[go: up one dir, main page]

Lompat ke isi

Sifilis

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Raja Singa)
Sifilis
Citra mikrograf elektron Treponema pallidum, bakteri penyebab sifilis
Informasi umum
SpesialisasiPenyakit menular, Dermatologi Sunting ini di Wikidata

Sifilis, raja singa, atau abilah peringgi adalah infeksi menular seksual yang disebabkan oleh bakteri spiroset Treponema pallidum sub-spesies pallidum. Rute utama penularannya melalui kontak seksual; infeksi ini juga dapat ditularkan dari ibu ke janin selama kehamilan atau saat kelahiran, yang menyebabkan terjadinya sifilis kongenital. Penyakit lain yang diderita manusia yang disebabkan oleh Treponema pallidum termasuk frambusia atau patek (subspesies pertenue), pinta (sub-spesies carateum), dan bejel (sub-spesies endemicum).

Tanda dan gejala sifilis bervariasi bergantung pada fase mana penyakit tersebut muncul (primer, sekunder, laten, dan tersier). Fase primer secara umum ditandai dengan munculnya chancre tunggal (ulserasi keras, tidak menimbulkan rasa sakit, tidak gatal di kulit), sifilis sekunder ditandai dengan ruam yang menyebar yang sering kali muncul di telapak tangan dan tumit kaki, sifilis laten biasanya tidak memiliki atau hanya menunjukkan sedikit gejala, dan sifilis tersier dengan gejala gumma, neurologis, atau jantung. Namun, penyakit ini telah dikenal sebagai "peniru ulung" karena kemunculannya ditandai dengan gejala yang tidak sama. Diagnosis biasanya dilakukan melalui tes darah; namun, bakteri juga dapat dilihat melalui mikroskop. Sifilis dapat diobati secara efektif dengan antibiotik, khususnya dengan suntikan penisilin G (yang disuntikkan untuk neurosifilis), ataupun seftriakson, dan bagi pasien yang memiliki alergi berat terhadap penisilin, doksisiklin atau azitromisin dapat diberikan secara oral.

Sifilis diyakini telah menginfeksi 12 juta orang di seluruh dunia pada tahun 1999, dengan lebih dari 90% kasus terjadi di negara berkembang. Setelah jumlah kasus menurun secara dramatis sejak ketersediaan penicilin di seluruh dunia pada 1940an, angka infeksi kembali meningkat sejak pergantian milenium di banyak negara, terkadang muncul bersamaan dengan human immunodeficiency virus (HIV). Angka ini disebabkan sebagian oleh praktik seks yang tidak aman dan penurunan penggunaan proteksi saat berhubungan seks.[1][2][3]

Tanda dan gejala

[sunting | sunting sumber]

Sifilis dapat muncul pada satu di antara empat fase yang berbeda; primer, sekunder, laten, dan tersier, dan bisa juga terjadi secara congenital. Fase ini disebut sebagai "peniru yang hebat" oleh Sir William Osler dikarenakan kemunculannya yang bervariasi.

Penis yang terinfeksi sifilis primer.

Sifilis primer umumnya diperoleh dari kontak seksual secara langsung dengan orang yang terinfeksi ke orang lain.

Sekitar 3 sampai 90 hari setelah awal terinfeksi (rata-rata 21 hari) luka di kulit yang dinamakan chancre mulai tampak. Lesi ini biasanya (40% dari waktu) tunggal, kokoh, tidak terasa sakit, pemborokan kulit tanpa rasa gatal dengan dasar yang bersih serta berbatasan tajam antara ukuran 0,3 dan 3,0 cm. Walau bagaimanapun luka bisa dikeluarkan hampir dalam bentuk apa pun.

Pada bentuk yang umum, luka berkembang dari macule ke papule dan akhirnya ke erosion atau ulcer.

Kadang-kadang, lesi ganda mungkin muncul (~40%). Lesi ganda lebih umum ketika koinfeksi dengan HIV. Lesi mungkin nyeri atau perih (30%), dan bisa terjadi di luar kelamin (2–7%). Letak paling umum pada wanita adalah di cervix (44%), penis laki-laki heteroseksual (99%), dan anal serta rektal umumnya secara relatif (laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki) (34%). Pelebaran nodus limfa;(80%) sering kali terjadi di sekitar daerah infeksi, terjadi selama 10 hari setelah pembentukan tukak. Lesi dapat bertahan selama tiga hingga enam minggu tanpa pengobatan.

Sifilis sekunder pada umumnya ditandai dengan munculnya ruam pada telapak tangan.
Papules kemerah-merahan dan banyaknya nodul di badan menandai terjadinya sifilis sekunder.

Sifilis sekunder seringnya terjadi empat sampai sepuluh minggu setelah infeksi primer. Sementara penyakit sekunder dapat dikenal dalam berbagai cara secara nyata, gejala-gejala paling umum berkaitan dengan kulit, selaput lendir, dan nodus limfa. Di sana mungkin terdapat kesamaan, kemerah-merahan-pink, ruam yang tidak gatal pada batang dan ekstrem, termasuk pada telapak tangan dan soles. Ruam bisa menjadi makulopapular atau pustular. Itu bisa berbentuk datar, lebar, keputih-putihan, lesi mirip kutil dikenal sebagai kondiloma latum pada selaput lendir.

Semua dari endapan bakteri lesi terinfeksi. Gejala lain termasuk demam, sakit tenggorokan, malaise, berat badan turun, rambut rontok, dan sakit kepala. Jenis penyakit lainnya yang jarang terjadi termasuk hepatitis, ginjal penyakit, radang sendi, periostitis, optik neuritis, uveitis, dan interstitial keratitis.

Gejala akut biasanya diatasi setelah tiga hingga enam minggu; namun sekitar 25% orang bisa kambuh gejala sekunder. Banyak orang yang mengalami sifilis sekunder (40-85% dari wanita, 20-65% dari laki-laki) tidak melaporkan mengalami chancre dari sifilis primer sebelumnya.

Sifilis laten didefinisikan seperti mengalami bukti serologis dari infeksi tanpa gejala-gejala dari penyakit. Penyakit ini dijelaskan lebih lanjut sebagai lebih awal (kurang dari 1 tahun setelah sifilis sekunder) atau akhir (lebih dari 1 tahun setelah sifilis sekunder) di Amerika serikat. Amerika serikat memanfaakkan memotong dari dua tahun dini dan akhir sifilis laten. Awal sifilis laten bisa mempunyai gejala- gejala kambuh. Akhir sifilis laten adalah asimptomatik, dan tidak menular seperti awal sifilis laten.

Pasien dengan sifilis tersier. Kasus di Musée de l'Homme, Paris.

Sifilis tersier bisa terjadi kira-kira 3 hingga 15 tahun setelah infeksi awal, dan bisa dibagi kedalam tiga bentuk berbeda; sifilis gummatous (15%), akhir neurosifilis (6.5%),dan kardiovaskular sifilis (10%). Tanpa pengobatan, ketiga dari orang yang terinfeksi berkembang ke penyakit tersier. Orang dengan sifilis tersier adalah bukan penular.

Sifilis gummatous atau sifilis akhir benign biasanya terjadi 1 hingga 46 tahun setelah infeksi awal, dengan rata-rata 15 tahun. Fase ini ditandai oleh pembentukan gumma kronik, yang lembut,mirip peradangan bola tumor yang bisa bermacam-macam dan sangat signifikan bentuknya gumma umumnya mempengaruhi kulit, tulang, dan liver, tetapi bisa terjadi dimanapun.

Neurosifilis merujuk pada infeksi yang melibatkan sistem saraf pusat yang bisa terjadi dini, menjadi tak bergajala atau dalam bentuk dari meningitis sifilistik yang berhubungan dengan keseimbangan yang lemah dan nyeri kilat pada ekstrimitas lebih rendah. Akhir neurosifilis umumnya terjadi 4 hingga 25 tahun setelah infeksi awal. Siflis meningovaskular umumnya muncul dengan apati dan sawan, serta telah umum dengan demensia dan dorsalis. Juga di sana mungkin terdapat pupil Argyll Robertson, tempat pupil kecil bilateral menyempit ketika orang fokus pada objek dekat, tetapi tidak menyempit ketika terkena cahaya terang.

Sifilis kardiovaskular biasanya terjadi 10-30 tahun setelah infeksi awal. Komplikasi yang paling umum adalah syphilitic aortitis, yang dapat mengakibatkan pembentukan aneurisme.

Kongenital

[sunting | sunting sumber]

Sifilis kogenital bawaan sejak lahir dapat terjadi selama kehamilan atau selama kelahiran. Dua dari tiga bayi sifilis lahir tanpa gejala. Gejala umum yang kemudian berkembang dari kehidupan beberapa tahun pertama meliputi: hepatosplenomegali (70%), ruam (70%), demam (40%), neurosyphilis (20%), dan pneumonitis (20%). Jika terobati sifilis kongenital tahap akhir dapat terjadi di 40% meliputi: hidung; pelana kelainan bentuk, tanda Higoumenakis, saber shin, atau persendian Clutton di antara lainnya.

Bakteriologi

[sunting | sunting sumber]
Hispatologi dari Treponema pallidum spiroset menggunakan sebuah modifikasi Steinert tembaga stain

Treponema pallidum subspesies pallidum adalah bakteri berbentuk spiral, gram-negatif, yang bergerak lincah.[4][5] Tiga penyakit terkait lain manusia disebabkan oleh Treponema pallidum, di antaranya frambusia atau patek (subspesies pertenue), pinta (subspesies carateum) dan bejel (subspesiesendemicum).[6] Tidak seperti subtipe pallidum, penyakit-penyakit tersebut tidak menyebabkan penyakit neurologis.[7] Manusia dikenal sebagai satu-satunya penampung alami untuk subspesies pallidum.[8] Subspesies “pallidum” tidak mampu bertahan tanpa inang selama lebih dari beberapa hari. Itu dikarenakan genomnya yang kecil (1.14 MDa) mengalami kegagalan untuk menyandikan jalur-jalur metabolisme yang diperlukan untuk membuat sebagian besar makronutriennya.Pembuatan mikronutriennya dua kali lebih lambat waktunya jauh lebih lama berjam-jam dari 30 .[4]

Penularan

[sunting | sunting sumber]

Sifilis terutama ditularkan melalui kontak seksual atau selama kehamilan dari ibu ke janinnya; spiroseta mampu menembus membran mokusa utuh atau ganguan kulit.[6][8] Oleh karena itu dapat ditularkan melalui mencium area di dekat lesi, serta seks oral, vagina, dan anal.[6] Sekitar 30 sampai 60% dari mereka yang terkena sifilis primer atau sekunder akan terkena penyakit tersebut.[9] Contoh penularannya, seseorang yang disuntik dengan hanya 57 organisme mempunyai peluang 50% terinfeksi.[4] Sebagian besar (60%) dari kasus baru di United States terjadi pada laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki. Penyakit tersebut dapat ditularkan lewat produk darah. Namun, produk darah telah diuji di banyak negara dan risiko penularan tersebut menjadi rendah. Risiko dari penularan karena berbagi jarum suntik tidaklah banyak.[6] Sifilis tidak dapat ditularkan melalui dudukan toilet, aktivitas sehari-hari, bak panas, atau berbagi alat makan serta pakaian.[10]

Diagnosis

[sunting | sunting sumber]
Poster untuk menguji sifilis, menunjukkan seorang laki-laki dan wanita menundukkan kepalanya karena malu. (circa 1936)

Penampilan awal sifilis sulit didiagnosisis secara klinis.[4] Penegakkan diagnosisnya melalui tes darah atau pemeriksaan visual secara langsung menggunakan mikroskop. Pemeriksaan darah adalah cara yang umum digunakan, karena lebih mudah dilakukan.[6] Tes diagnostik, bagaimanapun juga, tidak mampu membedakan antara tahap-tahap penyakit.[11]

Tes darah

[sunting | sunting sumber]

Tes darah dibagi menjadi nontreponemal dan tes treponemal.[4] Tes Nontreponemal digunakan mulanya, dan mencakup riset laboratorium penyakit kelamin (VDRL) dan tes rapid plasma reagin. Bagaimanapun, tes-tes tersebut hanya sesekali false positives, konfirmasi diperlukan melalui tes treponemal, seperti partikel aglutinasi treponemal palidum (TPHA) atau fluorescent treponemal antibody absorption test (FTA-Abs).[6] False positives pada tes nontreponemal dapat terjadi bersamaan dengan beberapa infeksi sepertivarisela dan campak, serta dengan limfoma, tuberkulosis, malaria, endokarditis, penyakit jaringan ikat, dan kehamilan.[12] Tes antibodi treponemal biasanya menjadi positif dua sampai lima minggu setelah infeksi awal.[4] Neurosifilis didiagnosis dengan menemukan tingginya angka leukosit (terutama limfosit) dan tingkat protein yang tinggi pada cairan tulang belakang kondisi dari infeksi sifilis yang dikenal.[6][12]

Pengujian langsung

[sunting | sunting sumber]

Mikroskop medan gelap cairan serosa dari tukak dapat digunakan untuk membuat diagnosis langsung. Namun, rumah sakit tidak selalu mempunyai perlengkapan atau anggota staf yang berpengalaman, sementara pengujian harus dilakukan dalam waktu 10 menit dalam perolehan sampel. Sensitivitastelah dilaporkan hampir 80%, sensitivitas dan spesifitas hanya dapat digunakan untuk konfirmasi diagnosis tetapi bukan satu-satunya aturan. Dua tes lain dapat dilakukan pada sampel dari cangker: pengujian antibodi neon langsung dan tesamplifikasi asam nukleat. Tes neon langsung menggunakan tagantibodi dengan fluorescein, yang disispkan untuk protein sifilis spesifik, sedangkan amplifikasi asam nukleus menggunakan teknik, seperti reaksi berantai polimerase, untuk mendeteksi adanya gen sifilis spesifik. Tes-tes tersebut tidak seperti waktu-sensitif, sebagaimana tes-tes tersebut tidak memerlukan bakteri hidup untuk membuat diagnosis.[4]

Pencegahan

[sunting | sunting sumber]

Tidak ada vaksin yang efektif untuk pencegahan.[8] Berpantang dari kontak fisik intim dengan orang yang terinfeksi secara efektif mengurangi penularan sifilis, seperti penggunaan yang tepat dari kondom lateks. Namun, penggunaan kondom, tidak sepenuhnya menghilangkan risiko.[10][13] Oleh karena itu, Centers for Disease Control and Prevention merekomendasikan hubungan jangka panjang dengan satu pasangan yang tidak terinfeksi dan menghindari zat seperti alkohol dan zat terlarang lainnya yang dapat meningkatkan risiko perilaku seksual.[10]

Sifilis bawaan pada bayi dapat dicegah dengan penapisan ibu selama awal kehamilan dan mengobati mereka yang terinfeksi.[14] United States Preventive Services Task Force (USPSTF) sangat merekomendasikan penapisan universal pada semua wanita hamil,[15] sedangkan Organisasi Kesehatan Dunia menyarankan agar semua wanita dites pada kunjungan pertama antenatal dan sekali lagi pada trimester ketiga.[16] Jika mereka positif, mereka menganjurkan agar pasangan mereka juga dirawat.[16] Meskipun demikian, sifilis bawaan masih banyak terjadi di negara berkembang, karena banyak wanita yang sama sekali belum menerima perawatan antenatal, dan bahkan perawatan lain sebelum melahirkan yang diterima tidak termasuk penapisan,[14] dan ini terkadang masih terjadi di negara maju, karena mereka yang kemungkinan besar tertular sifilis (melalui penggunaan obat-obatan terlarang, dll.) adalah yang paling sedikit menerima perawatan selama kehamilan.[14] Beberapa langkah untuk meningkatkan akses ke tes tampaknya efektif untuk mengurangi tingkat sifilis bawaan di negara berpendapatan rendah sampai menengah.[16]

Sifilis adalah penyakit yang harus dilaporkan di beberapa negara, termasuk di Kanada[17] Uni Eropa,[18] dan Amerika Serikat.[19] Ini berarti penyedia layanan kesehatan diwajibkan untuk memberitahukan kepada otoritas Kesehatan Masyarakat, yang idealnya nanti akan memberikan pemberitahuan pasangan kepada pasangan pasien.[20] Dokter juga dapat mendorong pasien untuk mengirim pasangan pasien untuk mencari perawatan kesehatan.[21] CDC merekomendasikan laki-laki yang aktif secara seksual yang melakukan hubungan seks dengan laki-laki dites sekurang-kurangnya sekali dalam setahun.[22]

Perawatan

[sunting | sunting sumber]

Infeksi dini

[sunting | sunting sumber]

Pilihan perawatan pertama bagi sifilis rumit tetap satu dosis intramuskular penisilin G atau satu dosis oral azitromisin.[23] Doksisiklin dan tetrasiklin adalah pilihan lainnya; namun, karena terdapat risiko kelainan pada janin dosisiklin dan tetrasiklin tidak direkomendasikan untuk wanita hamil. Resistensi terhadap antibiotik telah berkembang pada sejumlah agen, termasuk makrolid, klindamisin, dan rifampin.[8] Ceftriakson, generasi ketiga sefalosporin antibiotik, mungkin saja seefektif perawatan berbasis penisilin.[6]

Azitromisin termasuk dalam jenis antibiotik Macrolides, dimana obat generiknya tersedia di Indonesia. Jika satu dosis/cure belum sembuh, maka ada baiknya dilakukan tes resistensi antibiotik (kultur) untuk mengetahui jenis antibiotik apa yang masih mempan, tetapi untuk melakukan kultur perlu mencari laboratorium klinik yang melakukan tes dengan cukup lengkap, caranya dengan bertanya apakah laboratorium klinik tersebut mengetes azitromisin atau tidak, jika mengetes, maka laboratorium klinik tersebut biasanya juga akan mengetes antibiotik lainnya yang diperkirakan mempan untuk bakteri gram positip seperti sifilis, misalnya erytromisin yang juga termasuk antibiotik jenis macrolides dan mengetes pula moxyfloxasin dan levofloxasin yang termasuk jenis antibiotik Quinolones atau sejenis dengan ciprofloxasin, tetapi cipro sering kali sudah resisten (tidak mempan).

Infeksi akhir

[sunting | sunting sumber]

Bagi neurosifilis, akibat penetrasi yang lemah dari penisilin G ke dalam sistem saraf pusat, mereka yang terkena dampak direkomendasikan untuk diberikan penisilin intravena dosis tinggi minimal untuk 10 hari.[6][8] Jika orang mengalami alergi, ceftriakson bisa digunakan atau desensitisasi penisilin dapat dicoba. Kemunculan akhir lain dapat diobati dengan penisilin G intramuskular sekali seminggu selama tiga minggu. Jika alergi, seperti pada kasus awal penyakit, doksisiklin atau tetrasiklin dapat digunakan, sekalipun untuk jangka waktu lebih lama. Perawatan pada fase ini membatasi perkembangan lebih lanjut, tetapi hanya mempunyai efek relatif kecil pada kerusakan yang sudah terjadi.[6]

Reaksi Jarisch-Herxheimer

[sunting | sunting sumber]

Satu efek samping yang dapat terjadi akibat pengobatan ini adalah reaksi Jarisch-Herxheimer. Reaksi Jarisch- Herxheimer sering kali dimulai setelah satu jam dan bertahan selama 24 jam, dengan gejala demam, nyeri otot, sakit kepala, dan takikardia.[6] Takikardia disebabkan oleh sitokin yang dikeluarkan oleh sistem kekebalan tubuh sebagai respons terhadap lipoprotein yang dikeluarkan dari bakteri sifilis yang pecah.[24]

Epidemiologi

[sunting | sunting sumber]
Kematian berdasarkan Berdasarkan usia karena sifilis per 100.000 penduduk pada 2004[25]
  no data
  <35
  35-70
  70-105
  105-140
  140-175
  175-210
  210-245
  245-280
  280-315
  315-350
  350-500
  >500

Sifilis diyakini telah menginfeksi 12 juta orang pada 1999, dengan lebih dari 90% kasus terjadi di negara berkembang.[8] Penyakit ini memengaruhi 700.000 hingga 1,6 juta kehamilan setiap tahunnya, mengakibatkan aborsi mendadak, kematian janin dalam kandungan, dan sifilis kongenital. Pada Afrika sub-Sahara, sifilis berkontribusi pada kira-kira 20% dari kematian perinatal.[7] Angkanya rata-rata lebih tinggi pada pengguna narkoba suntik, mereka yang terinfeksi HIV, dan laki-laki yang berhubungan seksual dengan laki-laki.[1][2][3] Di Amerika Serikat, angka sifilis sejak 2007 enam kali lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan, dan hampir sama pada 1997.[26] Hampir setengah dari kasus pada 2010 terdiri dari Warga Amerika keturunan Afrika.[27]

Sifilis banyak terjadi di Eropa selama abad ke-18 hingga abad ke-19. Di negara maju selama abad ke-20, infeksinya menurun secara cepat dengan semakin menyebarnya penggunaan antibiotik, hingga 1980an dan 1990an.[5] Sejak tahun 2000, angka sifilis meningkat di AS, Kanada, Inggris, Australia dan Eropa, terutama di antara laki-laki yang berhubungan seksual dengan laki-laki.[8] Namun, angka sifilis di antara perempuan Amerika, tetap stabil selama periode ini, dan angka di antara perempuan Inggris meningkat, tetapi masih di bawah angka kasus pada laki-laki.[28] Angka yang meningkat di antara heteroseksual terjadi di Tiongkok dan Rusia sejak 1990an.[8] Ini dikaitkan dengan praktik seks yang tidak aman, seperti bergonta-ganti pasangan seks, prostitusi, dan menurunnya penggunaan proteksi.[8][28][29]

Jika tidak diobati, angka mortalitas mencapai 8% hingga 58%, dengan angka kematian lebih tinggi ada laki-laki.[6] Keparahan gejala sifilis berkurang selama abag ke-19 dan 20, sebagian karena semakin banyaknya ketersediaan pengobatan efektif dan karena penurunan virulens dari spirochaete.[30] Dengan pengobatan dini, komplikasi lebih sedikit.[4] Sifilis meningkatkan risiko penularan HIV dua hingga lima kali, dan infeksi lainnya juga banyak terjadi (30–60% jumlahnya di pusat kota).[6][8]

Lukisan Gerard de Lairesse karya Rembrandt van Rijn,circa 1665–67, lukisan di atas kanvas - De Lairesse, adalah pelukis dan ahli teori seni, menderita sifilis kongenital yang berakibat fatal pada kerusakan wajah dan akhirnya mengakibatkan kebutaan padanya.[31]

Asal-muasal sifilis tidak diketahui.[6] Dari dua hipotesis utama, satu di antaranya mengusulkan bahwa sifilis terbawa ke Eropa oleh awak kapal yang kembali dari pelayaran Christopher Columbus ke Amerika, hipotesis lainnya menyebutkan bahwa sifilis sudah ada sebelumnya di Eropa, tetapi tidak dikenali. Ini disebut sebagai hipotesis "Columbus" dan "pra-Columbus" secara berurutan.[11] Hipotesis Columbus sangat didukung oleh bukti yang ada.[32][33] Catatan tertulis dari kejadian luar biasa sifilis di Eropa terjadi pada 1494/1495 di Naples, Italia, selama invasi Prancis.[5][11] Karena disebarkan oleh pasukan Prancis yang kembali, pada awalnya penyakit ini disebut sebagai "French disease", demikian nama tradisionalnya. Pada 1530, nama "sifilis" pertama kali digunakan oleh dokter dan penyair Italia Girolamo Fracastoro sebagai judul puisinya dalam bahasa Latin dalam heksameter dactylic yang menggambarkan kerusakan akibat penyakit sifilis di Italia.[34] Dalam sejarah peristiwa tersebut disebut juga sebagai "Great Pox" (“Cacar Hebat”).[35][36]

Organisme penyebabnya, Treponema pallidum, pertama kali diidentifikasi oleh Fritz Schaudinn dan Erich Hoffmann pada 1905.[5] Pengobatan pertama yang efektif (Salvarsan) dikembangkan pada 1910 oleh Paul Ehrlich, yang diikuti oleh percobaan penisilin dan konfirmasi keefektifannya pada 1943.[5][35] Sebelum penemuan pengobatan efektif lainnya, merkuri dan isolasi banyak digunakan, dengan pengobatan yang lebih buruk dari penyakitnya.[35] Banyak tokoh sejarah, termasuk Franz Schubert, Arthur Schopenhauer, Édouard Manet[5] dan Adolf Hitler,[37] diyakini menderita penyakit sifilis.

Masyarakat dan kebudayaan

[sunting | sunting sumber]

Seni dan sastra

[sunting | sunting sumber]
Moll meninggal karena sifilis, A Harlot's Progress Hogarth

Karya seni Eropa yang paling awal menggambarkan sifilis Syphilitic Man karya Albrecht Dürer, potongan kayu yang diyakini mewakili Landsknecht, tentara Eropa Utara.[38] Mitos femme fatale atau "perempuan beracun" dari abad ke-19 diyakini berasal dari penderitaan akibat sifilis, dengan contoh klasik dalam kesusastraan termasuk John Keats' La Belle Dame sans Merci.[39][40]

Seniman Jan van der Straet melukis pemandangan seorang laki-laki kaya raya yang menerima pengobatan sifilis dengan kayu tropis guaiacum pada kira-kira tahun 1580.[41] Judul karya seni tersebut adalah "Preparation and Use of Guayaco for Treating Syphilis". Mengapa seniman tersebut memilih untuk memasukkan gambar ini dalam rangkaian karyanya yang merayakan Dunia Baru menunjukkan kepada kaum elit Eropa tentang betapa pentingnya pengobatan sifilis, meskipun tidak efektif pada saat itu. Karya yang penuh warna dan detail menggambarkan empat pelayan yang sedang mempersiapkan racikan ketika seorang dokter melihat, menyembunyikan sesuatu di belakang punggungnya ketika pasien yang minum.[42]

Penelitian Tuskegee dan Guatemala

[sunting | sunting sumber]

Satu dari kasus yang paling terkenal di Amerika Serikat tentang etika medis yang dipertanyakan pada abad ke-20 adalah penelitian sifilis Tuskegee.[43] Penelitian tersebut dilakukan di Tuskegee, Alabama, dan didukung oleh U.S. Public Health Service (PHS) bekerja sama dengan Tuskegee Institute.[44] Penelitian tersebut dimulai pada 1932, saat sifilis menjadi masalah yang tersebar dan tidak ada pengobatan yang aman dan efektif.[45] Penelitian tersebut dirancang untuk mengukur perkembangan sifilis yang tidak diobati. Pada 1947, penisilin divalidasi sebagai obat yang efektif untuk sifilis dan digunakan secara luas untuk mengobati penyakit tersebut. Namun, direktor penelitian, melanjutkan penelitian tersebut dan tidak menawarkan pengobatan dengan penisilin kepada para peserta penelitian.[44] Ini diperdebatkan, dan beberapa orang mengetahui bahwa penisilin diberikan kepada banyak subjek.[45] Penelitian tersebut tidak berakhir hingga 1972.[44]

Eksperimen sifilis juga dilakukan di Guatemala sejak 1946 hingga 1948. Ekperimen tersebut disponsori oleh eksperimen manusia Amerika Serikat, dilakukan selama pemerintahan Juan José Arévalo bekerja sama dengan kementerian dan pegawai kesehatan Guatemala. Dokter menginfeksi tentara, tahanan, dan pasien RSJ dengan sifilis dan penyakit yang ditularkan secara seksual lainnya, tanpa surat izin dari subjek, kemudian mengobati mereka dengan antibiotik. Pada Oktober 2010, A.S secara resmi meminta maaf kepada Guatemala karena telah melakukan eksperimen ini.[46]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b Coffin, LS (January 2010). "Syphilis in Drug Users in Low and Middle Income Countries". The International journal on drug policy. 21 (1): 20–7. doi:10.1016/j.drugpo.2009.02.008. PMC 2790553alt=Dapat diakses gratis. PMID 19361976. 
  2. ^ a b Gao, L (September 2009). "Meta-analysis: prevalence of HIV infection and syphilis among MSM in China". Sexually transmitted infections. 85 (5): 354–8. doi:10.1136/sti.2008.034702. PMID 19351623. 
  3. ^ a b Karp, G (January 2009). "Syphilis and HIV co-infection". European journal of internal medicine. 20 (1): 9–13. doi:10.1016/j.ejim.2008.04.002. PMID 19237085. 
  4. ^ a b c d e f g h Eccleston, K (March 2008). "Primary syphilis". International journal of STD & AIDS. 19 (3): 145–51. doi:10.1258/ijsa.2007.007258. PMID 18397550. 
  5. ^ a b c d e f Franzen, C (December 2008). "Syphilis in composers and musicians--Mozart, Beethoven, Paganini, Schubert, Schumann, Smetana". European Journal of Clinical Microbiology and Infectious Diseases. 27 (12): 1151–7. doi:10.1007/s10096-008-0571-x. PMID 18592279. 
  6. ^ a b c d e f g h i j k l m n Kent ME, Romanelli F (2008). "Reexamining syphilis: an update on epidemiology, clinical manifestations, and management". Ann Pharmacother. 42 (2): 226–36. doi:10.1345/aph.1K086. PMID 18212261. 
  7. ^ a b Woods CR (2009). "Congenital syphilis-persisting pestilence". Pediatr. Infect. Dis. J. 28 (6): 536–7. doi:10.1097/INF.0b013e3181ac8a69. PMID 19483520. 
  8. ^ a b c d e f g h i j Stamm LV (2010). "Global Challenge of Antibiotic-Resistant Treponema pallidum" (PDF). Antimicrob. Agents Chemother. 54 (2): 583–9. doi:10.1128/AAC.01095-09. PMC 2812177alt=Dapat diakses gratis. PMID 19805553. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2017-06-16. Diakses tanggal 2013-08-12. 
  9. ^ Bhatti MT (2007). "Optic neuropathy from viruses and spirochetes". Int Ophthalmol Clin. 47 (4): 37–66, ix. doi:10.1097/IIO.0b013e318157202d. PMID 18049280. 
  10. ^ a b c "Syphilis - CDC Fact Sheet". Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 16 September 2010. Diakses tanggal 30 May 2007. 
  11. ^ a b c Farhi, D (September 2010-Oct). "Origins of syphilis and management in the immunocompetent patient: facts and controversies". Clinics in dermatology. 28 (5): 533–8. doi:10.1016/j.clindermatol.2010.03.011. PMID 20797514. 
  12. ^ a b Committee on Infectious Diseases (2006). Larry K. Pickering, ed. Red book 2006 Report of the Committee on Infectious Diseases (edisi ke-27th). Elk Grove Village, IL: American Academy of Pediatrics. hlm. 631–44. ISBN 978-1-58110-207-9. 
  13. ^ Koss CA, Dunne EF, Warner L (2009). "A systematic review of epidemiologic studies assessing condom use and risk of syphilis". Sex Transm Dis. 36 (7): 401–5. doi:10.1097/OLQ.0b013e3181a396eb. PMID 19455075. 
  14. ^ a b c Schmid, G (June 2004). "Economic and programmatic aspects of congenital syphilis prevention". Bulletin of the World Health Organization. 82 (6): 402–9. PMC 2622861alt=Dapat diakses gratis. PMID 15356931. 
  15. ^ U.S. Preventive Services Task, Force (May 2009 19). "Screening for syphilis infection in pregnancy: U.S. Preventive Services Task Force reaffirmation recommendation statement". Annals of internal medicine. 150 (10): 705–9. PMID 19451577. 
  16. ^ a b c Hawkes, S (June 2011 15). "Effectiveness of interventions to improve screening for syphilis in pregnancy: a systematic review and meta-analysis". The Lancet infectious diseases. 11 (9): 684–91. doi:10.1016/S1473-3099(11)70104-9. PMID 21683653. 
  17. ^ "National Notifiable Diseases". Public Health Agency of Canada. 5 April 2005. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-08-09. Diakses tanggal 2 August 2011. 
  18. ^ Viñals-Iglesias, H (September 2009 1). "The reappearance of a forgotten disease in the oral cavity: syphilis". Medicina oral, patologia oral y cirugia bucal. 14 (9): e416–20. PMID 19415060. 
  19. ^ "Table 6.5. Infectious Diseases Designated as Notifiable at the National Level-United States, 2009 [a]". Red Book. Diakses tanggal 2 August 2011. 
  20. ^ Brunner & Suddarth's textbook of medical-surgical nursing (edisi ke-12th). Philadelphia: Wolters Kluwer Health/Lippincott Williams & Wilkins. 2010. hlm. 2144. ISBN 978-0-7817-8589-1. 
  21. ^ Hogben, M (April 2007 1). "Partner notification for sexually transmitted diseases". Clinical infectious diseases: an official publication of the Infectious Diseases Society of America. 44 Suppl 3: S160–74. doi:10.1086/511429. PMID 17342669. 
  22. ^ "Trends in Sexually Transmitted Diseases in the United States: 2009 National Data for Gonorrhea, Chlamydia and Syphilis". Centers for Disease Control and Prevention. 22 November 2010. Diakses tanggal 3 August 2011. 
  23. ^ David N. Gilbert; Robert C. Moellering; George M. Eliopoulos. The Sanford guide to antimicrobial therapy 2011 (edisi ke-41st). Sperryville, VA: Antimicrobial Therapy. hlm. 22. ISBN 978-1-930808-65-2. 
  24. ^ Radolf, JD; Lukehart SA (editors) (2006). Pathogenic Treponema: Molecular and Cellular Biology. Caister Academic Press. ISBN 1-904455-10-7. 
  25. ^ "Disease and injury country estimates". World Health Organization (WHO). 2004. Diakses tanggal 11 November 2009. 
  26. ^ "Trends in Reportable Sexually Transmitted Diseases in the United States, 2007". Centers for Disease Control and Prevention(CDC). 13 January 2009. Diakses tanggal 2 August 2011. 
  27. ^ "STD Trends in the United States: 2010 National Data for Gonorrhea, Chlamydia, and Syphilis". Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 22 November 2010. Diakses tanggal 20 November 2011. 
  28. ^ a b Kent, ME (February 2008). "Reexamining syphilis: an update on epidemiology, clinical manifestations, and management". The Annals of pharmacotherapy. 42 (2): 226–36. doi:10.1345/aph.1K086. PMID 18212261. 
  29. ^ Ficarra, G (September 2009). "Syphilis: The Renaissance of an Old Disease with Oral Implications". Head and neck pathology. 3 (3): 195–206. doi:10.1007/s12105-009-0127-0. PMC 2811633alt=Dapat diakses gratis. PMID 20596972. 
  30. ^ Mullooly, C (August 2010). "Secondary syphilis: the classical triad of skin rash, mucosal ulceration and lymphadenopathy". International journal of STD & AIDS. 21 (8): 537–45. doi:10.1258/ijsa.2010.010243. PMID 20975084. 
  31. ^ The Metropolitan Museum of Art Bulletin, Summer 2007, pp. 55–56.
  32. ^ Rothschild, BM (15 May 2005). "History of syphilis". Clinical infectious diseases: an official publication of the Infectious Diseases Society of America. 40 (10): 1454–63. doi:10.1086/429626. PMID 15844068. 
  33. ^ Harper, KN (2011). "The origin and antiquity of syphilis revisited: an appraisal of Old World pre-Columbian evidence for treponemal infection". American journal of physical anthropology. 146 Suppl 53: 99–133. PMID 22101689. 
  34. ^ Nancy G. "Siraisi, Drugs and Diseases: New World Biology and Old World Learning," in Anthony Grafton, Nancy G. Siraisi, with April Shelton, eds. (1992). New World, Ancient Texts (Cambridge MA: Belknap Press/Harvard University Press), pages 159-194
  35. ^ a b c Dayan, L (October 2005). "Syphilis treatment: old and new". Expert opinion on pharmacotherapy. 6 (13): 2271–80. doi:10.1517/14656566.6.13.2271. PMID 16218887. 
  36. ^ Knell, RJ (7 May 2004). "Syphilis in renaissance Europe: rapid evolution of an introduced sexually transmitted disease?" (PDF). Proceedings. Biological sciences / the Royal Society. 271 Suppl 4 (Suppl 4): S174–6. doi:10.1098/rsbl.2003.0131. PMC 1810019alt=Dapat diakses gratis. PMID 15252975. 
  37. ^ "Hitler syphilis theory revived". BBC News. 12 March 2003. 
  38. ^ Eisler, CT (2009 Winter). "Who is Dürer's "Syphilitic Man"?". Perspectives in biology and medicine. 52 (1): 48–60. doi:10.1353/pbm.0.0065. PMID 19168944. 
  39. ^ Hughes, Robert (2007). Things I didn't know : a memoir (edisi ke-1st Vintage Book). New York: Vintage. hlm. 346. ISBN 978-0-307-38598-7. 
  40. ^ Wilson, [ed]: Joanne Entwistle, Elizabeth (2005). Body dressing (edisi ke-[Online-Ausg.]). Oxford: Berg Publishers. hlm. 205. ISBN 978-1-85973-444-5. 
  41. ^ Reid, Basil A. (2009). Myths and realities of Caribbean history (edisi ke-[Online-Ausg.]). Tuscaloosa: University of Alabama Press. hlm. 113. ISBN 978-0-8173-5534-0. 
  42. ^ "Preparation and Use of Guayaco for Treating Syphilis" Diarsipkan 2011-05-21 di Wayback Machine.. Jan van der Straet. Retrieved 6 August 2007.
  43. ^ Katz RV; Kegeles SS; Kressin NR; et al. (2006). "The Tuskegee Legacy Project: Willingness of Minorities to Participate in Biomedical Research". J Health Care Poor Underserved. 17 (4): 698–715. doi:10.1353/hpu.2006.0126. PMC 1780164alt=Dapat diakses gratis. PMID 17242525. 
  44. ^ a b c "U.S. Public Health Service Syphilis Study at Tuskegee". Centers for Disease Control and Prevention. 15 June 2011. Diakses tanggal 7 July 2010. 
  45. ^ a b White, RM (13 March 2000). "Unraveling the Tuskegee Study of Untreated Syphilis". Archives of Internal Medicine. 160 (5): 585–98. doi:10.1001/archinte.160.5.585. PMID 10724044. 
  46. ^ "U.S. apologizes for newly revealed syphilis experiments done in Guatemala". The Washington Post. 1 October 2010. Diakses tanggal 1 October 2010. The United States revealed on Friday that the government conducted medical experiments in the 1940s in which doctors infected soldiers, prisoners and mental patients in Guatemala with syphilis and other sexually transmitted diseases. 

Bacaan lanjut

[sunting | sunting sumber]
  • Parascandola, John. Sex, Sin, and Science: A History of Syphilis in America (Praeger, 2008) 195 pp. ISBN 978-0-275-99430-3 excerpt and text search
  • Shmaefsky, Brian, Hilary Babcock and David L. Heymann. Syphilis (Deadly Diseases & Epidemics) (2009)
  • Stein, Claudia. Negotiating the French Pox in Early Modern Germany (2009)

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]
Klasifikasi
Sumber luar