[go: up one dir, main page]

Pacu jawi

balapan sapi tradisional di Tanah Datar, Sumatera Barat

Pacu jawi (dari bahasa Minangkabau: "balapan sapi") adalah perlombaan olahraga tradisional di Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, Indonesia. Dalam acara ini, sepasang sapi berlari di lintasan sawah berlumpur dengan panjang sekitar 60–250 meter, sementara seorang joki berdiri di belakangnya dengan memegang kedua sapi. Walaupun namanya mengandung arti "balapan", sapi-sapi hanya dilepas sepasang tanpa lawan tanding, dan tidak ada pemenang secara resmi. Tiap pasang sapi berlari secara bergiliran, sementara penonton menilai sapi-sapi tersebut (terutama berdasarkan kecepatan dan kemampuan berjalan lurus), dan kadang membeli sapi-sapi unggulan dengan harga jauh di atas harga normal. Penduduk Tanah Datar (terutama dari empat kecamatan yaitu Sungai Tarab, Pariangan, Lima Kaum, dan Rambatan) telah menyelenggarakan acara ini selama berabad-abad untuk merayakan masa panen padi. Acara ini juga diiringi pesta desa dan budaya yang disebut alek pacu jawi. Belakangan, acara ini menjadi atraksi wisata yang didukung pemerintah, dan menjadi objek fotografi yang mendapatkan berbagai penghargaan di bidang fotografi. Sejak 2020, pacu jawi diakui secara resmi oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai salah satu Warisan Budaya Tak Benda khas Indonesia dalam bidang Seni Pertunjukan yang berasal dari Sumatera Barat.[1]

Dua sapi berlari sementara seorang joki memegangnya dari belakang, dalam pacu jawi tahun 2015

Latar belakang

 
Pacu jawi pada 1906

Pacu jawi diadakan di Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, Indonesia.[2] Menurut adat, salah satu syarat daerah penyelenggara pacu jawi adalah Gunung Marapi harus terlihat jelas.[2] Gunung setinggi 2.891 meter ini konon adalah asal orang Minangkabau yang kini mendiami Sumatera Barat.[2] Warga setempat yang kebanyakan berlatar belakang petani, menyelenggarakan acara ini saat sawah sudah kosong setelah dipanen dan sebelum penanaman selanjutnya.[2] Lokasinya berganti-ganti antara berbagai nagari (daerah setingkat desa atau kelurahan) di Tanah Datar.[2] Nagari-nagari ini berada di empat kecamatan yang secara adat merupakan penyelenggara pacu jawi, yaitu Sungai Tarab, Pariangan, Lima Kaum, dan Rambatan.[2][3]:2 Keempat kecamatan ini terdiri dari 26 nagari (pada 2014) dengan ketinggian antara 550–700 meter, total sawah 96,16 km² dan lebih dari 12.000 sapi (data tahun 2012).[4]

Pacu jawi telah diselenggarakan sejak berabad-abad lalu, termasuk sebelum kemerdekaan Indonesia, dan berawal dari perayaan dan hiburan panen untuk warga desa.[5][2] Dulunya, acara ini hanya diadakan dua kali setahun, tetapi siklus panen yang semakin pendek memungkinkan acara ini diselenggarakan dengan lebih sering lagi.[2] Pada tahun 2013, nagari-nagari Tanah Datar bergiliran menyelenggarakannya setiap dua bulan, dan tiap giliran terdiri dari empat acara yang diselenggarakan pada hari Rabu atau Sabtu.[2]

Permainan

 
Sapi pacu jawi berlari di lintasan di hadapan penonton.

Walaupun namanya pacu jawi ("balapan sapi" dalam bahasa Minang), acara ini sebenarnya bukan lomba adu kecepatan sapi.[2] Setiap peserta, yaitu sepasang sapi yang dikendalikan oleh seorang joki, masing-masing berlari secara bergiliran di sebidang sawah.[2] Sapi yang digunakan adalah sapi jantan berumur 2 hingga 13 tahun, berlari berpasangan dengan diikat ke sebuah alat bajak dari kayu, tempat sang joki berdiri.[2] Lintasan pacuan adalah tanah berlumpur bekas sawah yang sudah kosong setelah dipanen.[2][6] Berbagai sumber (yang menyaksikan acara pacu jawi pada kesempatan berbeda) menyebut panjang lintasan yang berbeda-beda, mulai dari 60 meter,[2] 100 meter,[4] hingga 250 meter.[6] Lumpur di lintasan pacuan dapat mencapai kedalaman 30 cm.[2] Sapi-sapi ini terlatih untuk mulai berlari saat diberi aba-aba yaitu saat alat bajak yang terikat sudah menyentuh tanah dan diinjak seseorang.[2] Sang joki dapat berdiri dan mengendalikan sapi-sapi ini dengan cara memegang ekor kedua sapi, tanpa menggunakan pecut.[2][7] Tali yang mengikat kedua sapi ini dibuat longgar, sehingga sapi-sapi tersebut sering berlari dengan arah atau kecepatan yang berbeda. Sang joki dituntut untuk mengendalikan sepasang sapi agar tidak berpisah dan bisa berlari lurus sampai ke finis, sambil berusaha agar ia sendiri tidak terjatuh.[7]

 
Seorang joki menggigit ekor sapinya agar berlari lebih cepat.

Para penonton, yang sering termasuk turis mancanegara, menyaksikan acara ini dari tanah kering di pinggir sawah.[2] Bagian dari atraksi acara ini adalah perilaku sapi-sapi yang sulit diatur, sehingga joki sering jatuh atau harus melakukan manuver untuk mempertahankan diri dan mengarahkan sapi-sapi.[7] Kadang sang joki menggigit ekor salah satu sapinya agar berlari lebih cepat (terutama ketika sapi tersebut lebih lambat dibandingkan pasangannya).[7] Lumpur dapat terciprat ke mana-mana, termasuk ke arah penonton.[2] Kadang, sapi malah berbelok arah dan malah berlari ke arah penonton.[2] Tidak jarang terjadi cedera, terutama pada para joki.[6] Tidak ada pemenang yang dinyatakan secara resmi, tetapi penonton umumnya menilai sapi-sapi ini berdasarkan kecepatan, kekuatan, dan kemampuan berlari lurus.[2] Menurut tradisi, kemampuan berlari lurus ini penting untuk mengajarkan filosofi bahwa yang paling dapat dihargai, bukan hanya untuk sapi tetapi untuk manusia, adalah yang dapat mengikuti jalan yang lurus (Minang: luruih).[2][8] Memiliki sapi yang dianggap tangkas dalam pacu jawi adalah sumber kebanggaan bagi warga setempat. Selain itu, sapi-sapi yang dinilai baik oleh penonton dapat meningkatkan nilai jualnya hingga dua atau tiga kali lipat harga biasa.[2][7] Keuntungan finansial ini adalah salah satu motivasi penting untuk para peserta.[2]

Sebuah acara paju jawi dapat diikuti ratusan sapi, termasuk sapi dari nagari tuan rumah maupun dari nagari-nagari lainnya.[2] Dinas Pariwisata Tanah Datar kini menyediakan dana dan truk untuk mengangkut sapi. Sebelum keterlibatan pemerintah, peserta dan sapi-sapinya dapat berjalan kaki hingga 50 kilometer (sering hingga semalaman).[2] Saat acara berlangsung, sapi-sapi yang tidak sedang berpacu ditambatkan di sebidang tanah, biasanya dekat garis finis.[4] Keberadaan sapi-sapi ini konon membantu sapi yang sedang berpacu untuk lebih cepat, karena ingin berkumpul dengan teman-temannya.[4]

Pesta

Acara pacu jawi diiringi dengan sebuah pesta desa (alek nagari) yang disebut alek pacu jawi ("pesta pacu jawi").[2][9] Pesta ini sering melibatkan sapi yang didandani suntiang (perhiasan kepala khas Minangkabau),[9] permainan musik seperti gendang tasa dan talempong pacik,[9] tari piring,[2] pasar dadakan,[2] permainan tradisional,[2] panjat pinang,[2] dan lomba layang-layang. Sebelum keterlibatan pemerintah, warga setempat melakukan urunan untuk menanggung seluruh biaya acara, tetapi sekarang sebagian biaya ditanggung Dinas Pariwisata Tanah Datar.[2]

Aksi berkecepatan tinggi, lumpur yang berterbangan, serta ekspresi joki yang khas (atas) menjadikan pacu jawi sebagai objek yang disukai para fotografer (bawah).[10]

Fotografi

Pacu jawi menarik minat fotografer nasional maupun internasional, dan beberapa foto dari acara ini telah memenangkan berbagai lomba foto.[10] Faktor yang menambah daya tarik fotografi dalam acara ini di antaranya aksi berkecepatan tinggi, cipratan lumpur yang berterbangan, serta postur dan ekspresi wajah joki yang khas.[10] Selain itu, Tanah Datar juga dikenal dengan pemandangan alamnya, termasuk Gunung Marapi, daerah perbukitan, hutan belantara, serta sawah-sawah.[10] Untuk mengambil foto yang bagus, para fotografer sering harus mendekat ke lintasan, dan mengambil risiko terkena cipratan lumpur atau tertabrak sapi.[11] Foto-foto pacu jawi telah menerima berbagai penghargaan seperti World Press Photo of the Year, Hamdan International Photography Award, serta Digital Camera Photographer of the Year oleh koran The Daily Telegraph.[12][13]

Lihat pula

  • Pacu itiak — balapan tradisional khas suku Minangkabau di Payakumbuh, Sumatera Barat
  • Mamajir — balapan tradisional khas suku Kangean di pulau Kangean, Kepulauan Kangean
  • Maen jaran — balapan tradisional khas suku Sumbawa di pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat
  • Karapan sapi — balapan tradisional khas suku Madura di pulau Madura

Referensi

  1. ^ "Pacu Jawi", Cultural Heritage, Ministry of Education and Culture of Indonesia, 2020 
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af Febrianti (2013). "Pacu Jawi: Berlari mengejar harga tinggi". Dalam Rita Nariswari et. al. Atraksi Budaya Nusantara. Pusat Data dan Analisis Tempo. 
  3. ^ Suzanti, Purnama (2014). "Daya tarik Pacu Jawi sebagai atraksi wisata budaya di Kabupaten Tanah Datar". Jurnal Nasional Pariwisata. Yogyakarta: Tourism Study Center, Gadjah Mada University. 6 (1): 1–7. doi:10.22146/jnp.6869. ISSN 1411-9862. 
  4. ^ a b c d Suzanti 2014, hlm. 3.
  5. ^ Suzanti 2014, hlm. 1–2.
  6. ^ a b c "Wet and wild: Indonesia mud bull races not for faint of heart". Gulf News. 2018-12-04. 
  7. ^ a b c d e Theodore Salim (2018-09-07). "Padang: Pacu Jawi Festival". TravelBlog. Expedia. 
  8. ^ Suzanti 2014, hlm. 2.
  9. ^ a b c Budhiana, Nyoman (2011-10-02). Nyoman Budhiana, ed. "Sapi Hias Dilombakan di "Alek Pacu Jawi"". ANTARA News. Antara. 
  10. ^ a b c d Suzanti 2014, hlm. 5.
  11. ^ Suzanti 2014, hlm. 4.
  12. ^ "Joy at the end of the run: Sports Action, first price singles". World Press 2013 Photo Contest. World Press Photo. 2013. 
  13. ^ "Digital Camera Photographer of the Year 2009 winners". The Telegraph. 2009.