[go: up one dir, main page]

Gastronomi

ilmu yang mempelajari tentang makanan

Gastronomi, sariselera atau tata boga adalah seni, atau ilmu akan makanan yang baik.[1] Penjelasan yang lebih singkat menyebutkan gastronomi sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan kenikmatan dari makan dan minuman.[1] Sumber lain menyebutkan gastronomi sebagai studi mengenai hubungan antara budaya dan makanan, di mana gastronomi mempelajari berbagai komponen budaya dengan makanan sebagai pusatnya (seni kuliner).[1][2] Hubungan budaya dan gastronomi terbentuk karena gastronomi adalah produk budidaya pada kegiatan pertanian sehingga pengejawantahan warna, aroma, dan rasa dari suatu makanan dapat ditelusuri asal-usulnya dari lingkungan tempat bahan bakunya dihasilkan.[3]

Jamuan pesta kerajaan Manchu-Han di Tao Heung Museum of Food Culture, Hong Kong—contoh budaya makanan yang menjadi subjek gastronomi.

Kata "gastronomi" pertama kali muncul pada zaman modern tepatnya di Prancis pada puisi yang dikarang oleh Jacques Berchoux pada tahun 1804.[4] Kendati popularitas kata tersebut semakin meningkat sejak saat itu, gastronomi masih sulit untuk didefinisikan.[4] Kata gastronomi berasal dari Bahasa Yunani kuno gastros yang artinya "lambung" atau "perut" dan nomos yang artinya "hukum" atau "aturan".[4] Gastronomi meliputi studi dan apresiasi dari semua makanan dan minuman.[1] Selain itu, gastronomi juga mencakup pengetahuan mendetail mengenai makanan dan minuman nasional dari berbagai negara besar di seluruh dunia.[1] Peran gastronomi adalah sebagai landasan untuk memahami bagaimana makanan dan minuman digunakan dalam situasi-situasi tertentu.[1] Melalui gastronomi dimungkinkan untuk membangun sebuah gambaran dari persamaan atau perbedaan pendekatan atau perilaku terhadap makanan dan minuman yang digunakan di berbagai negara dan budaya.[1]

Bidang gastronomi

sunting
 
Para koki sebagai pelaku gastronomi praktis.

Gastronomi praktis

sunting

Bidang ini berhubungan dengan praktik dan studi dari preparasi, produksi dan penyajian dari makanan dan minuman dari berbagai negara-negara di seluruh dunia.[1] Gastronomi praktis meliputi teknik dan standar yang terlibat dalam konversi bahan mentah menjadi produk makanan yang spesifik dari segi nasional, regional, dan budaya.[1][5] Para pelaku gastronomi praktis contohnya terdiri dari juru masak dan semua orang yang berhubungan dengan pelanggan termasuk pelayan. Singkatnya, konversi makanan dan minuman menjadi hidangan yang utuh merupakan spesialisasi gastronomi praktis.[1]

Gastronomi teoretis

sunting

Gastronomi teoretis mendukung gastronomi praktis dengan cara mempelajari pendekatan proses, sistem, resep, buku masakan, dan tulisan lainnya .[1][6] Bidang ini mendokumentasikan berbagai macam prosedur yang harus dilakukan untuk meningkatkan kesuksesan dalam mengolah suatu hidangan.[1] Perencanaan teoretis yang harus dilalui seseorang saat memformulasikan dan menyiapkan acara, menu, hidangan dan minuman adalah bagian dari gastronomi teoretis.[1] Fungsi gastronomi teoretis adalah sebagai sumber kreativitas yang menginspirasikan terciptanya makanan klasik dan nasional dunia selama berabad-abad.[1] Koki serta profesional makanan dan minuman mengombinasikan kemampuan praktis mereka dengan masukkan teoretis untuk memaksimalkan pembelajaran dan efisiensi mengolah bahan pangan.[1]

Gastronomi teknis

sunting

Gastronomi teknis meninjau evaluasi sistematik dari hal apa pun di bidang gastronomi yang membutuhkan penilaian atau pengukuran.[1][6] Bidang ini juga menjadi penghubung antara industri makanan skala kecil menjadi industri massal.[1] Gastronomi teknis mencakup evaluasi dari makanan instan, instalasi baru serta evolusioner, metode produksi baru serta keahlian, dan peralatan yang dibutuhkan untuk memulai produksi.[1] Selain itu gastronomi teknis berperan untuk mengawasi performa setiap tahapan melalui periode percobaan.[1] Pelaku di bidang gastronomi teknis termasuk teknisi, ilmuwan makanan, spesialis operasional yang bekerja di area ini. Juru masak konsultan juga berperan di bidang ini.[1]

Gastronomi makanan

sunting

Gastronomi makanan berhubungan dengan makanan, minuman, dan pembuatan mereka.[1] Contohnya, gastronomi makanan mempelajari peranan dari anggur, dan minuman lain dalam hubungannya dengan makanan, yang adalah mengharmoniskan dan memaksimalkan kenikmatan yang didapatkan.[1] Mereka yang bekerja di bidang gastronomi makanan berhubungan erat dengan perkembangan produk makanan dan minuman yang berubah seiring bergantinya waktu dan musim karena waktu menjadi salah satu pertimbangan utama pada gastronomi makanan.[1]

Gastronomi molekuler

sunting

Gastronomi Molekuler (molecular gastronomy) adalah studi ilmiah mengenai gastronomi yang mempelajari transformasi fisiokimiawi dari bahan pangan selama proses memasak dan fenomena sensori saat mereka dikonsumsi.[7] Ilmu ini dicirikan dengan penggunaan metode ilmiah untuk memahami dan mengendalikan perubahan molekuler, fisiokimiawi, dan struktural yang terjadi pada makanan pada tahap pembuatan dan konsumsi.[8] Metode ilmiah yang digunakan meliputi pengamatan mendalam, pembuatan dan pengujian hipotesis, ekperimen terkontrol, objektivitas sains, dan reproduksibilitas eksperimen.[8] Gastronomi molekuler tidak sama dengan tipe atau gaya memasak.[9] Adapun seni memasak yang didasarkan atas ilmu gastronomi molekuler disebut dengan seni memasak molekuler (molecular cooking).[7][10]

Determinan gastronomi modern

sunting
 
Negara Prancis memilki variasi iklim karena bentangan daerah yang luas dari utara ke selatan.

Gastro-geografi

sunting

Gastro-geografi adalah geografi yang mengkhususkan diri pada makanan dan masakan, pelaku gastronomi, dan koki.[1] Informasi yang digunakan oleh ahli geografi didapat dari berbagai bidang seperti biologi, meteorologi, astronomi, geologi, dan antropologi.[1] Geografi mempelajari hubungan antara tempat dan asosiasi mahluk hidup,seperti manusia, dengan habitatnya. Dengan kata lain, gastro-geografi meliputi studi akan sifat-sifat bumi, vegetasi, iklim, air, dan lingkungan dan hubungannya dengan makanan dan minuman.[1]

Contohnya seperti Prancis, yang ditinjau dari segi gastro-geografi berada di daerah dengan variasi iklim.[1] Pada bagian selatan, daerah Mediterania menghasilkan buah-buahan dan sayuran penuh rasa dan sedap.[1] Angin laut yang dingin dan sinar matahari yang cukup mendukung pertumbuhan tanaman anggur.[1] Sementara itu pada bagian utara terdapat kerang-kerangan, tiram, remis, dan lobster.[1] Krim, mentega, dan bawang Prancis yang baik dihasilkan di Échiré pada suhu yang lebih dingin.[1] Makanan penting para penduduk yang dapat disimpan sepanjang musim dingin dapat ditemui pada bagian tengah, timur dan tenggara negara tersebut.[1] Berdasarkan pebedaan daerah tersebut, masing-masing daerah memiliki makanan khas yang berbeda-beda dan unik.[1]

Gastro-historik

sunting

Gastro-historik berurusan dengan sejarah keramahtamahan dan gastronomi.[1] Ilmuwan-ilmuwan terutama ilmuwan sosial, dan ahli sejarah yang berasal dari bidang yang berbeda-beda terlibat dalam studi gastro-historik yang meliputi pengaruh manusia pada lingkungannya dan pengaruh lingkungan terhadap manusia terutama dalam hubungannya dengan makanan.[1] Gastro-historik menelusuri setiap jejak yang ditinggalkan oleh manusia dari aktivitasnya pada masa lampau mulai dari tulisan, teknologi, artefak, seni, fotografi, film, video, catatan, dan masakan khas.[1] Dari sumber-sumber tersebut dapat ditelusuri apa yang membentuk pola serta pilihan makanan dan minuman pada saat ini.[1]

Gastronomi Mesir purba adalah salah satu hal yang dipelajari oleh gastronomi historik.[11] Masyarakat Mesir pada waktu itu memiliki hierarki status sosial yang menentukan jenis makanan yang mereka konsumsi, sebagai contoh, beberapa pendeta tidak boleh memakan ikan ataupun daging, kemudian budak atau buruh umumnya mengonsumsi gandum (roti gandum), bawang bombai, bawang putih, bir dan apapun yang dapat dibeli dengan penghasilan mereka.[11] Adapun beberapa yang memiliki cukup uang dapat mengikuti jamuan makan bersama-sama yang kemungkinan menghidangkan daging.[11]

Gastronomi dan pariwisata

sunting
 
Perkebunan anggur di Switzerland-daerah pedesaan menjadi target wisata gastronomi.
 
Makanan khas Indonesia-Makanan daerah setempat menjadi penarik wisatawan.
 
Makanan khas Korea-makanan menjadi bagian dari identitas masyarakat tertentu.

Seiring meningkatnya kompetisi di antara tempat tujuan wisata, kebudayaan lokal menjadi hal yang berharga sebagai produk dan aktivitas untuk menarik turis.[3] Gastronomi mempunyai peran penting dalam hal ini bukan saja karena makanan menjadi pusat pengalaman wisatawan, namun juga gastronomi menjadi pembentuk identitas yang signifikan pada masyarakat era pascamodern.[4] Yang menjadi pendorong dari wisata gastronomi adalah motivasi dari para wisatawan itu sendiri dan juga mobilitas yang semakin meningkat sehingga memudahkan akses terhadap berbagai jenis makanan lokal.[4] Selain itu, pencarian makanan lokal erat kaitannya dengan ketertarikan turis untuk mengunjungi apa yang mereka percaya sebagai komunitas lokal asli.[4] Makanan lokal juga berkorelasi dengan keindahan panorama alam dan impresi visual lainnya sehingga ada hubungan kuat antara pariwisata dan produksi makanan lokal.[12]

Beberapa daerah tujuan wisata menggunakan gastronomi sebagai alat penarik wisatawan dan banyak yang menggunakan pariwisata untuk mempromosikan gastronomi.[3] Namun ada pertanda bahwa pola promosi seperti itu kurang efektif daripada yang diharapkan. Penyebabnya adalah pemisahan bidang pariwisata dengan gastronomi.[4] Para pengusaha pariwisata sering kali tidak memahami produk gastronomi lokal, di sisi lain banyak ahli gastronomi yang tidak memahami pariwisata.[4] Masalah lain yang dihadapi adalah asosiasi antara makanan terntu dengan daerah tertentu tertantang mobilitas makanan, gaya kuliner dan meningkatnya dediferensiasi masakan.[4]

Gastronomi sebagai elemen dari identitas budaya lokal

sunting

Pada struktur ekonomi premodern, sebelum diciptakannya sistem transportasi jarak jauh dan perdagangan makanan lintas nasional dan iklim, pertanian dan industri makanan lebih banyak melayani pangsa pasar lokal.[12] Perbedaan sumber daya alam dan keahlian lokal menghasilkan produksi makanan lokal yang unik.[12] Elemen lokal lain seperti arsitektur, kerajinan tangan, cerita rakyat, bahasa regional, seni visual, referensi literatur dan cara hidup berkembang dengan cara berbeda-beda dan berkontribusi pada karakter suatu daerah.[12]

Dari sudut pandang wisatawan, makanan dengan identitas lokal setara dengan perjalanan mengelilingi museum dan monumen.[13] Pariwisata membuat mereka dapat merasakan identitas lokal tersebut, di sisi lain para wisatawan tersebut memberikan kesempatan bagi industri pariwisata untuk menawarkan produk baru.[13]

Gastronomi dan masakan nasional

sunting

Masakan nasional telah dipopulerkan oleh media massa sebagai bagian penting dari identitas bangsa di mana "blender raksasa" bernama globalisasi telah mengkontaminasi, melemahkan, dan mengancam eksistensinya.[5] Semakin mudahnya akses terhadap makanan dari berbagai negara, tersedia sepanjang tahun, telah menciptakan kebingungan antara hubungan tempat dan waktu tertentu dari suatu makanan.[5] Definisi dari masakan nasional sendiri adalah masakan asli yang dikonsumsi dalam jangka waktu yang cukup oleh suatu populasi sehingga populasi tersebut dapat dikatakan ahli dalam masakan tersebut.[5] Peran gastronomi adalah melestarikan budaya atau tradisi makanan tersebut, salah satunya dengan cara mempelajari sejarah masakan tersebut dan hubungannya dengan suatu egaa tertentu.[5]

Salah satu contoh makanan nasional yang telah mendunia karena proses globalisasi adalah masakan Jepang.[14] Proses "kontaminasi" oleh globalisasi dimulai pada akhir abad ke-19 sewaktu sejumlah dokter militer Jepang membuat kampanye opini publik yang menyatakan bahwa para wajib militer bangsa Jepang lebih pendek daipada mereka yang berasal dari Eropa karena makanan mereka yang berbasiskan beras.[14] Akibatnya selama periode 1920, angkatan darat dan angkatan laut jepang mengadopsi makanan Barat yang terdiri dari daging dan roti gandum.[14] Pada saat yang sama, para ahli nutrisi, kaum intelektual, dan pengusaha restoran mempromosikan adaptasi makanan Barat menjadi lebih sesuai dengan selera masakan Jepang.[14] Hasilnya adalah masakan seperti kroket, donat, dan kare.[14] Pada periode 1950, kombinasi dari makanan Jepang dan makanan Barat ini yang membentuk "Masakan Jepang" yang diterima luas saat ini.[14]

Wisata gastronomi daerah pedesaan

sunting

Sebagian permintaan pariwisata saat ini memfokuskan diri pada daerah pedesaan.[15] Suatu bentuk wisata pedesaan telah berkembang menghasilkan 27% perjalanan wisata di seluruh dunia (1994) dan 20% dari wisata nasional di Prancis.[15] Salah satu hal utama yang mendorong adalah gastronomi sebagai warisan budaya lokal. Dengan kata lain, gastronomi dapat menjadi bumbu utama dari aktivitas wisata.[15]

Di daerah pedesaan, pariwisata dan gastronomi memiliki potensi kolaborasi dengan agrikultur menghasilkan simbiosis mutualisme.[15] Pariwisata dan gastronomi dapat mendukung jasa agrikultur seperti melihat pemandangan, tur pertanian, dan mencicipi makanan lokal.[15] Sementara itu agrikultur dapat mendukung industri pariwisata dalam hal menyediakan produk agrikultur untuk dijual ke wisatawan dan kultivasi pemandangan sebagai objek wisata.[15]

Sebagai penghubung antara pariwisata dengan ekonomi agraris pedesaan, peran gastronomi dapat diintegrasikan dengan aspek-aspek perkembangan pedesaan melalui aktivitas seperti:

  • mendorong spesialisasi makanan lokal termasuk produksi dan promosi makanan organik,[16]
  • meningkatkan kualitas makanan dan menciptakan kesadaran akan kebutuhan untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas, baik pada tahap produksi dan konsumsi akhir dalam rantai wisata gastronomi,[16]
  • memperkuat kesan lokal dan identitas regional melalui perkembangan dan promosi dari merek makanan spesifik di tempat tersebut. Tidak lupa dapat dibawa aspek budaya dan warisan lokal,[16]

Gastronomi Indonesia

sunting

Gastronomi Indonesia terbentuk dari perpaduan dengan budaya serta makanan dari India, Timur Tengah, Tiongkok, dan bangsa Eropa seperti Portugis dan Belanda.[17] Makanan pokok di Indonesia adalah nasi kecuali di Maluku dan Irian Jaya di mana sagu, kentang, dan singkong lebih umum.[17][18] Seperti negara-negara di daerah Asia Tenggara, makanan lauk pauk di Indonesia disajikan lebih sedikit dibandingkan dengan makanan pokoknya.[17] Ciri khas yang lain adalah adanya sambal yang memberi cita rasa pedas bagi kebanyakan makanan Indonesia.[17][18]

Pada awalnya, budaya dan masakan India yang sangat berpengaruh di Indonesia contohnya ada pada penggunaan bumbu-bumbu seperti jinten, ketumbar, jahe, dan kare yang sering disajikan dengan santan.[17] Setelah itu, pengaruh pedangang dari Arab pun ikut memperkaya masakan Indonesia seperti masakan sate yang terinspirasi dari masakan arab yaitu Kebab, begitu juga halnya dengan masakan yang menggunakan daging kambing.[17] Tidak hanya pedagang Arab, para pedagang dari Tiongkok juga membawa bahan pangan dari negara mereka seperti mi, kacang kedelai, dan berbagai macam sayuran. [19][17]

Kolonisasi oleh bangsa Belanda memperkenalkan cita rasa baru dan bahan pangan seperti lada yang berasal dari Meksiko, kacang dari Amerika untuk bumbu sate dan gado-gado.[17] Singkong dari Karibia dan kentang dari Amerika Selatan.[17] Tak hanya itu, bermcam-macam sayuran seperti kubis, kembang kol, kacang panjang, wortel, dan jagung diimpor masuk ke Indonesia sehingga menciptakan berbagai macam masakan baru. [20]

Ditinjau dari segi gastronomi praktis, beberapa masakan khas Indonesia dikaitkan dengan perayaan tertentu seperti perayaan agama.[18][21] Contohnya pada saat hari raya Lebaran yang dirayakan oleh umat Muslim, masakan menggunakan ketupat adalah masakan yang umum disajikan.[21] Sementara, di saat "Selamatan", yaitu tradisi berdoa sebelum kegiatan tertentu seperti pernikahan atau membangun rumah, tumpeng atau nasi kuning yang dibentuk seperti kerucut disajikan.[21] Pada Hari Raya Nyepi yang dirayakan umat Hindu biasanya disajikan kue kering dan manisan.[21] Pada perayaan Hari Kemerdekaan, ada budaya untuk mengadakan lomba memakan kerupuk udang untuk anak-anak dan lomba membuat tumpeng bagi para wanita.[22]

 
Nasi Tumpeng
 
Gado-gado
 
Tempe

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah ai aj ak Gillespie C, Cousins JA. 2001. European Gastronomy into the 21st Century. Oxford:Butterworth-Heinenmann.
  2. ^ Fossali PB. 2008. Seven conditions for the gastronomic sciences. Gastronomic Sci 4(8):54-86
  3. ^ a b c Barrera E, Alvaradi OB. 2008. Food trails:tourist architectures built on food identity. Gastronomic Sci 3(8): 56-63.
  4. ^ a b c d e f g h i Hjalager AM, Greg R. 2002. Tourism and Gastronomy. Routledge
  5. ^ a b c d e Cinotto S. 2006. National cuisines and globalization. Gastronomic sci 0(6):60-73 Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "Cinotto" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  6. ^ a b Appendino G. 2007. The recipe: Science, tradition and folklore. Gastronomy sci 1(7):84-91
  7. ^ a b Skinner M, Grateau G, Kyle RA. 2004. Amyloid and Amyloidosis. Boca Raton: CRC Press.
  8. ^ a b This H. 2006. Food for tomorrow? How the scientific discipline of molecular gastronomy could change the way we eat. EMBO reports 7(11):1062-66.
  9. ^ Van der Linden E, McClements DJ, Ubbink J. 2008. Molecular Gastronomy: A Food Fad or an Interface for Science-based Cooking?.Food Biophysics 3:246–254
  10. ^ This H. 2006. Food for tomorrow? How the scientific discipline of molecular gastronomy could change the way we eat. EMBO reports 7(11):1062-66.
  11. ^ a b c Bober PP. 1999. Art, Culture, and Cuisine: Ancient and Medieval Gastronomy. Chicago: University of Chicago Press.
  12. ^ a b c d Jan Vidar Haukeland and Jens Kr. Steen Jacobsen.Gastronomy in the periphery Food and cuisine as tourism attractions on the top of Europe Paper presented at the 10th Nordic Tourism Research Conference, Vasa, Finland 18–20 October 2001
  13. ^ a b Van Westering J, Poria, Y, Liapis, N. Promoting the links between food and heritage as a resource for tourism: the integration of food and heritage through story telling. World Tourism Organization, Local Food & Tourism International Conference, Larnaka (Cyprus),November 9-11, 2000.
  14. ^ a b c d e f Cook I, Crang P. 1996. The World on a Plate: Culinary Culture, Displacement, and Geographical Knowledges. Journal of Material Culture. 1(2): 131-153.
  15. ^ a b c d e f Bessière, Jacinthe 2001. The role of rural gastronomy in tourism. In Lesley Roberts and Derek Hall (eds.): Rural Tourism and Recreation: Principles to Practice. Wallingford:CAB International
  16. ^ a b c Roberts L, Hall D. 2001. Rural Tourism and Recreation: Principles to Practice. Wallingford: CAB International
  17. ^ a b c d e f g h i Freeman N. 2010. Ethnic cuisine: Indonesia. http://www.sallybernstein.com/food/cuisines/indonesia/ Diarsipkan 2022-08-12 di Wayback Machine.
  18. ^ a b c Van Esterik P. 2008.Food Culture in Southeast Asia. London: Greenwood Press.
  19. ^ [1]
  20. ^ [2] Diarsipkan 2022-08-12 di Wayback Machine.
  21. ^ a b c d Advameg. 2010. Indonesia. http://www.foodbycountry.com/Germany-to-Japan/Indonesia.html Diarsipkan 2020-11-14 di Wayback Machine.
  22. ^ [3] Diarsipkan 2020-11-14 di Wayback Machine.

Pranala luar

sunting