Aether (bahasa Yunani: αἰθήρaithēr[1]), juga ditulis æther atau ether, adalah suatu bahan atau materi yang memenuhi ruang alam semesta di luar bulatan bumi menurut sains kuno. Konsep adanya aether digunakan dalam sejumlah teori fisika untuk menjelaskan beberapa gejala alamiah, seperti cahaya dan gravitasi. Pada akhir abad ke-19 para ahli fisika membuat postulasi bahwa aether berpermeasi dalam seluruh ruang, menyediakan medium di mana cahaya dapat melaju dalam ruang hampa, tetapi bukti adanya zat itu menurut postulasi tersebut gagal ditunjukkan dalam berbagai percobaan, termasuk Percobaan Michelson-Morley.[2]
Plato, dalam tulisannya Timaeus (55d) yang membahas mengenai udara, mengemukakan bahwa "ada zat yang berjenis paling tembus pandang, yang disebut dengan nama "aether" (αίθηρ)". Aristoteles, seorang murid Plato pada Akademia, tidak setuju dengan pendapat gurunya, melainkan menambahkan aether ke dalam sistem elemen klasik menurut filsafat Yunani dari aliran sekolah Ionia sebagai "elemen kelima". Aristoteles menulis bahwa empat elemen klasik bumi semua dapat diubah dan bergerak alamiah dalam jalur lurus. Namun, aether yang bertempat dalam ruang semesta dan benda-benda langit bergerak melingkar. Dalam sistem elemen klasik Aristoteles, aether tidak memiliki sifat-sifat keempat elemen klasik lainnya. Aether tidak dingin maupun panas, tidak basah maupun kering. Aether tidak pula mengikuti fisika Aristoteles, juga tidak mampu bergerak secara kualitas maupun kuantitas. Aether hanya dapat bergerak lokal, secara alamiah bergerak melingkar, dan tidak memiliki gerakan berlawanan maupun tidak alamiah.[3]Aristoteles juga mencatat bahwa bulatan kristalin yang terbuat dari aether berisi benda-benda langit. Ide bulatan kristalin dan gerakan melingkar alamiah aether mendorong penjelasan Aristoteles mengenai orbit bintang-bintang dan planet-yang dianggapnya bergerak dalam lingkaran sempurna di dalam aether kristalin.