[go: up one dir, main page]

Kesultanan Sumbawa

Kesultanan di Nusa Tenggara

Kesultanan Sumbawa atau juga dikenal dengan Kerajaan Samawa[1] adalah salah satu dari tiga kerajaan Islam besar di Pulau Sumbawa. Wilayah kekuasaannya meliputi hampir 2/3 dari luas pulau Sumbawa.[2] Keberadaan Tana Samawa atau wilayah Sumbawa, mulai dicatat oleh sejarah sejak zaman Dinasti Dewa Awan Kuning, tetapi tidak banyak sumber tertulis yang bisa dijadikan bahan acuan untuk mengungkapkan situasi dan kondisi pada waktu itu. Sebagaimana masyarakat di daerah lain, sebagian rakyat Sumbawa masih menganut animisme dan sebagian sudah menganut agama Hindu. Baru pada kekuasaan raja terakhir dari Dinasti Awan Kuning, yaitu Dewa Maja Purwa, ditemukan catatan tentang kegiatan pemerintahan kerajaan, antara lain bahwa Dewa Maja Purwa telah menandatangani perjanjian dengan Kerajaan Gowa di Sulawesi. Perjanjian itu baru sebatas perdagangan antara kedua kerajaan kemudian ditingkatkan lagi dengan perjanjian saling menjaga keamanan dan ketertiban. Kerajaan Gowa yang pengaruhnya lebih besar saat itu menjadi pelindung Kerajaan Samawa.

Kesultanan Sumbawa

Kerajaan Samawa
1674–sekarang
Bendera Kerajaan Samawa
Bendera
Istana Dalam Loka Samawa di Kota Sumbawa Besar
Istana Dalam Loka Samawa di Kota Sumbawa Besar
Ibu kotaSumbawa Besar
Bahasa yang umum digunakanSumbawa
Agama
Islam dan Hindu
PemerintahanMonarki Kesultanan
Sultan 
• 1674–1702
Sultan Harunnurrasyid I
• 1931-1975
Sultan Muhammad Kaharuddin III
• 2011-Sekarang
Sultan Muhammad Kaharuddin IV
Sejarah 
• Berdirinya Dinasti Dewa Dalam Bawa
1674
• Bergabung dengan Indonesia
1950 sekarang
Didahului oleh
Digantikan oleh
krjKerajaan
-
Indonesia
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Kerajaan-kerajaan: Seran, Taliwang, dan Jereweh masing-masing merupakan kerajaan vasal dari kerajaan Sumbawa. Raja Samawa yang pertama dari kerajaan (kecil) Sampar Kemulan bernama Maja Paruwa, dari dinasti Dewa Awan Kuning yang telah memeluk agama Islam. Setelah meninggal, Maja Paruwa diganti oleh Mas Cini (Dewa Mas Pemayam) putra raja selaparang.

Kemudian Mas Cini di ganti oleh Mas Goa. Mas Goa tidak lama memerintah karena pola pikir dan pandangan hidupnya masih dipengaruhi ajaran Hinduisme.

Pada tahun 1637 Mas Goa digantikan oleh putera dari saudara perempuannya, bernama Mas Bantan. Lama pemerintahannya, dari tahun 1675 s.d. 1701. Mas Bantan adalah putera Raden Subangsa, seorang pangeran dari Banjarmasin.[3] hasil pernikahan dengan saudari perempuan Mas Goa yaitu Amas Penghulu

Setelah Dewa Mas Goa di berhentikan karena dianggap telah melanggar salah satu perjanjian damai dengan Kerajaan Gowa, maka ia terpaksa disingkirkan bersama pengikut-pengikutnya, kira-kira ke wilayah Kecamatan Utan-Rhee sekarang. Ia diturunkan dari tahtanya karena mangkir dari kesepakatan pendahulunya dengan Kerajaan Gowa. Tidak disebutkan apa pelanggaran yang telah dilakukan Mas Goa, namun campur tangan Raja Gowa di Sulawesi sangat besar. Pemberhentian secara paksa ini terjadi pada tahun 1673 sekaligus mengakhiri pengaruh Dinasti Dewa Awan Kuning di Sumbawa.[4]

Sejarah Kesultanan Sumbawa

sunting

Kedatangan Islam

sunting

Diperkirakan agama Hindu-Budha telah berkembang pesat di kerajaan-kerajaan kecil di Pulau Sumbawa sekitar 200 tahun sebelum invasi Kerajaan Majapahit ke wilayah ini. Beberapa kerajaan itu antara lain Kerajaan Dewa Mas Kuning di Selesek (Ropang), Kerajaan Airenung (Moyo Hulu), Kerajaan Awan Kuning di Sampar Semulan (Moyo Hulu), Kerajaan Gunung Setia (Sumbawa), Kerajaan Dewa Maja Paruwa (Utan), Kerajaan Seran (Seteluk), Kerajaan Taliwang, dan Kerajaan Jereweh.

Menurut Zolinger, agama Islam masuk ke Pulau Sumbawa lebih dahulu daripada Pulau Lombok antara tahun 14501540 yang dibawa oleh para pedagang Islam dari Jawa dan Sumatra, khususnya Palembang. Selanjutnya runtuhnya Kerajaan Majapahit telah mengakibatkan kerajaan-kerajaan kecil di wilayah Sumbawa menjadi kerajaan-kerajaan yang merdeka. Kondisi ini justru memudahkan bagi proses pengenalan ajaran Islam oleh para mubaligh tersebut, kemudian pada tahun-tahun awal pada abad ke-16, Sunan Prapen yang merupakan keturunan Sunan Giri dari Jawa datang untuk menyebarkan Islam pada kerajaan-kerajaan Hindu di Sumbawa, dan terakhir penaklukan Karaeng Moroangang dari Kerajaan Gowa tahun 1618 atas Kerajaan Dewa Maja Paruwa (Utan) sebagai kerajaan terakhir yang bersedia masuk Islam sehingga menghasilkan sumpah: “Adat dan rapang Samawa (contoh-contoh kebaikan) tidak akan diganggu gugat sepanjang raja dan rakyatnya menjalankan syariat Islam”.

Dinasti Dewa Dalam Bawa

sunting
 
Prosesi Nginring atau perpindahan Sultan Sumbawa ke-16, Sultan Muhammad Kaharuddin III, dari Istana Dalam Loka Samawa ke Istana Bala Puti pada tahun 1934.
 
Istana Bala Puti di Kota Sumbawa Besar yang dibangun pada tahun 1932-1934. Sekarang bangunan ini menjadi Wisma Praja Kabupaten Sumbawa.

Pemberhentian Mas Goa secara paksa pada tahun 1673 mengakhiri pengaruh Dinasti Dewa Awan Kuning di Sumbawa. Satu tahun berikutnya, pada 1674 Dinasti baru terbentuk dan diberi nama Dinasti Dewa Dalam Bawa. Saat itu rakyat Sumbawa sudah mulai memeluk agama Islam. Dinasti Dewa Dalam Bawa ini berkuasa hingga tahun 1958, saat Kesultanan Sumbawa bergabung dengan Republik Indonesia.

Kerajaan-kerajaan: Seran, Taliwang, dan Jereweh masing-masing merupakan kerajaan vasal dari kerajaan Sumbawa. Ketiga kerajaan taklukan ini masing-masing memiliki kedudukan yang sederajat yang disebut Kamutar Telu.[5]

Sultan Sumbawa yang berkuasa setelah Maja Puruwa adalah Amas Cini (Dewa Mas Pamayam) Putra Raja Selaparang yang dilantik sebagai Raja Selaparang dan Sumbawa, setelah itu kekuasaan kembali di pegang oleh keturunan Maja Paruwa yaitu Amas Goa Putra dari Maja Paruwa.

Amas Goa memiliki saudari perempuan yaitu Amas Penghulu yang menikah dengan Raden Subangsa (nama lahir: Raden Marabut) dari Kesultanan Banjar.[6] dan lahir Mas Bantan (Sultan Harrunurassyid I) yang merupakan permulaan periode kekuasaan dinasti Dalam Bawa (Trah Banjar) menggantikan Dinasti Awan Kuning (Trah Sampar Kemulan)

Kekerabatan Sultan Banjar dengan Sultan Sumbawa yang memerintah pada tahun 1700 diberitakan dalam laporan pelaut Inggris dalam buku "Notices of the Indian archipelago & adjacent countries: being a collection of papers relating to Borneo, Celebes, Bali, Java, Sumatra, Nias, the Philippine islands", menyebutkan:[7]

About the year 1700, the English fixed themselves in Banjar, with about 46 English and 100 Bugis, at which time the chief of Banjar had the title of Panambahan, and of the family of Sumbawa.

Sultan Banjar sekitar tahun 1700 adalah Panembahan Tengah Sultan Tahmidullah.[8][9]

Tahun 1673, Kompeni (Belanda) mendarat di Sumbawa. Tahun 1674, 12 Juni 1674, Kerajaan Sumbawa terpaksa menanda tangani perjanjian dengan Kompeni Belanda dan melepaskan haknya atas Selaparang. Tahun 1702, Raja Mas Bantan menyerahkan Kerajaan kepada puteranya Amas Madina yang bergelar Muhammad Jalaluddin Syah. Tahun 1723, Sultan Muhammad Jalaluddin dari Sumbawa menyerang kekuasaan Bali di Selaparang.

Amas Bantan Datu Loka (Sultan Harunurrasyid I) menikah dengan salah satu puteri dari Raja Tallo ke-10 bernama I Mappaijo Daeng Manjauru Sultan Harun Alrasyid (Halimah Karaeng Tanisanga), melahirkan dua putra yaitu amas madina (Sultan Jalaluddin Syah) dan dewa maja Jereweh (Datu Jereweh)

Amas Madina ini menikah dengan I Rakia Karaeng Agangjene (Addatuwang Sidenreng), melahirkan puteri yang menjadi Sultanah (sultan Wanita pertama) bernama I Masugi Ratu Karaeng Bonto Parang.

Penguasa pertama dari Dinasti Dalam Bawa ini adalah Mas Bantan bergelar Sultan Harunnurrasyid I (16741702) Putra Raden Subangsa (Pangeran Banjar) hasil pernikahannya dengan amas penghulu binti Maja Paruwa. Mas Bantan Sultan Harunnurasyid I kemudian digantikan oleh puteranya, Pangeran Mas Madina, bergelar Sultan Muhammad Jalaluddin I yang menikah dengan pute ri Raja Sidenreng dari Sulawesi Selatan yang bernama I Rakia Karaeng Agang Jene. Setelah wafat, Jalaluddin I digantikan oleh Dewa Loka Lengit Ling Sampar, kemudian oleh Dewa Ling Gunung Setia. Tidak banyak bukti sejarah yang dapat mengungkapkan berapa lama keduanya memerintah, tapi diperkirakan mereka memerintah Sumbawa pada tahun 1723-1732.

Pada tahun 1732 kekuasaan atas Kesultanan Sumbawa kembali dipegang oleh keturunan Mas Bantan (Sultan Harunurrasyid) yaitu Sultan Muhammad Kaharuddin I (1732-1758) anak dari Dewa Maja Jereweh.

Setelah Sultan Kaharuddin I wafat, kekuasaan diambil alih oleh istrinya, I Sugiratu Karaeng Bontoparang, yang bergelar Sultanah Siti Aisyah yang merupakan anak Sultan Muhammad Jalaluddin Syah. Raja wanita ini dikenal sering berselisih paham dengan pembantu-pembantu sultan, sehingga pada tahun 1761 ia diturunkan dari tahta. I Sugiratu Karaeng Bontoparang sejatinya akan digantikan oleh Lalu Mustanderman Datu Bejing, namun ia menolak. Lalu Mustanderman Datu Bejing kemudian menyarankan untuk mengangkat adiknya yaitu Lalu Onye Datu Ungkap Sermin (1761-1762). Setelah masuknya VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) Belanda, Kesultanan Sumbawa berhasil ditaklukkan dan menjadi bagian wilayah Gubernemen Celebes, dan sesuai dengan pembagian wilayah afdeeling maka Sumbawa masuk wilayah Karesidenan Timor (Timor en Onderhoorigheden) dengan ibu kota di Sumbawa Besar.

Kekuasaan Belanda pun semakin merajalela. Belanda ikut mengatur keadaan politik di dalam istana, dan ikut menentukan jalannya pemerintahan. Pulau Sumbawa dan Pulau Sumba dijadikan satu dalam bentuk afdeling dengan ibu kota di Sumbawa Besar. Asisten Resident yang pertama adalah Janson van Ray. Kesultanan Sumbawa dibagi dalam dua onderafdeeling, yaitu Sumbawa Barat dan Sumbawa Timur.

Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Jalaluddin III (1833-1931), dibangun Istana Dalam Loka Samawa. Hal ini sangat dimungkinkan karena Sultan Muhammad Jalaluddin III menjalankan roda pemerintahan selama 48 tahun. Setelah ia meninggal pada tahun 1931, tahta sultan turun kepada putra mahkota, yang mendapat gelar Sultan Muhammad Kaharruddin III, yang pada masa pemerintahannya dibangun Istana Bala Puti yang sekarang menjadi Wisma Praja Kabupaten Sumbawa.[10] Pada zaman pemerintahannya pula menjadi masa peralihan kolonialisme Belanda kepada Jepang. Tepat pada bulan Mei 1942, delapan kapal perang Jepang mendarat di Labuhan Mapin di bawah pimpinan Kolonel Haraichi. Ketika Perjanjian Kalijati ditandatangani tanggal 9 Maret 1942, organisasi-organisasi Islam di Sumbawa seperti Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, dan Al-Irsyad, mulai mengatur siasat. Sementara itu, tiga kerajaan di Pulau Sumbawa mengambil sikap tegas menyatakan diri lepas dari kekuasaan Belanda. Kekuasaan Jepang tidak berlangsung lama, karena setelah Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi bom atom, Jepang menyerah kepada Sekutu. Peraktis kekuasaannya berakhir. Sebelum Belanda kembali masuk, Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.

Setelah Kemerdekaan dan Bergabung dengan Republik Indonesia

sunting
 
Foto bersama Sultan Muhammad Kaharuddin III beserta Dewa Bini, pembesar-pembesar Kesultanan Sumbawa, Sultan Bima beserta rombongan dan para petinggi Belanda di Istana Bala Puti.

Agresi Militer Belanda di Indonesia mengakibatkan Sultan Sumbawa, Sultan Muhammad Kaharuddin III menandatangani sebuah perjanjian politik baru dengan Belanda pada tanggal 14 Desember 1948. Isinya antara lain menjelaskan tentang sisa-sisa kekuasaan yang masih dikuasai oleh Belanda di Sumbawa. Kekuasaan tersebut ada tiga, yaitu bidang pertahanan, hubungan luar negeri, dan monopoli atas candu dan garam. Setahun kemudian, pemerintah Negara Indonesia Timur dengan berdasarkan Undang-Undang Nomor 44 tahun 1949 membentuk pemerintahan Federasi Pulau Sumbawa, yang ditetapkan oleh Dewan Raja-Raja pada tanggal 6 September 1949.

Selanjutnya pemerintahan di Sumbawa berubah menjadi Daerah Swapraja Sumbawa yang bernaung dibawah Provinsi Sunda Kecil. Sejak saat itu pemerintahan terus mengalami perubahan mencari bentuk yang sesuai dengan perkembangan yang ada, sampai dilikuidasinya wilayah-wilayah di Pulau Sumbawa pada tangal 22 Januari 1959. Peristiwa ini juga tidak terlepas dari pembentukan Provinsi Nusa Tenggara Barat sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 64 Tahun 1958 dan Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958. Sesuai dengan ketentuan Pasal 7 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958, penjabat Kepala Daerah Swantantra Tingkat I Nusa Tenggara Barat menetapkan likuidasi daerah Pulau Sumbawa pada tanggal 22 Januari 1959, dilanjutkan dengan pengangkatan dan pelantikan penjabat Kepala Daerah Swantantra Tingkat II Sumbawa, Sultan Muhammad Kaharuddin III. Oleh karena itu, tanggal 22 Januari 1959 ditetapkan sebagai hari lahir Kabupaten Sumbawa, yang disahkan dengan Keputusan DPRD Kabupaten Sumbawa Nomor 06/KPTS/DPRD, tanggal 29 Mei 1990.

Setelah Sultan Muhammad Kaharuddin III wafat pada tahun 1975, sempat terjadi kekosongan tahta Kesultanan Sumbawa selama 36 tahun. Baru pada 5 April 2011 melalui musakara rea Lembaga Adat Tana Samawa (LATS) putra mahkota Sultan Muhammad Kaharuddin III, Daeng Muhammad Abdurrahman Kaharuddin, dinobatkan sebagai Sultan Sumbawa ke-17 dengan gelar Sultan Muhammad Kaharuddin IV. Prosesi penobatan dilangsungkan di Istana Dalam Loka Samawa dan Masjid Agung Nurul Huda Sumbawa Besar, serta dihadiri oleh lebih dari 17 raja dan sultan di seluruh Indonesia.[11]

Daftar Raja & Sultan Kesultanan Sumbawa

sunting
 
Istana Bala Kuning di Kota Sumbawa Besar, kediaman resmi Sultan Muhammad Kaharuddin IV.
 
Sultan Muhammad Kaharuddin IV, Sultan Sumbawa ke-17.
  • Dewa Maja Paruwa (Dinasti Dewa Awan Kuning) - Sebelum 1618 – 1632 Raja Samawa yang pertama dari kerajaan (kecil) Sampar Kemulan dari dinasti Dewa Awan Kuning yang telah memeluk agama Islam.
  • Dewa Mas Pamayan/Raden Untalan. Catatan: Sejarawan Belanda, H. J. de Graaf menyatakan bahwa Mas Cini atau Mas Pamayan adalah putera raja Selaparang yang dilantik menjadi raja Selaparang dan Sumbawa pada tanggal 30 November 1648.[3][12][13]Dewa Mas Pamayan disebut juga Dewa Mas Cini (menurut Cornelis Speelman) pada tanggal 24 Desember 1650 menikahi Karaeng Panaikang Daeng Niaq adik tiri Raja Tallo (Harun Al Rasyid).[14][15]
  • Dewa Mas Gowa / mantan Raja Utan (1668-1674).[16][17]

Menurut Arsip Nasional Republik Indonesia, korespondensi antara Sultan Sumbawa Dewa Mas Gowa kepada VOC-Belanda terjadi sejak tanggal 10 Oktober 1674 sampai 3 Februari 1681.[18]

  • Dewa Mas Bantan Datu Loka alias Dewa Masmawa Sultan Harunnurrasyid I (1672/1675 – 1701) - anak Amas Penghulu + Raden Subangsa Pangeran Taliwang;[6][19][20][21][22][23] pada tanggal 29 Juni 1684 menikahi Kareng Tanisanga (saudara perempuan Raja Tallo Abdul Qadir) atau puteri Tumenanga ri Lampana dari Gowa.[15] (menurut catatan Kerajaan bima Bo Sangaji Kai naskah 34, menyebutkan ibu Datu Loka yaitu Amas Panghulu anak dari Raja Dewa Maja Paruwa)
  • Mas Madura[24][25]/Kalimullah/Amas Madina /Dewa Mas Madina Datu Taliwang (1701 – 12 Februari 1725)[20]/Sultan Jalaluddin Muhammad Syah I (1725 – 1731) Ammasaq / [20] / Datu Bala Balong/ Datu Semong / Datu Apit Aik - anak Sultan Harunnurrasyid I;[20][26] - saudara kandung Dewa Maja Jareweh (Mas Palembang).[24][25][27][28]
    • Riwa Batang: Raja Tua Datu Bala Sawo Dewa Loka Ling Sampar / Datu Seran (1723-1725) - saudara kandung Sultan Muhammad Jalaluddin Syah I[29] (menurut catatan Kerajaan bima Bo Sangaji Kai naskah 34, menyebutkan Datu balasawo tidak memiliki keturunan)
  • Datu Gunung Setia / Jalaluddin Datu Taliwang (1725-1732)
  • Dewa Maswawa Sultan Muhammad Kaharuddin I yang merupakan suami Ke 2 Sultanah Aisyah binti Sultan Jalaluddin Muhammad syah I) atau Datu Susun/ Datu Poro / Dewa Mas Mappasossong / Dewa Sesung Mappadusu / Datu Taliwang (bin Dewa Maja Jareweh + Karaeng Bontomajene) (1732-1758)
  • Karaëng-Bontowa 02/ Dewa Maswawa Sultanah Siti Aisyah Datu Bini (I Sugiratu Karaeng Bonto Parang) binti Sultan Jalaluddin Muhammad Syah I (1758-1761) ibunda Siti Hadijah Datu Bonto Paja.[30] dan turun tahta tahun 1761
  • Dewa Maswawa Sultan Lalu Onye Datu Ungkap Sermin (Dewa Lengit Ling Dima) bin Datu Sepe (putera Datu Budi + Dewa Iya) (1761-1763);
  • Dewa Maswawa Sultan Jalaluddin Muhammad Syah II/Gusti Mesir Abdurahman/Datu Pengantin bin Pangeran Aria bin Raja Banjar Panembahan Tengah Sultan Tahmidullah (1762-1766);[31] suami Siti Hadijah Datu Baing (Datu Bonto Paja) anak dari Sultanah Siti Aisyah Datu Bini binti Sultan Muhammad Jalaluddin I.[32][33]
    • (b.) Hasanuddin (Aqa-ad Din) Datu Jereweh (1765).[34][35]
  • Dewa Maswawa Sultan Mahmud (Pangeran Mahmuddin) anak Sultan Muhammad Jalaluddin Syah II hasil perkawinannya dengan Siti Hadijah Datu Baing/Datu Bonto Paja binti Karaeng Bonto Langkasa (Suami Pertama Sultanah Siti Aisyah). Dewa Maswawa Sultan Mahmud menikah dengan Ratu Laiya, adik raja Banjar Sultan Tahmidillah 2 / Sunan Nata Alam.
  • Dewa Maswawa Sultan Harunnurasyid II (Lalu Mahmud/Hasan Rasyid Datu Budi/Datu Seran) (1777-1791)
  • Dewa Maswawa Sultanah Shafiyatuddin (Daeng Massiki) binti Sultan Harunnurrasyid II bin Hasanuddin (Alauddin) Datu Jereweh; (1791-1795) - permaisuri Sultan Abdul Hamid Muhammad Syah (Raja Bima VIII).
  • Dewa Maswawa Sultan Muhammad Kaharuddin II (Lalu Muhammad) bin Sultan Mahmud dengan Ratu Laija binti Raja Banjar - (m. 1795-1816), Sultan Muhammad Kaharuddin II wafat saat wabah malaria pasca peristiwa meletus nya gunung tambora meninggal 5 orang putra yang masih kecil-kecil. Karena itu di tunjuk pemangku kerajaan / Riwa Batang :
  • Dewa Maswawa Sultan Lalu Mesir bin Sultan Muhammad Kaharuddin II (1837-1843) https://pl.wikipedia.org/wiki/W%C5%82adcy_Sumbawy#Su%C5%82tani_Sumbawy
  • Dewa Maswawa Sultan Lalu Muhammad Amrullah (Amaroe'llah) bin Sultan Muhammad Kaharuddin II (1843-1882) 2 Agustus 1857.[41]
  • Dewa Maswawa Sultan Muhammad Jalaluddin Syah III (Dewa Marhum) bin Mas Kuncir Datu Lolo Daeng Manassa (Datu Raja Muda) bin Sultan Amaroe'llah - (m. 1882-1931).[42] Beliau ini cucu dari Sultan Lalu Muhammad Amaroe'llah
  • Dewa Maswawa Sultan Muhammad Kaharuddin III bin Sultan Muhammad Jalaluddin Syah III dengan Siti Maryam Daeng Risompa Datu Ritimu - (m. 1931-1975)
  • Dewa Maswawa Sultan Muhammad Kaharuddin IV (Daeng Ewan) bin Sultan Muhammad Kaharuddin III dengan Siti Khodijah Daeng Ante Ruma Pa'duka binti Sultan Salahuddin Makakidi Agama Raja Bima XIII - (m. 2011-Sekarang)[43]

Hubungan Datu Kamutar dengan Raja-Raja Banjar

sunting
Datu Kamutar Sultan Banjar Keterangan
Dewa Maja Paruwa(sebelum 1618) Sultan Musta'in Billah Raja Banjar IV Dewa Maja Paruwa raja Sampar Kamulan menjadi raja di Sumbawa. Sultan Musta'in Billah dari Banjar mengirim prajurit ke pulau Lombok dipimpin Patih Pilo (Pating Pilo) dan Patih Laga (Pating Raga) untuk membantu Raja Datu Seleparang Prabu Kertabumi (cucu Prabu Kertajagat) untuk menumpas pemberontakan Patih Ariya Banjar yang kini berganti nama menjadi Banjar Getas. Raden Subangsa Pangeran Taliwang menikahi Mas Surabaya kemudian Mas Panghulu, keduanya anak Raja Selaparang Adipati Topati (Deneq Mas Pakel ?) dari pernikahannya dengan putri Sumbawa anak Dewa Maja Paruwa Raja Sumbawa.
Dewa Mas Pamayam 1648-1668
* Mas Cini
* Sultan Inayatullah Raja Banjar V
* Sultan Saidullah Raja Banjar VI
* Sultan Ri'ayatullah pemangku (riwabatang) Raja Banjar VII 1660-1663
Dewa Mas Pamayam (adik ipar Deneq Mas Pakel ?) dilantik menjadi raja muda yang memerintah di Sumbawa pada tanggal 30 November 1648. Di Banjar, saudara sepersusuan raden Subangsa yaitu Sultan Dipati Anom (Sultan Agung) mengambil alih jabatan pemangku Raja (riwabatang) yang dipegang Pangeran Mangkubumi Sultan Riayatullah pemangku Raja Banjar 1660-1663.
Dewa Mas Goa 1668-1674 Sultan Dipati Anom (riwabatang) Raja Banjar 1663-1679 Dewa Mas Goa menggantikan Dewa Mas Pamayam. Maas Goah diturunkan dari tahta, mula-mula diusulkan saudaranya Amas Malin dan Amas Atjin (namun ditolak karena ibunya orang Bali). Pengganti Maas Goah diusulkan keponakannya yaitu Amas Mattaram dan Amas Bantani yang masih memiliki darah keturunan Raja Sumbawa terdahulu (Raja Maja Paruwa). Perkembangan selanjutnya Amas Bantani alias Raden Bantan (bin Raden Subangsa Pangeran Taliwang) naik tahta kerajaan Sumbawa menggantikan pamannya Dewa Mas Goa. Di Banjar 1663-1679 memerintah Sultan (Pangeran) Dipati Anom yang merupakan saudara sepersusuan (saudara angkat) Raden Subangsa Pangeran Taliwang (ayahanda Amas Mattaram Karaeng Taliwang dan Amas Bantani Sultan Sumbawa 3).
Dewa Mas Bantan Datu Loka (1672/1675 – 1701)
*Sultan Harunnurrasyid I 1701-1725
* Raja Tua Datu Setelok/Datu Seran 1725
* Sultan Amarullah Bagus Kasuma Raja Banjar 1663-1700


* Sultan Tahmidullah Panembahan Tengah Raja Banjar 1700-1717 (kakek Gusti Mesir)

Raden Bantan (Amas Bantani) putera Raden Subangsa menjadi Sultan Sumbawa ke-3. Permulaan trah Raja Banjar mulai memerintah atas Sumbawa. Tahun 1679 Putera mahkota Banjar yang sah, Sultan Amarullah Bagus Kasuma berhasil merebut tahta dari pamannya Sultan Dipati Anom.[25][28]

Seorang puteri dari Dewa Mas Bantan, Dewa Isa Karaeng Barong Patola diperisteri oleh Ahmad Daeng Mamuntuli (Mamantuli) Arung Kadjoe (Kaju) bin Arung Teko (Toko) dari Bone. Mungkin sekali Daeng Mamuntuli Arung Kaju pernah bertemu dengan La Maddukelleng di Pulo Laut pada tahun 1715. Daeng Mamantuli (ipar Pangeran Aria Raja Pamukan) membantu Pangeran Purabaya penguasa apanase pulau Laut dalam upaya merebut tahta sepupunya Sultan Amarullah Bagus Kasuma Raja Banjar. Untuk menumpas pemberontakan pasukan Pangeran Purabaya dan anaknya Gusti Busu yang dibantu pasukan Daeng Mamantuli dan pasukan Dayak Biaju maka dikerahkan pasukan militer Banjar dipimpin oleh Pangeran Purba (Pangarang Purba Negarree) dan Pangeran Nata Dilaga. (sumber: Goh Yon Fong, Trade and Politics in Banjarmasin 1700-1747 (Perdagangan dan Politik di Banjarmasin tahun 1700-1747)[44] Karaeng Taliwang (Raja Taliwang) Amas Mattaram (saudara sebapak Dewa Mas Bantan Raja Sumbawa) mati dibunuh oleh Raden Sanggaleija di Bontoala.

Dewa Mas Madina (1701 – 12 Feb. 1725
/Sultan Muhammad Jalaluddin Syah I (1725 – 1731)
* Datu Bala Sawo
Datu Gunung Setia
Sultan Muhammad Kaharuddin I (1731 – 1759) Gusti Amin dilantik menjadi Datu Taliwang, menggantikan Datu Susun/I Mappasusung Dewa Sesung Mappadusu yang kini dinobatkan sebagai Sultan Sumbawa.
Sultanah Siti Aisyah Datu Bini
Datu Ungkap Sermin
* Hasanuddin (Alauddin)
Sultan Muhammad Jalaluddin Syah II Datu Pengantin/Datu Pangeran Gusti Mesir Abdurrahman (suami Siti Hadijah Datu Bonto Paja Karaeng Bonto Massugi) dinobatkan sebagai Sultan Sumbawa IX. Saudara Gusti Mesir, Gusti Aceh dilantik menggantikan Datu Taliwang sebelumnya.[45]
Dewa Pangeran Sultan Mahmud (1765)


* Dewa Mepaconga Mustafa 1765-1775
* Datu Busing Lalu Komak 1775-1777

Dewa Pangeran Sultan Mahmud dinikahkan dengan Ratu Laija saudara perempuan Sultan Tahmidillah 2 Raja Banjar .[46]
Lalu Mahmud Datu Seran Sultan Harunnurrasyid II (1780 – 1791)
Sultanah Shafiyatuddin Daeng Masiki (1791 – 1795)
Sultan Muhammad Kaharuddin II (1795 – 1816)
* Nene Ranga Mele Manyurang Wazir Muadlam 1816-1825
* Mele Abdullah 1825-1836
* Lalu Mesir 1837-1843
Sultan Sulaiman Rahmatullah Raja Banjar Sultan Sulaiman Rahmatullah (bin Sultan Tahmidilllah 2) telah menerima sebuah tombak pusaka bernama Kaliblah dari sepupunya Raja Sumbawa XIII Lalu Muhammad Sultan Muhammad Kaharudddin II (bin Sultan Mahmud). Sultan Sulaiman Saidullah II digantikan anaknya Sultan Adam al-Watsiq Billah. Keberadaan Tombak Kaliblah terakhir berada di tangan Demang Lehman sebelum disita Belanda.[46][47][48]
Sultan M. Amarullah
1843-1882
Sultan Adam
Sultan Tamjidillah 2
Sultan Hidayatullah 2
Sultan Muhammad Jalaluddin Syah III
1882-1931
Sultan Muhammad Seman.
Sultan Muhammad Kaharuddin III
1931-1975
Sultan Muhammad Kaharuddin IV

Lihat Pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ Sejarah Kerajaan Sumbawa.
  2. ^ Lalu Wacana, B.A., Drs. Abdul Wahab H. Ismail, Jaka Sumpeno, B.A. (1 Januari 1991). Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Nusa Tenggara Barat. Indonesia: Direktorat Jenderal Kebudayaan. hlm. 17. 
  3. ^ a b Peninggalan sejarah dan kepurbakalaan Nusa Tenggara Barat. Indonesia: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kantor Wilayah Propinsi Nusa Tenggara Barat, Bagian Proyek Pembinaan Permuseuman Nusa Tenggara Barat. 1997. 
  4. ^ Alan Zuhri: Kerajaan di Sumbawa.
  5. ^ (Indonesia)Sumbawa menjelang setengah abad. Indonesia: Pemerintah Kabupaten Sumbawa. 2008. hlm. 35. 
  6. ^ a b https://sultansinindonesieblog.wordpress.com/sumbawa/71-2/sumb-3/
  7. ^ (Inggris) J. H. Moor (1837). "Notices of the Indian archipelago & adjacent countries: being a collection of papers relating to Borneo, Celebes, Bali, Java, Sumatra, Nias, the Philippine islands". F.Cass & co.: 99. 
  8. ^ http://sejarahastrologimetafisika.blogspot.com/2011/06/silsilah-kerajaan-banjar.html
  9. ^ https://sinarbulannews.files.wordpress.com/2011/01/silsilah-sultan-adam.jpg
  10. ^ Explore Sumbawa: Istana Bala Puti.
  11. ^ DMA Kaharuddin Dinobatkan Sebagai Sultan Sumbawa ke-17.
  12. ^ (Indonesia) Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat. Direktorat Jenderal Kebudayaan. hlm. 44. 
  13. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-03-08. Diakses tanggal 2018-03-07. 
  14. ^ (Indonesia) Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat. Direktorat Jenderal Kebudayaan. hlm. 50. 
  15. ^ a b (Inggris) Susanto Zuhdi, Triana Wulandari (1 Januari 1997). Tawalinuddin Haris, ed. Kerajaan Tradisional di Indonesia : BIMA. Indonesia: Direktorat Jenderal Kebudayaan. hlm. 55. 
  16. ^ (Belanda) Verhandelingen van het Bataviaasch genootschap der kunsten en wetenschappen. 23. Lands drukkerij. 1850. hlm. 174. 
  17. ^ (Belanda)J. Noorduyn (1987). J. Noorduyn, ed. Bima en Sumbawa (Volume 129 dari Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde). 129. Indonesia: BRILL. hlm. 155. ISBN 9067652296. ISSN 1572-1892. ISBN 9789067652292
  18. ^ "Mencari Surat-Surat :: Sejarah Nusantara". Arsip Nasional Republik Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-29. Diakses tanggal 2020-12-18. 
  19. ^ Stokvis, A. M. H. J. (1888). Manuel d'histoire, de généalogie et de chronologie de tous les états du globe: depuis les temps les plus reculés jusqu'à nos jours (dalam bahasa Prancis). E. J. Brill. hlm. 389. 
  20. ^ a b c d (Inggris) "Rulers in Asia (1683 – 1811): attachment to the Database of Diplomatic letters" (PDF). Arsip Nasional Republik Indonesia. hlm. 56. Diakses tanggal 2019-01-05. 
  21. ^ http://www.mbojoklopedia.com/2018/04/perang-para-pangeran-sumbawa.html?m=1
  22. ^ http://kesultananbanjar.com/id/hubungan-kesultanan-sumbawa-dengan-kesultanan-banjar/
  23. ^ (Inggris) Hans Hägerdal (2001). Hindu rulers, Muslim subjects: Lombok and Bali in the seventeenth and eighteenth centuries. Indonesia: White Lotus Press. hlm. 183. ISBN 9747534118. ISBN 9789747534115
  24. ^ a b (Inggris) Abdurrazak Daeng Patunru (1969). "Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara". Sedjarah Gowa. Indonesia: Jajasan Kebudajaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, 1969. hlm. 242. 
  25. ^ a b c (Indonesia) "Netherlands. Ministerie van Binnenlandse Zaken, Netherlands. Ministerie van Onderwijs, Kunsten en Wetenschappen, Netherlands. Ministerie van Onderwijs en Wetenschappen, Netherlands. Commissie voor's Rijks Geschiedkundige Publicatiën, Netherlands. Rijkscommissie voor Vaderlandse Geschiedenis". Rijks geschiedkundige publicatiën: Grote serie. 134. M. Nijhoff. hlm. 58. 
  26. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-12-20. Diakses tanggal 2016-12-11. 
  27. ^ (Inggris) William Cummings, ed. (2011). The Makassar Annals. 35. Indonesia: BRILL. hlm. 155. ISBN 9004253629. ISSN 0067-8023. ISBN 9789004253629
  28. ^ a b (Indonesia) Nederlandsche Oost-Indische Compagnie, Willem Philippus Coolhaas. Generale missiven van gouverneurs-generaal en raden aan Heren XVII der Verenigde Oostindische Compagnie: deel. 1610-1638. M. Nijhoff. hlm. 58. 
  29. ^ https://ihinsolihin.wordpress.com/2014/01/09/sejarah-singkat-pengislaman-kerajaan-sumbawa/
  30. ^ http://kabarntb.com/sambangi-taliwang-raja-gowa-tallo-sebut-silsilah-taliwang-gowa-tallo-punya-hubungan-erat/
  31. ^ http://kesultananbanjar.com/id/kunjungan-sultan-banjar-ke-kesultanan-sumbawa/
  32. ^ Mantja, Lalu (1984). Sumbawa pada masa dulu: suatu tinjauan sejarah. Indonesia: Rinta. 
  33. ^ Clive Parry (1981). The Consolidated Treaty Series (dalam bahasa Inggris). 231. Oceana Publications. hlm. 124. 
  34. ^ Truhart, Peter (1985). Asien, Australien-Ozeanien: Aus: Regenten der Nationen : Systemat. Chronologie D. Staaten U. ihrer polit. Repräsentanten in Vergangenheit U. Gegenwart; E. biogr. Nachschlagewerk, 2 (dalam bahasa Jerman). Saur. hlm. 1710. 
  35. ^ (Inggris) T. Gibson (2007). Islamic Narrative and Authority in Southeast Asia: From the 16th to the 21st Century. hlm. 96. 
  36. ^ Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat. Direktorat Jenderal Kebudayaan. hlm. 56. 
  37. ^ Corpus dplomaticum Neerlando-Indicum: verzameling van politieke contracten en verdere verdragen door de Nederlanders in het Oosten gesloten, van privilegebrieven, aan hen verleend, enz (dalam bahasa Belanda). 6. Nijhoff. 1955. hlm. 269. 
  38. ^ Verhandelingen van het Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (dalam bahasa Belanda). 23. Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. 1850. hlm. 175. 
  39. ^ Heinrich Zollinger (1851). Verslag van eene reis naar Bima en Soembawa, en naar eenige plaatsen op Celebes, Saleijer en Floris, gedurende de maanden Mei tot December 1847 (dalam bahasa Belanda). 23. Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. hlm. 175. 
  40. ^ De Indische gids (dalam bahasa Belanda). 47. 1925. hlm. 620. 
  41. ^ Landsdrukkerij (Batavia) (1871). Almanak van Nederlandsch-Indië voor het jaar (dalam bahasa Belanda). 44. Lands Drukkery. hlm. 222. 
  42. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-02-11. Diakses tanggal 2018-02-10. 
  43. ^ https://docs.google.com/viewerng/viewer?url=http://kesultananbanjar.com/id/wp-content/uploads/2014/11/SILSILAH-SULTAN-SUMBAWA.pdf&hl=en
  44. ^ Tijdschrift voor Nederlandsch Indië (1861). "Tijdschrift voor Nederlandsch Indië (Geschiedkundige aanteekcningen omtrent zuidelijk Borneo)". 51. Ter Lands-drukkerij: 212. 
  45. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-01-05. Diakses tanggal 2019-01-05. 
  46. ^ a b (Belanda) "Tijdschrift voor Indische taal-, land- en volkenkunde". 14. Perpustakaan Negeri Bavarian. 1864: 503. 
  47. ^ (Belanda) G. Kolff (1866). "Notulen van de algemeene en directie-vergaderingen". 3: 80. 
  48. ^ "Notulen van de Directievergaderingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen" (dalam bahasa Belanda). 2. 1865: 204. 

Pranala luar

sunting