[go: up one dir, main page]

Kesultanan Asahan

kerajaan di Asia Tenggara

Kesultanan Asahan adalah sebuah kesultanan yang berdiri pada tahun 1630 di wilayah yang sekarang menjadi Kota Tanjung Balai dan Kabupaten Asahan, Provinsi Sumatera Utara. Kesultanan ini ditundukkan Belanda pada tahun 1865. Kesultanan Asahan menyatu ke dalam negara Republik Indonesia pada tahun 1946.[2]

Negeri Kesultanan Asahan

كسولتانن اسهن
1630–Sekarang
Bendera Kesultanan Asahan
Bendera
{{{coat_alt}}}
Lambang
Wilayah Kesultanan Asahan dan beberapa kerajaan Melayu di Sumatra Timur pada 1930
Wilayah Kesultanan Asahan dan beberapa kerajaan Melayu di Sumatra Timur pada 1930
Ibu kotaTanjung Balai
Bahasa yang umum digunakanMelayu
Agama
Islam
PemerintahanMonarki Kesultanan
Sultan 
• 1630
Raja Abdul Jalil I
• 1915–1980
Sultan Shaibun Abdul Jalil Rahmad Shah III
• 1980–2023
Sultan Kamal Abraham Abdul Jalil Rahmad Shah
• 2023-Sekarang[1]
Sultan Muhammad Iqbal Alvinananda Abdul Jalil Rahmadsyah 
Sejarah 
• Pendirian
1630
1946 Sekarang
Didahului oleh
Digantikan oleh
kslKesultanan
Aceh
Negara Sumatra Timur
Provinsi Sumatera Utara
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini
Sultan Muhammad Husain Rahmad Shah II (memerintah 1888-1915).

Raja Abdul Jalil, Sultan pertama Asahan merupakan putra Sultan Iskandar Muda. Asahan menjadi bawahan Kesultanan Aceh sampai awal abad ke-19.

Sejarah

sunting

Awal Mula

sunting

Perjalanan Sultan Aceh, Sultan Iskandar Muda, ke Johor dan Malaka tahun 1612 dapat dikatakan sebagai awal dari sejarah Asahan. Dalam perjalanan tersebut, rombongan Sultan Iskandar Muda beristirahat di kawasan sebuah hulu sungai yang kemudian dinamakan Asahan. Perjalanan dilanjutkan ke sebuah "Tanjung" yang merupakan pertemuan antara Sungai Asahan dengan Sungai Silau, kemudian bertemu dengan Raja Simargolang. Di tempat itu juga Sultan Iskandar Muda mendirikan sebuah pelataran sebagai "Balai" untuk tempat menghadap, yang kemudian berkembang menjadi perkampungan. Perkembangan daerah ini cukup pesat sebagai pusat pertemuan perdagangan dari Aceh dan Malaka, sekarang ini dikenal dengan "Tanjung Balai".[3]

Sultan Pertama

sunting

Dari hasil perkawinan Sultan Iskandar Muda dengan Siti Ungu Selendang Bulan, anak dari Raja Pinang Awan yang bergelar “Marhum Mangkat di Jambu” lahirlah seorang putera yang bernama Abdul Jalil yang menjadi cikal bakal dari kesultanan Asahan. Abdul Jalil dinobatkan menjadi Sultan Asahan I. Pemerintahan kesultanan Asahan dimulai tahun 1630 yaitu sejak dilantiknya Sultan Asahan yang I s/d XI.[3]

Asahan adalah kerajaan kecil yang menjadi bawahan Aceh, maka secara otomatis, struktur kekuasaan tertinggi berada di tangan Sultan Aceh. Di daerah Asahan sendiri, terlepas dari relasinya dengan Aceh, kekuasaan tertinggi berada di tangan Sultan, yang bergelar Yang Dipertuan Besar/Sri Paduka Raja. Jabatan yang lebih rendah adalah Yang Dipertuan Muda. Untuk daerah Kawasan Batubara dan kawasan yang lebih kecil, pemerintahan dijalankan oleh para datuk.[4]

Dikuasai oleh Belanda

sunting
 
Sultan Shaibun Abdul Jalil Rahmad Shah III (memerintah 1915-1980).

Pada tanggal 12 September 1865, kesultanan Asahan berhasil dikuasai Belanda. Sejak itu, kekuasaan pemerintahan dipegang oleh Belanda. Kekuasaan pemerintahan Belanda di Asahan/Tanjung Balai dipimpin oleh seorang Kontroler, yang diperkuat dengan Gouverments Besluit tanggal 30 September 1867, Nomor 2 tentang pembentukan Afdeling Asahan yang berkedudukan di Tanjung Balai dan pembagian wilayah pemerintahan dibagi menjadi tiga, yaitu:[3]

  1. Onder Afdeling Batubara
  2. Onder Afdeling Asahan
  3. Onder Afdeling Labuhan Batu

Sultan Asahan

sunting
 
Sultan Kamal Abraham Abdul Jalil Rahmad Shah bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara Jakarta saat acara silaturahmi dengan raja dan sultan se-Indonesia.

Sampai sekarang Kesultanan Asahan sudah memiliki 13 orang Sultan yang berkuasa, walaupun Sultan terakhir lebih merupakan Kepala Keluarga dari kerabat kerajaan yang masih ada. Sultan Asahan I, Sultan Abdul Jalil, adalah putera Sultan Iskandar Muda dari Kesultanan Aceh yang menikah dengan Siti Ungu Putri Berinai (Siti Unai), puteri Raja Halib (al-Marhum Mankat di-Jambu), dari Pinangawan.[5]

Silsilah

sunting
Ali Mughayat Syah
Raja Abdul
Jalil Shah I

(1)
m. 1630–?
Raja Said
Shah

(2)
m. 1600s–1700s
Raja
Muhammad
Mahrum Shah

(3)
m. 1700s–1760
Raja Abdul
Jalil Shah II

(4)
m. 1760–1765
Raja Dewa
Shah

(5)
m. 1765–1805
Raja Said
Musa Shah

(6)
m. 1805–1808
Raja
Muhammad
Ali Shah

(7)
m. 1808–1813
Sultan
Muhammad
Husain Rahmad
Shah I

(8)
m. 1813–1859
Sultan
Ahmad Shah

(9)
m. 1859–1888
Tengku
Muhammad
Adil
Sultan
Muhammad
Husain Rahmad
Shah II

(10)
m. 1888–1915
Sultan
Shaibun Abdul
Jalil Rahmad
Shah III

(10)
m. 1915–1980
Sultan
Kamal Abraham
Abdul Jalil
Rahmad Shah

(11)
m. 1980–present

Kehidupan Sosial Budaya

sunting
 
Salah satu bangunan di Tanjung Balai yang berfungsi sebagai pusat kegiatan Kesultanan Asahan saat ini, yang secara resmi bernama Bangunan Bersejarah Kota Tanjung Balai.[6]

Sebagai kesultanan yang berada dalam pengaruh kebudayaan Islam, maka di Asahan juga berkembang kehidupan keagamaan yang cukup baik. Bahkan, ada seorang ulama terkenal yang lahir dari Asahan, yaitu Syekh Abdul Hamid. Ia lahir tahun 1880 (1298 H), dan wafat pada 18 Februari 1951 (10 Rabiul Awal 1370 H). Datuk, nenek dan ayahnya berasal dari Talu, Minangkabau. Syekh Abdul Hamid belajar agama di Mekkah, karena itu, ia sangat disegani oleh para ulama zaman itu.[4]

Dalam perkembangannya, murid-murid Syekh Abdul Hamid inilah yang kelak mendirikan organisasi Jamiyyatul Washliyyah. Sebuah organisasi yang berbasis pada aliran sunni dan mazhab Syafi'i. Dalam banyak hal, organisasi ini memiliki persamaan dengan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) yang didirikan oleh para ulama Minangkabau. Adanya banyak persamaan ini, karena memang para ulama tersebut saling bersahabat baik sejak mereka menuntut ilmu di Mekkah. Pandangan para tokoh agama ini sangat berbeda dengan paham reformis yang dibawa oleh para ulama muda Minangkabau, seperti Dr. Haji Abdul Karim Amrullah. Oleh sebab itu, sering terjadi polemik di antara para pengikut kedua paham yang berbeda ini.[4]

Di paruh pertama abad ke-20, sekitar tahun 1916, di Asahan telah berdiri sebuah sekolah yang disebut Madrasah Ulumul Arabiyyah. Sebagai direktur pertama, ditunjuk Syekh Abdul Hamid. Dalam perjalanannya, madrasah Ulumul Arabiyah ini kemudian berkembang menjadi salah satu pusat pendidikan Islam yang penting di Asahan, bahkan termasuk di antara madrasah yang terkenal di Sumatera Utara, sebanding dengan Madrasah Islam Stabat, Langkat, Madrasah Islam Binjai dan Madrasah al-Hasaniyah Medan. Di antara ulama terkenal lulusan sekolah Asahan ini adalah Syeikh Muhammad Arsyad Thalib Lubis (1908-1972).[4]

Peninggalan tertulis warisan Kerajaan Asahan hanya berkaitan dengan buku-buku di bidang keagamaan yang dikarang oleh para ulama untuk kepentingan pengajaran. Berikut ini beberapa buah buku yang dikarang oleh Syeikh Abdul Hamid di Asahan, yaitu:

  1. Ad-Durusul Khulasiyah
  2. Al-Mathalibul Jamaliyah
  3. Al-Mamlakul `Arabiyah
  4. Nujumul Ihtida (نجوم الإهتداء)
  5. Tamyizut Taqlidi Minal Ittiba
  6. Al-Ittiba
  7. Al-Mufradat
  8. Mi`rajun Nabi

Referensi

sunting

Pranala luar

sunting

Lihat Pula

sunting