[go: up one dir, main page]

Poso adalah perintah yang melarang masyarakat atau sebagian anggota masyarakat di suatu negeri di Maluku Bagian Tengah untuk mengonsumsi, memelihara, menyakiti, menyimpan, dan atau membunuh hewan dan tumbuhan tertentu. Poso juga bisa diartikan sebagai larangan, pantangan, tabu, atau pamali.[1] Tabu untuk memakan hewan dan tumbuhan tertentu sudah ada dalam kebudayaan Ambon sejak dahulu kala. Poso adalah salah satu ciri atau karakteristik yang dimiliki fam (matarumah) dan soa dalam masyarakat Ambon selain monumen fisik kedatangan nenek moyang mereka yang disebut sebagai batu pamali dan monumen lisan yang berisi perjalanan sejarah mereka yang disebut teun.[2] Saat ini arti penting poso di kalangan orang Ambon sudah pudar, tapi tidak terlupakan. Sebagian besar anggota fam atau soa yang memiliki tabu terhadap suatu hewan atau tumbuhan umumnya masih mengingat dan mempertahankan hal tersebut. Bagi sebagian masyarakat, melanggar pantangan seperti poso dapat mengakibatkan peristiwa buruk, nasib sial, kutukan serta kematian.[3] Poso adalah satu dari beberapa larangan dalam adat Ambon selain sasi dan matakau.[4] Umumnya diwariskan turun-temurun sebagai norma lisan sehingga sebenarnya tidak memiliki aturan-aturan yang benar-benar baku.[5]

Penentuan

sunting

Tidak semua jenis hewan atau tumbuhan adalah poso. Hewan atau tumbuhan yang menjadi poso suatu fam atau soa belum tentu merupakan poso bagi fam atau soa yang lain. Penentuan hewan atau tumbuhan sebagai poso sekurang-kurangnya dapat dilakukan melalui dua cara. Cara pertama adalah berdasarkan sejarah yang menceritakan suatu kisah nenek moyang dengan hewan atau tumbuhan tertentu.[3] Cara yang kedua adalah menyesuaikan dengan binatang yang melambangkan teun. Cara kedua ini erat kaitannya dengan semacam peninggalan totemisme.[6]

Poso dan totemisme

sunting

Sejauh yang bisa dipastikan, fam atau soa dalam masyarakat Ambon tidak pernah dinamai menurut hewan atau tumbuhan tertentu sehingga tidak bisa disebut sebagai totemisme. Meskipun ada beberapa yang mempercayai bahwa mereka adalah keturunan hewan dan tumbuhan tertentu sehingga tabu untuk memakan hewan atau tumbuhan itu karena mereka dianggap masih bersaudara.[6] Dalam beberapa kasus, fam atau soa tertentu percaya bahwa hidup mereka berada di bawah perlindungan poso dan dalam keadaan tertentu, sifat-sifat khas poso dapat dimiliki oleh masyarakat yang mempercayainya.[7] Layaknya roh leluhur, poso dapat dipanggil melalui serangkaian upacara adat yang dulu cukup sering dilakukan. Poso yang dipanggil adalah jenis binatang totemik. Kini jejak upacara seperti itu hampir tidak ada lagi kecuali terjadi di Hutumuri. Upacara adat di Hutumuri terjadi setipa bulan Desember. Upacara itu dilakukan dalam rangka mengharapkan kedatangan atau kehadiran poso dari fam-fam yang ada di negeri itu. Akan tetapi, akibat tekanan pihak gereja upacara pemanggilan tidak lagi dilakukan. Pemanggilan terakhir dilakukan pada upacara tutu baileu tahun 1962.[8]

Secara garis besar poso terbagi menjadi dua jenis, poso terhadap hewan dan terhadap tumbuhan. Poso terhadap hewan meliputi jenis ikan, mamalia laut, mamalia, burung (aves), amfibi, dan reptil. Poso terhadap tumbuhan meliputi buah-buahan, sayuran, umbi-umbian, dan kayu.[8]

Contoh

sunting

Berdasarkan sejarah

sunting

Fam Silooi

sunting

Fam Silooi adalah salah satu dari beberapa fam yang mendirikan Negeri Amahusu dan dianggap sebagai fam yang memiliki kedudukan kuat di negeri itu.[9] Anggota fam ini tabu dan pantang memakan ikan hessi-hessi karena ikan tersebut telah menghamili ibu leluhur mereka.[3] Syahdan, Raja Lautaka dari Banda yang bergelar Latu Wakan memiliki tujuh orang anak, enam putra dan seorang putri. Suatu hari ketujuh anak raja pergi ke laut untuk menangkap ikan. Sesampainya di laut, keenam putra raja menangkap ikan hessi-hessi. Mereka memberikan ikan itu kepada adik perempuan mereka untuk disimpan dalam anisar atau keranjang pikul. Sebelum memasukkan ikan ke keranjang, putri raja bermain-main dengan menaruh ikan di mulut atau sela giginya. Ikan itu tergelincir dan menyebabkan sang putri hamil. Anak yang lahir kemudian dinamai Boiratan dan ketika dewasa ia dan ibunya berlayar ke Ambon dan mendirikan Negeri Amahusu. Di kediaman yang baru, mereka mengganti nama menjadi Silooi yang berarti keranjang pikul. Hal tersebut dilakukan untuk mengenang sejarah mereka. Sejak saat itu pula, anak cuci fam Silooi dilarang memakan ikan hessi-hessi.[10]

Fam Seipala

sunting

Fam Seipala berasal dari Negeri Hatusua. Keturunan fam ini tabu dan berpantang mengonsumsi lumba-lumba (dalam bahasa setempat dikenal sebagai ikan babi). Hal ini disebabkan lumba-lumba menyelamatkan salah seorang leluhur fam ini ketika terjadi kecelakaan di laut. Fam Seipala juga dilarang mengenakan perhiasan emas karena pusaka peninggalan leluhur mereka adalah ular mas, sebuah rantai berbentuk ular yang terbuat dari emas. Mereka percaya bahwa benda pusaka memiliki kekuatan dan nyawa sehingga dianggap sebagai binatang.[3]

Fam Tuhuteru

sunting

Fam Tuhuteru berasal dari Hatusua. Fam ini berpantang memelihara burung kakatua, tapi diperbolehkan mengonsumsi dagingnya apabila mau. Burung kakatua menurut cerita di Hatusua pernah mencuri bayi dari salah seorang perempuan berfam Tuhuteru. Hal itu terjadi saat perempuan tersebut sedang menjaga ladang dari binatang pengganggu. Bayinya ditaruh dalam gendongan yang digantung di sebuah pohon di tepi ladang. Saat itulah bayi tersebut dicuri oleh burung kakatua. Perempuan itu marah besar. Ia mengutuk burung kakatua sebagai pembawa penyakit yang bahkan dapat mendatangkan kematian bagi anggota fam Tuhuteru yang memeliharanya. Ketika salah seorang raja Negeri Hatusua (dari fam atau matarumah parentah Tuhuteru) mengabaikan kutukan itu dan memelihara kakatua, ia pun meninggal dunia.[3]

Fam Marlisa dan Hetharion

sunting

Marlisa dan Hetharion adalah dua fam dari Lilibooi. Kedua fam ini berpantang mengonsumsi daging kambing. Disebutkan bahwa pada zaman dahulu, nenek moyang mereka menyantap daging kambing dan sakit keras. Sejak saat itu mereka bersumpah tidak akan pernah lagi mengonsumsi daging kambing.[3]

Fam Makatita

sunting

Fam Makatita dari Lilibooi tabu menggunakan kayu gupasa untuk keperluan apa pun. Hal ini disebabkan oleh peristiwa di masa lalu saat leluhur mereka terbakar ketika sedang memasak dengan bahan bakar kayu tersebut. Oleh karena itu hingga kini mereka menghindari penggunaan kayu gupasa.[3]

Seluruh masyarakat Sila dan Titawaai

sunting

Masyarakat Sila dan Titawaai tabu menggunakan kayu titi untuk keperluan apa pun, terutama untuk membuat perahu. Mereka percaya barangsiapa menggunakan kayu titi untuk membuat perahu, perahunya tak akan selesai, mereka dan keluarganya akan mendapat berbagai masalah, termasuk kematian. Poso terhadap kayu itu berawal dari suatu peristiwa yang tak patut terjadi pada masa awal kolonialisme di Maluku. Belanda yang berhasil mengkristenkan penduduk Pulau Nusalaut memaksa penduduk Sila dan Titawaai untuk membuatkan mereka perahu kora-kora. Kora-kora tersebut akan dipakai untuk pelayaran hongi (hongi tochten) guna menghukum negeri-negeri di Maluku Bagian Tengah yang tidak mematuhi monopoli Belanda.Dalam keterpaksaan, masyarakat dua negeri membangun kora-kora di tengah hutan. Mereka membuat kora-kora itu dari bahan kayu titi yang memang tersedia secara melimpah.[6]

Setelah kora-kora diselesaikan, mereka berusaha mendorong benda tersebut ke tepi pantai. Untuk itu mereka membuat lange atau bantalan kayu yang digunakan untuk meluncurkan perahu. Namun, usaha mereka sia-sia karena kora-kora tidak bergerak sedikit pun. Masyarakat kemudian berkonsultasi dengan mauwen atau dukun yang menyebutkan bahwa lange kayu harus diganti tubuh manusia. Mereka akhirnya membunuh seseorang, menjadikannya lange, dan tanpa kesulitan kora-kora yang dibuat meluncur ke tepi pantai. Penyesalan mendalam penduduk Sila dan Titawaai membuat mereka bersumpah untuk tidak menggunakan kayu titi untuk keperluan apa pun.[6]

Berdasarkan pencocokan teun

sunting

Fam-fam di Negeri Sahulau

sunting

Upacara pemanggilan binatang teun (poso) di Sahulau masih dilakukan hingga tahun 1950an. Poso beberapa fam di Sahulau dapat dilihat dalam tabel berikut.[11]

Nama Fam Binatang Teun Sekaligus Poso
Kasale Kuskus (dalam bahasa lokal disebut kusu potar
Rumamina Buaya
Rumarihu Musang
Saparuane Soa-soa
Tipiary Musang

Fam lain di Sahulau memiliki binatang teun sekaligus poso yang lain pula, meliputi burung samal, hiu, penyu, ketam, gurita, dan kerang (disebut pula bia).[11][12]

Fam Lailosa

sunting

Fam yang menjadi matarumah parentah di Negeri Waraka ini mempercayai bahwa leluhur mereka berasal dari pohon raja (yaelatua). Ciri=ciri pohon raja yaitu memiliki daun yang agak panjang dan bagian dalam (yang dikelilingi warna hijau) berwarna emas. Anggota fam ini dilarang duduk di bawah pohon raja.[11]

Fam Horhoruw

sunting

Fam Horhoruw berasal dari Hutumuri. Di negri asal mereka, fam ini tidak memiliki kedudukan sebagai matarumah parentah. Oleh karena itu (sebenarnya) tidak berhak atas jabatan raja. Ketika diadakan upacara pelantikan raja tahun 1974, terjadi hujan yang amat deras. Umumnya hujan deras saat pelaksanaan upacara adat dipandang sebagai permulaan malapetaka. Sebagian masyarakat Hutumuri menjadi khawatir bahwa leluhur marah karena raja yang dilantik bukan berasal dari matarumah parentah. Namun, hal yang hampir dilupakan adalah binatang teun (poso) fam Horhoruw adalah katak dan katak menyukai air. Pandangan yang menganggap bahwa pelantikan raja akan menghasilkan malapetaka pun berubah. Hujan deras yang terjadi dimaknai sebagai persetujuan roh leluhur atas pelantikan raja yang baru.[11]

Hukuman apabila melanggar

sunting

Hukuman melanggar poso bervariasi antardaerah. Hukuman yang paling sering ditemui adalah mendapatkan penyakit kulit berupa kudis atau kaskadu. Berbagai masalah, kesialan, dan kecelakaan bahkan kematian adalah hukuman yang lebih keras.[8]

Lihat pula

sunting

Catatan kaki

sunting
  1. ^ Bartels 2017, hlm. 410.
  2. ^ Bartels 2017, hlm. 500.
  3. ^ a b c d e f g Bartels 2017, hlm. 501.
  4. ^ Rugebregt 2013.
  5. ^ Kantor Bahasa Maluku 2016.
  6. ^ a b c d Bartels 2017, hlm. 502.
  7. ^ Holleman 1923, hlm. 35.
  8. ^ a b c Bartels 2017, hlm. 503.
  9. ^ Bartels 2017, hlm. 499-500.
  10. ^ Bartels 2017, hlm. 498-499.
  11. ^ a b c d Bartels 2017, hlm. 504.
  12. ^ Tichelman 1925, hlm. 431-432.

Daftar pustaka

sunting