Sebagian atau keseluruhan dari artikel ini dicurigai telah melanggar hak cipta dari tulisan pihak di luar Wikipedia, dan selanjutnya akan dimasukkan dalam daftar Wikipedia:Artikel bermasalah hak cipta:
Disarankan untuk tidak melakukan perubahan apapun sampai masalah pelanggaran hak cipta di artikel ini diteliti pengguna lain dan diputuskan melalui konsensus
Jika Anda ingin menulis ulang artikel ini sebagai tulisan yang sama sekali baru, untuk sementara tuliskan di sini.
Berikan komentar mengenai hal tersebut di halaman diskusi artikel ini.
Perhatikan bahwa hanya mengubah sedikit atau beberapa bagian dari tulisan asli tidak cukup untuk menghilangkan pelanggaran hak cipta dari tulisan ini. Lebih baik membangun kembali artikel ini dari awal sedikit demi sedikit daripada membajak tulisan orang lain demi sebuah artikel besar.
Jika Anda sebenarnya memang adalah pemilik sumber tulisan asli yang dimaksudkan (dan termasuk pula pemilik bukti tulisan yang menjadi dasar kecurigaan pelanggaran hak cipta), dan ingin membebaskan hak cipta tulisan tersebut sesuai GNU Free Documentation License:
berikan keterangan di halaman diskusi artikel ini, kemudian bisa menampilkan pesan izin tersebut di halaman aslinya, atau berikan izin tertulis ke Wikipedia melalui email yang alamatnya tersangkut langsung dengan sumber tersebut ke alamat permissions@wikimedia.org atau surat tertulis ke Wikimedia Foundation. Berikan izin secara eksplisit bahwa tulisan tersebut telah dibebaskan ke dalam lisensi CC BY-SA 3.0 dan lisensi GFDL.
Jika tulisan bukti memang berada di wilayah lisensi yang bisa untuk dipublikasikan di Wikipedia,:
Ada dua legenda mengenai asal muasal kerajaan Fatagar, legenda pertama menyatakan penguasa Ugar merupakan asal muasal leluhur Raja Fatagar. Dalam publikasi memori Galis salah satu wilayah dalam pengaruh Kerajaan Majapahit adalah Onin yang dicatat sebagai Wanin. Ekspedisi pada tahun 1937 yang dilakukan oleh Leo Frobenius menemukan adanya bukti pemukiman di Pulau Ugar. Sehingga bisa dipastikan benar adanya penguasa di Ugar. Berdasarkan publikasi tersebut disebutkan pula kisah penduduk lokal di antara Teluk Patipi dan Rumbati tentang ekspedisi asal Jawa pada abad 15.[4]
Menurut legenda kedua dalam Memorie van Milligen Gunung Bah-Bah, dikisahkan bahwa tempat asal pendiri kampung di wilayah tersebut adalah Gunung Baik atau Bai, sebuah pegunungan curam. Terdapat dua kelompok yang turun dari Gunung Baik untuk menetap di pesisir Koiwai (Namatota dan Kaimana) dan juga Onin. Kisah tersebut merupakan mitos penciptaan, sebab Gunung tersebut juga merupakan asal munculnya berbagai kelompok yang menghuni di Bumi.[4]
Menurut A.L. Vink dalam memorie-(vervolg) van Overgrave van de (Onder) Afdeeling West Nieuw Guinea, 1932, leluhur raja Fatagar dan Patipi merupakan orang asli lokal. Leluhur tersebut disebutkan adalah Wariyang, yang dikisahkan menjelang senja melihat wanita di atas pohon kelapa yang kemudian dinikahinya. Dari perkawinan mereka diturunkanlah raja-raja Fatagar. Gelar raja pertama kali diberikan Sultan Tidore kepada seorang bernama Maraitat. Selanjutnya pusat kerajaan Fatagar berpindah dari Pulau Ega ke Pulau Merapi. Menurut W.J. Cator, dalam memorie-(vervolg) van Overgrave van de (Onder) Afdeeling West Nieuw Guinea, 22 Mei 1937, pada 1678 kapten Johannes Keyts melakukan persetujuan dengan raja Roema Bati (Rumbati) dan Satraga (Fatagar), ia menyebut kedua pemimpin tersebut dengan gelar raja, tidak diketahui sosok yang ia maksud namun bisa saja sosok itu adalah Maraitat dan setelahnya karena gelar Raja.[4]
Berdasarkan cerita rakyat oleh Cosmos Tanggahma, juru bicara Kerajaan Fatagar, Raja Mafa (Nggar) berpindah dari Pulau Nggar bersama marga Tanggahma yang sudah lebih dahulu keluar, dan menetap di ujung Pulau Panjang. Mafa memiliki keturunan, kakak beradik bernama Kpadaran Uswanas dan yang lebih muda Tbedare Uswanas merupakan petani akar tuba di Pulau Panjang. Suatu hari kedua kakak beradik tersebut bertengkar tentang akar tuba, ini menyebabkan Tbedare berpindah ke Kampung Mendopma bersama marga Weyamen. Di Kampung Mendopma ini, Tbedare membuka perkebunan Pala. Kpadaran yang kesepian di Pulau Panjang pergi ke Weri, lalu Pasir Putih, dan akhirnya ke Sorpeha, sebelum dilanjutkan ke Pulau Merapi.[4]
Cerita ini sama dengan Muhammad Tanggahma keturunan Kapitan Merapi, dimana Kpadaran adalah nama lain penguasa (dengan gelar raja) kedua Fatagar, raja Parar, anak Maraitat. Dalam kisah tambahan ini selain kedua kakak beradik tersebut ada adik perempuan bernama Wuhninihitora yang berparas cantik. Sehingga seorang Muri yang bisa berubah menjadi buaya dari Baham ingin menikahinya. Muri tersebut menculik sang adik perempuan dan membawanya ke Pulau Panjang di tempat yang berarti air tawar, Tanasaweri, dari tempat itu lalu menyebrang ke Weri. Kapadaran dan Tbedare lalu pergi mencari adiknya sampai keluar dari Pulau Ngar menuju Pulau Panjang, sampai ke Weri, dimana mereka dapat menjumpai adiknya. Perjalanan dilanjutkan sampai ke Sorpeha (Horhameng) baru kembali ke Kanasaweri/Tanasaweri. Setelah ini mereka bertengkar tentang akar tuba. Akar tersebut digunakan sebagai racun ikan untuk berburu saat air laut surut. Tebedari melihat bahwa akar tuba miliknya sudah tidak ada karena sudah dicabut Kapadaran. Mereka bertengkar lalu berpisah, Tebedari dibawa Weyamen ke Mendopma, sedangkan Kapadaran kembali ke Ngar. Dalam perjalanan kembali ini, Kapadaran mendamaikan konflik antara marga Kabes dan Hindom.[4]
Setelah raja Fatagar berpindah dari Pulau Ega ke Pulau Merapi, raja beserta istri dan lima orang keturunannya meninggal di sana. Penguasa terakhir saat itu adalah Raja Tewar, keturunannya yang tersisa adalah Mafa dan Ira yang dididik di Pasir Putih oleh seorang Alifuru (Maluku), setelah besar mereka tinggal dan menikah di Seram Laut. Ketika pengangkatan Haruna menjadi raja Atiati, dua putra Tewar tersebut pulang ke Pulau Merapi, setelah meninggalkannya selama 12 tahun. Atas permohonan adat, Mafa diangkat menjadi raja Fatagar, dan Ira menjadi rajamuda. Akan tetapi rajamuda Ira diberhentikan tahun 1920 karena memeras rakyat, sehingga digantikan putra sulung Mafa, Kamarudin.[4]
Saat Raja Tewar meninggal, warga bermarga Tanggahma, Dopis dan Abubakar menjemput Mafa dari Geser, yang kala itu sedang mempelajari agama Islam. Ada 9 pendayung yang menjemput Mafa, Dopis, Abubakar, Tragar, Tetar, Mbua, Kasumba, Senang, Tenregma, dan Mandesiani. Sebelum perjalanan dimulai, mereka bertanya seorang asal Buton. Dikisahkan mereka harus datang di pagi hari dan melihat seorang laki-laki yang sedang menggantungkan tasnya, itulah Mafa. Sebelum fajar mereka lalu memegang dan membawa Mafa ke perahu. Mafa sempat minta ijin untuk mengganti sarung dengan celana tapi tidak diperbolehkan karena jika semakin terang, banyak keluarga lain akan mengetahui dan ingin ikut serta, sehingga mereka tidak akan sampai Merapi Fakfak tepat waktu. Setelah Mafa diangkat jadi raja dan ayahnya dikuburkan, barulah Ira dijemput dari Geser ke Merapi.[4]
Berdasarkan versi lain oleh Musa Hakim (mantan ketua MUI Papua Barat) penjemputan Mafa terlibat seorang nahkoda bernama Abdul Hakim. Ketika pemerintahan Belanda memasuki Fakfak dengan pasukannya rakyat ketakutan. Saat itu masih sedikit yang fasih berbahasa melayu sehingga terjadi kesulitan berkomunikasi. Saat itu masyarakat dan para tetua menyutujui Mafa, seorang yang pintar dan lancar berbahasa melayu dan sedang menjalani pendidikan di Gorom, Seram Timur, untuk dijadikan perantara (Raja) dengan pemerintah Belanda. Keluarga raja Fatagar juga mengakui adanya keterlibatan nahkoda Abdul Hakim yang meminjamkan kapal dan membantu pengurusan surat resmi pengangkatan Mafa pengganti raja Tewar, ini dikarenakan masyarakat juga tidak mampu membaca ataupun menulis. Sehingga nahkoda Hakim memegang pena sedangkan pandayung Tenregma memegang tangannya sehingga dianggap resmi. Mafa merupakan penguasa Fatagar bergelar Raja kelima dari Maraitat, dan generasi ketujuh dari Warijang.[4]
Aktivitas berperang merupakan kesibukan utama sebelum masuknya Tidore dan Belanda. Setiap kampung biasanya akan memiliki 2-3 perahu perang, dan bahkan sampai 7 perahu perang. Setiap perahu perang biasanya memiliki 18 awak dan pandayung, diperlengkapi busur panah, tombak pendek dan panjang, kapak batu, pemukul, dan perisai setinggi manusia. Sebelum besi digunakan, material senjata menggunakan tulang burung Kasuari, yang kemudian diikat dengan anyaman serat di pergelangan tangan.
Setelah pemerintahan Tidore masuk, para pemimpin pesisir barat Papua (Onin) diberi gelar raja (Rat), raja adalah agen perdagangan dan pemungut upeti untuk Tidore, dan tunduk pada Kesultanan Tidore. Sehingga inilah fungsi ekonomi Raja bagi rakyat di wilayah kekuasaannya, yang lebih dominan dibandingkan fungsi di bidang politik. Bisa dibilang hubungan awal dengan Tidore adalah dengan perompakan, setelah damai barulah terjalin hubungan dagang. Awalnya orang-orang yang pengaruhnya menonjol akan diangkat sebagai kepala adat oleh dan atas nama Sultan Tidore. Hubungan dimulai melalui perantaraan raja Lilinta (Misool) seperti pada keputusan mengangkat Abdul Rachim sebagai raja Patipi tertanggal 15 Juni 1896, namun setelah itu hubungan langsung tanpa perantaraan juga terjalin. Sehingga pengaruh dan hubungan perdagangan dengan Tidore cukup kuat.[4][5]
Secara birokrasi, raja Fatagar mengangkat wakil sebagai perpanjangan tangannya, ada beberapa gelar perangkat tradisional yang meliputi, Raja, Raja Muda, Sangaji, Mayor, Kapitan, Jajau, Warnemin, Suruhan, Pandayung. Raja merupakan pimpinan tertinggi, yang bertugas untuk memerintah kepala kampung. Tongkat dan tali dari kulit kayu lapisan kedua pohon drek diikat pada lengan Suruhan untuk menyampaikan pesan ke kepala kampung, dimana setelah menyelsaikan tugasnya, Suruhan kembali melapor Raja. Selain itu Raja berwenang mengangkat Kapitan, Mayor, Sangaji, Jajau (Jojau), Warnemen, jabatan-jabatan yg setingkat tetapi dibawah Raja muda. Lalu dibawah Sangaji ada pula jabatan Warnemin. Raja diharapkan menyelesaikan konflik atau sengketa antar penduduk dan memberi keputusan adat sebagai hakim.[4]
Pengaruh Belanda mulai masuk terutama setelah pendirian Fort du Bus di Teluk Triton, dekat Lobo pada tanggal 24 Agustus 1828, walau akhirnya ditinggalkan di 1836 karena sakit malaria, kudis, dan typhus. Pemerintahan kolonial Belanda menegakkan kekuasannya di Papua pada tahun 1898 dengan pendirian Afdeeling Niew Guinea Utara, Barat, dan Selatan. Kewajiban pembayaran upeti kepada Sultan Tidore dihapuskan walaupun diatas kertas wilayah tersebut masuk wilayah swapraja Tidore. Raja-raja dikukuhkan oleh Belanda dan diberi gaji yang merupakan bagian dari kumpulan pemungutan pajak dari kepala kampung. Mereka menjadi mitra bagi pemerintah Belanda, meskipun dalam hampir semua aspek campur tangan Belanda.[4][5]
Kewajiban raja bertambah meliputi, pengesahan perkawinan penduduk beragama Islam, memberikan persetujuan untuk membuka kebun, penghubung Belanda dengan penduduk, bila raja tidak bisa memutuskan perkara maka akan diserahkan kepada Polisi Keamanan Belanda, dan menarik uang atau hasil perkebunan seperti pala sebagai Belasting atau pajak. Jumlahnya akan ditentukan dengan jumlah panen, dimana jumlah per orang adalah f.42, yang kemudian akan diserahkan ke pemerintah kolonial Belanda. Lalu terakhir terkait pembukaan larangan sasi sebagai tanda dimulainya masa panen pala oleh penduduk. Sasi dipasang atas persetujuan para pemilik kebun pala untuk mempertahankan harga jual dengan menjaga kuantitas dan kualitas buah pala yang hanya dipetik setelah matang. Pelanggar sasi bia diberi hukuman mati. Tanda pembatas sasi biasa terbuat dari bambu suling bersilangan. Beberapa hasil alam yang disasi berupa teripang di laut yang pusat penangkapannya di Pulau Pisang dan Pulau Karas dan perkebunan pala di darat yang merupakan penghasilan utama masyarakat.[4]
Setelah pemerintahan Indonesia, tugas raja mulai berkurang dan raja Fatagar lebih memiliki fungsi adat sebagai penengah konflik di masyarakat akibat keragaman kelompok suku dan agama.[4]
Perkembangan Kerajaan Fatagar juga sangat bergantung pada campur tangan Kesultanan Tidore, sehingga tidak banyak bukti sejarah yang dapat dikumpulkan mengenai kehidupan sosial budaya di kerajaan ini, termasuk penyebaran Islam. Salah satu peninggalan sejarah yang ditemukan di Fakfak adalah Masjid Tunasgain yang diperkirakan dibangun pada tahun 1587 Masehi oleh sufi asal Yaman bernama Syarif Muaz al-Qathan, berdasarkan 8 tiang Alif yang diganti setiap 50 tahun.[7]
^Viartasiwi, Nino (2013). "Holding on a Thin Rope: Muslim Papuan Communities as the Agent of Peace in Papua Conflict". Procedia Environmental Sciences. Elsevier BV. 17: 860–869. doi:10.1016/j.proenv.2013.02.104. ISSN1878-0296.