, jadi seharusnya semua binasa. Jikalau Allah memilih manusia untuk diselamatkan berdasarkan kedaulatan-Nya, itu adalah karena kasih dan karunia Tuhan sebagai Anugerah Allah.
Katolik
suntingGereja Katolik juga mengajarkan mengenai predestinasi namun menolak pendapat Yohanes Calvin mengenai "predestinasi ganda", yang menyatakan bahwa ada sebagian manusia yang sudah ditentukan untuk menerima hukuman abadi atau kebinasaan. Katekismus Gereja Katolik (KGK) 1037 menjelaskan bahwa tidak ada seorang pun yang ditentukan lebih dahulu oleh Tuhan untuk binasa (masuk neraka), yang mana hal ini telah disampaikan dalam Konsili Orange II tahun 529 dan ditegaskan dalam Konsili Trente tahun 1547; tetapi jika seseorang mengingkari Allah secara sukarela dan sengaja (dengan melakukan dosa berat), dan ia bertahan dengan keras hati sampai akhir hidupnya di dunia ini, akan mengantarnya pada kebinasaan. Selain itu KGK 1037 juga mengutip kata-kata Rasul Petrus dalam 2 Petrus 3:9 yang menyatakan bahwa "Ia menghendaki supaya jangan ada yang binasa, melainkan supaya semua orang berbalik dan bertobat".[11]
Santo Agustinus dari Hippo, seorang Bapa Gereja dan Pujangga Gereja, dalam tulisannya untuk melawan Pelagianisme menyatakan bahwa Allah telah "menentukan" semuanya dan bukanlah kekuatan kehendak seseorang yang menyebakan sesuatu dapat terjadi. Katanya, meskipun seseorang melakukan hal-hal baik, Tuhan sendirilah yang membuatnya dapat melakukan apa yang Dia perintahkan; dan bukan karena orang tersebut yang menyebabkan Tuhan melakukan apa yang telah Dia janjikan.[12] Kemudian dalam "On Grace and Free Will" Ch.2, St Agustinus menjelaskan bahwa Tuhan telah mengungkapkan kepada manusia — melalui Kitab Suci-Nya — bahwa dalam diri setiap manusia ada satu kehendak bebas untuk memilih. Semua ajaran Tuhan hanyalah berguna jika manusia memiliki kehendak bebas untuk memilih, supaya seseorang dapat memperoleh imbalan yang dijanjikan-Nya dengan melakukan ajaran-ajaran-Nya.[13] Dengan demikian St. Agustinus menyatakan bahwa Allah memang menentukan keselamatan manusia, namun manusia perlu menanggapi melalui kehendak bebasnya dengan melaksanakan semua ajaran-Nya.
KGK 600 menjelaskan dengan cara lain mengenai hal ini: bagi Allah setiap waktu (dari awal hingga akhir zaman) adalah masa kini yang sedang berlangsung (di hadapan-Nya). Kalau Ia sudah "menentukan" sesuatu sebelumnya dalam rencana-Nya yang abadi, Ia juga telah memperhitungkan tanggapan atau kehendak bebas masing-masing orang dalam menjawab rahmat-Nya.[14] Ketika Allah telah menentukan sejak semula bahwa Yesus akan mengalami penderitaan (Kisah 4:27-28), Allah membiarkan semua itu terjadi — karena ketidaktahuan mereka — demi rencana keselamatan-Nya (Matius 26:54, Kisah 3:17-18);[14] demikian berarti Allah telah memperhitungkan apa yang akan mereka lakukan terhadap Yesus sebelum semuanya terjadi.
Referensi
sunting- ^ "Predestination". The American Heritage New Dictionary of Cultural Literacy (edisi ke-Third). Houghton Mifflin Company. 2005. Diakses tanggal 13 June 2011 – via Dictionary.com.
- ^ Malan, J. C. (1983). "Enochic (apocalyptic) and Christian perspectives on relationships: A tentative comparison of striking aspects and underlying lines of thinking revealed in 1 Enoch and the New Testament". Neotestamentica. 17: 84–96. ISSN 0254-8356. JSTOR 43047851.
- ^ Sigal, Philip. The Emergence of Contemporary Judaism, Part I and II: The Foundations of Judaism from Biblical Origins to the Sixth Century A.D.
- ^ PhD, Mary A. Ehle; Hiesberger, Jean Marie; Mazza, Biagio; CSJ, Mary M. McGlone; OSB, Abbot Gregory J. Polan; Simeone, Denise; Turner, Paul (2014). Foundations for Preaching and Teaching®: Scripture Backgrounds for 2014 (dalam bahasa Inggris). Liturgy Training Publications. ISBN 978-1-61671-079-8.
- ^ Levering 2011, hlm. 15.
- ^ Levering 2011, hlm. 16.
- ^ Levering 2011, hlm. 17.
- ^ Epitome of the Formula of Concord, Article 11, Election Diarsipkan 2008-10-10 di Wayback Machine., Mueller, J.T., Christian Dogmatics. St. Louis: Concordia Publishing House, 1934. pp. 585-9, bagian "The Doctrine of Eternal Election: 1. The Definition of the Term", dan Engelder, T.E.W., Popular Symbolics. St. Louis: Concordia Publishing House, 1934. pp. 124-8, Part XXXI. "The Election of Grace", paragraph 176.
- ^ Epitome of the Formula of Concord, Article 11, Election Diarsipkan 2008-10-10 di Wayback Machine., dan Engelder's Popular Symbolics, Part XXXI. The Election of Grace, pp. 124-8.
- ^ Mueller, J.T., Christian Dogmatics. St. Louis: Concordia Publishing House, 1934. Hal.637, bagian "The Doctrine of the Last Things (Eschatology), part 7. "Eternal Damnation", and Engelder, T.E.W., Popular Symbolics. St. Louis: Concordia Publishing House, 1934. pp. 135-6, Part XXXIX. "Eternal Death", paragraph 196.
- ^ "Catechism of the Catholic Church". Holy See. Parameter
|chapter=
akan diabaikan (bantuan) - ^ Augustine of Hippo. "In What Respects Predestination and Grace Differ". Anti Pelagian Writings. Diakses tanggal 23 March 2013.
- ^ St. Augustine of Hippo. "On Grace and Free Will". Dalam Philip Schaff. Nicene and Post-Nicene Fathers, First Series, Vol. 5. Translated by Peter Holmes and Robert Ernest Wallis, and revised by Benjamin B. Warfield (edisi ke-1887). Buffalo, NY: Christian Literature Publishing Co. (retrieved from New Advent).
- ^ a b "Catechism of the Catholic Church". Holy See. Parameter
|chapter=
akan diabaikan (bantuan)