[go: up one dir, main page]

Arca Joko Dolog

candi di Indonesia

Arca Joko Dolog merupakan salah satu cagar budaya yang ada di Jalan Taman Apsari, Surabaya. Arca ini melambangkan perwujudan Raja Singhasari terakhir, Kertanagara. Adapun bentuk dan gestur yang menjadi karakteristik arca tersebut merujuk kepada ciri-ciri Buddha Aksobhya.

Arca Joko dolog
Nama sebagaimana tercantum dalam
Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya
Arca Joko Dolog perwujudan Kertanagara sebagai Budhha Mahaksobhya
Cagar budaya Indonesia
Peringkatn/a
KategoriBenda
No. RegnasCB.1435
Lokasi
keberadaan
Surabaya, Jawa Timur
No. SK188.45/251/402.1.04/1996
Tanggal SK26 September 1996
Tingkat SKWalikota
Koordinat7°15′54″S 112°44′34″E / 7.2649156°S 112.7427767°E / -7.2649156; 112.7427767
Arca Joko Dolog di Kota Surabaya
Arca Joko Dolog
Lokasi Arca Joko Dolog di Kota Surabaya

Arca Joko Dolog dipahat oleh seseorang yang bernama Nada, dan pembuatannya dilakukan sekitar tiga tahun sebelum Raja Kertanegara meninggal karena dibunuh oleh tentara Jayakatwang adipati Gelang-gelang kini Madiun yang memberontak pada Singasari.

Sejarah penemuan

sunting

Pada mulanya, Arca Joko Dolog ditemukan di Desa Kandang Gajah, Trowulan, Mojokerto kemudian arca tersebut dipindahkan ke Surabaya oleh Residen de Salls di masa Hindia Belanda.[1] Namun, terdapat pendapat lain yang menyatakan bahwa Arca Joko Dolog bukan berasal dari Desa Kandang Gajah, Trowulan, melainkan berasal dari Candi Jawi di Pasuruan. Pendapat tersebut menyatakan bahwa Arca Joko Dolog merupakan Arca Aksobhya yang menghilang dari Candi Jawi karena candi tersebut pernah tersambar petir.[2] Arca Joko Dolog merupakan peninggalan dari kerajaan Singhasari, dan merupakan perwujudan dari raja terakhir Kerajaan Singosari, yakni raja Kertanagara yang memiliki gelar lengkap paduka Sri Maharajadhiraja Kertanagara Wikrama Dharmmottunggadewa.[3]

Deskripsi

sunting

Arca Joko Dolog memiliki panjang 166 cm, lebar 138 cm, serta tebal 105 cm.[4] Arca Joko Dolog digambarkan dengan kepala gundul serta dibuat dengan posisi duduk dan bersikap Bhumisparsa mudra, yang melambangkan memanggil bumi sebagai saksi, dimana tangan kiri berada di atas pangkuan, sedangkan tangan kanan menelungkup di atas lutut.[5] Pada alas sandar Arca Joko Dolog terdapat prasasti dengan bahasa Sanskerta yang dinamakan sebagai prasasti Wurare berisi 19 bait yang mengandung lima makna sejarah yang berkembang pada masa itu, yakni mengenai perebutan kekuasaan terhadap pembagian tanah Jawa menjadi Janggala dan Panjalu, yang mana akhirnya keduanya dapat disatukan kembali oleh Raja Wisnuwardhana.[6] Prasasti Wurare pada Arca Joko Dolog juga bertuliskan angka 1211 (1289 M), yang mana tahun tersebut merupakan tahun dibuatnya Arca Joko Dolog. Selain itu, prasasti tersebut juga berisi tentang pembagian kerajaan Kahuripan oleh Airlangga serta penobatan Raja Kertanegara sebagai Buddha Mahaksobhya.[4]

Referensi

sunting
  1. ^ Mahfudhoh, Lailatul (2016-11-30). Antologi sejarah Candi Boyolangu. GUEPEDIA. ISBN 978-602-6481-91-7. 
  2. ^ Sedyawati, Edi; Santiko, Hariani; Djafar, Hasan; Maulana, Ratnaesih; Ramelan, Wiwin Djuwita Sudjana; Ashari, Chaidir (2013-12-01). Candi Indonesia: Seri Jawa: Indonesian-English. Direktorat Jenderal Kebudayaan. ISBN 978-602-17669-3-4. 
  3. ^ Daerah, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan (1978). Sejarah Daerah Jawa Timur. Direktorat Jenderal Kebudayaan. 
  4. ^ a b Rahmawati, Wella Princa (2017). "Arti Simbolis Arca Buddha Maha-Aksobhya (Prasasti 1289) sebagai Media Pencegahan Perpecahan Kerajaan Sighasari". Jurnal Pendidikan Sejarah. 5 (3): 606–622. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-12-20. Diakses tanggal 2020-01-04. 
  5. ^ Mahfudhoh, Lailatul (2016-11-30). Antologi sejarah Candi Boyolangu. GUEPEDIA. ISBN 978-602-6481-91-7. 
  6. ^ Okezone (2012-05-21). "Berteduh di "Kaki" Joko Dolog : Okezone News". Okezone. Diakses tanggal 2020-01-04.