[go: up one dir, main page]

Abubakar Ayyub adalah seorang ulama Minangkabau yang mempelopori masuknya ajaran Ahmadiyah Qadian ke Nusantara (sebelum adanya Indonesia) pada awal abad ke-20, bersama dengan dua orang sejawatnya, yaitu Ahmad Nuruddin dan Zaini Dahlan. Awalnya, Abubakar dan dua sejawatnya itu merupakan pelajar dari Sumatra Thawalib Padangpanjang, suatu sekolah Islam modern pertama di Indonesia yang didirikan oleh tokoh-tokoh ulama Minangkabau, seperti Abdul Karim Amrullah, Zainuddin Labai el-Yunusiyah dan beberapa tokoh ulama lainnya.

Abubakar Ayyub
KebangsaanIndonesia Indonesia
AlmamaterSumatra Thawalib, Padangpanjang
PekerjaanUlama
Dikenal atasPelopor Ahmadiyah Indonesia

Belajar agama

sunting

Pada mulanya, Abubakar Ayyub dan sejawatnya hendak melanjutkan pendidikan agamanya ke Kairo, Mesir, namun oleh gurunya ia disarankan menuntut ilmu agama ke India, karena pada masa itu India juga tengah berkembang menjadi pusat pemikiran modernisasi Islam. Sesampainya di Lahore, India, mereka-pun terkesan dengan ajaran Ahmadiyah yang dikembangkan oleh Anjuman Isyaati Islam (Ahmadiyah Lahore) karena banyak mengubah pemahaman serta aspek keimanan mereka akan Islam.

Setelah mereka tahu bahwa sumber dari ajaran Ahmadiyah sesungguhnya adalah dari Qadian yang didirikan oleh Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, mereka-pun pergi ke Qadian, walaupun dilarang oleh Anjuman Isyaati Islam (Ahmadiyah Lahore). Setelah melalui pembelajaran beberapa lama, akhirnya di Qadian inilah Abubakar Ayyub, Ahmad Nuruddin, Zaini Dahlan beserta 23 orang pelajar dari Sumatra Thawalib yang datang belakangan di baiat masuk ke dalam Jemaat Ahmadiyah (Ahmadiyah Qadian).

Penyebaran Ahmadiyah ke Nusantara

sunting

Dua tahun setelah mereka di baiat, dibawah pimpinan Abubakar Ayyub, mereka meminta kepada pimpinan Ahmadiyah Qadian saat itu, Hadhrat Khalifatul Masih II agar pergi ke timur atau Nusantara, setelah pemimpin Ahmadiyah Qadian itu melakukan lawatan ke barat atau Eropah untuk menghadiri Seminar Agama-agama di Wembley, Inggris.

Pada tahun 1925, permintaan para pelajar itu-pun dikabulkan, Hadhrat Khalifatul Masih II mengutus Maulana Rahmat Ali untuk berdakwah di Nusantara. Sejak saat itu fondasi perkembangan Ahmadiyah Qadian di Indonesia telah diletakkan. Maulana Rahmat Ali mendarat pertama kali di Tapaktuan, Aceh Selatan dan berhasil membaiat beberapa orang masuk Ahmadiyah di tempat itu. Tidak lama di sana, ia-pun segera menuju Padang. Di kota ini, ajaran Ahmadiyah mendapatkan sambutan yang baik, dimana banyak tokoh-tokoh, kaum intelektual dan para ulama serta orang biasa menerima dan masuk ke dalam Ahmadiyah. Di kota ini pula-lah pada tahun 1926 organisasi atau jemaat Ahmadiyah resmi berdiri.

Masuknya Ahmadiyah Qadian ke Minangkabau bukan tanpa resistensi sama sekali, bahkan juga diikuti penolakan keras dari para ulama, baik dari kaum tradisionalis maupun kaum reformis, diantaranya dari Haji Abdul Karim Amrullah (ayah Buya Hamka) yang menyatakan bahwa ajaran Ahmadiyah yang disebarkan Maulana Rahmat Ali dan para pelajar dari Qadian (mantan murid Sumatra Thawalib) itu sebagai "berada di luar Islam", bahkan lebih keras lagi, dianggap sebagai "kafir". Kecaman itu dituangkannya dalam tulisan yang berjudul Al Qaul ash-Shahih.

Dengan basis awal Padang (Minangkabau), Ahmadiyah Qadian akhirnya mulai berkembang ke wilayah lain di Nusantara, terutama setelah mubaligh Ahmadiyah Qadian, Maulana Rahmat Ali pergi ke Jakarta pada tahun 1931 dan tak lama kemudian Pengurus Besar Ahmadiyah didirikan di Jakarta dengan R. Muhyiddin sebagai ketua pertamanya.

Abubakar Ayyub, Ahmad Nuruddin dan Zaini Dahlan, tiga orang mantan pelajar Sumatra Thawalib Padangpanjang sebagai orang-orang Nusantara (Indonesia) pertama yang dibaiat masuk Ahmadiyah telah ikut mewarnai perkembangan sejarah Islam terutama Ahmadiyah di Indonesia.

Referensi

sunting

Pranala luar

sunting